Career
dr. Sophia Hage, Berawal dari Peduli Kesehatan Perempuan

10 Mar 2015

Prinsip “harus bermanfaat bagi orang lain” bukan sekadar kalimat manis yang diucapkan oleh dr. Sophia Benedicta Hage (30). Lewat profesi dokter, Sophi—panggilan akrabnya—ingin membantu perempuan agar bisa menikmati hidup secara maksimal.

Gara-gara sakit haid
"Sejak kecil kalau ditanya, ‘Cita-citanya apa?’ Jawaban saya selalu dokter. Mulai SMU saya benar-benar mantap menjadi dokter. Saya pikir inilah profesi termudah untuk mewujudkan keinginan agar berguna bagi orang lain. Dokter, kan, harus mendedikasikan diri, entah kepada pasien atau pemerintah.

“Begitu lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, saya awalnya hanya ingin menjadi dokter umum saja. Baru belakangan ambil spesialisasi kedokteran olahraga di Fakultas Kedokteran UI. Gara-gara pengalaman pribadi sebenarnya. Saya sering merasa sakit ketika haid dan harus minum obat untuk mengurangi rasa sakitnya. Saya merasa cara ini mengganggu kualitas hidup saya.

“Kemudian terpikir untuk mengobati sakit haid melalui olahraga plus menjalani pola hidup sehat. Alhasil hampir setiap hari saya berolahraga dengan jenis olahraga yang berbeda-beda, yaitu joging, yoga, dan berenang.

“Pelan-pelan rasa sakit yang muncul saat haid mulai berkurang. Kualitas hidup pun jadi lebih baik dan teratur. Sekarang saya jarang merasa sakit, terutama keluhan sakit haid. Oleh karena itu, saya tergerak untuk menyebarkan manfaat olahraga ini kepada pasien.”



Gerakan sukarela
“Saya tertarik membantu perempuan Indonesia, terutama para ibu, dengan mendirikan Gerakan Selamatkan Ibu (GSI) pada tahun 2010. Gagasan mendirikan GSI datang dari tiga dokter, saya, dr. M. Nurhadi Rahman, dan dr. Aditya Kusuma, Sp.OG. Kami prihatin melihat tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia. Setiap 30 menit, satu orang ibu meninggal ketika melahirkan.

“Tujuan kami adalah memberikan edukasi pentingnya kesehatan ibu serta cara menurunkan angka kematian ibu. GSI mulanya berkampanye di media sosial yang tidak memerlukan banyak biaya, tapi bisa menjangkau banyak orang.

“Setelah mendapat respons positif dari masyarakat, GSI baru mulai membuat situs serta mengadakan seminar dan talk show. Semua dilakukan tanpa bujet dan orang yang terlibat di dalamnya pun sukarela.

“Syukur GSI dapat bertahan hingga sekarang, bahkan Kementerian Kesehatan RI saat ini meminta kami membantu kampanye tentang kesehatan ibu melalui media sosial mereka. Suatu kehormatan bisa diajak bekerja sama oleh Kemenkes.”

Pelopor akun kesehatan
“Selain itu, saya bersama psikolog Wulan Danoekoesoemo, dan Venus (blogger) mendirikan gerakan sosial, Lentera (@LenteraID). Gerakan ini khusus membantu memulihkan trauma pada korban kekerasan seksual. Masih banyak korban memilih diam karena tidak jarang justru mereka yang disalahkan. Padahal yang dibutuhkan adalah pemulihan atas trauma yang telah terjadi.

“Lentera juga ingin meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai isu kekerasan sosial dengan memanfaatkan media sosial serta mengadakan talk show dan seminar.

“Kami sempat mengadukan seorang seleb kepada pemerintah. Pasalnya, dia menjadikan perkosaan sebagai bahan lawak di acara televisi. Pada waktu itu banyak yang mengatakan kami hanya mencari sensasi. Padahal, kami hanya ingin menumbuhkan kesadaran bahwa kekerasan seksual adalah masalah sensitif. Segi positifnya, sih, makin banyak orang yang tahu mengenai keberadaan Lentera dari kasus tersebut.

“Saya sangat bersyukur dengan adanya media sosial. Saya memandang Twitter dan Facebook sebagai sebuah media yang bisa memberikan edukasi. Hanya melalui ketikan jari, tapi bisa menjangkau banyak orang. Rasanya bangga bisa menjadi bagian dari GSI dan Lentera yang merupakan salah satu pelopor akun media sosial di bidang kesehatan.”








 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?