Travel
Musim Dingin di Georgia, Menikmati Atmosfer Pedesaan di Perbatasan Rusia

3 Jul 2016


Foto: Dok. Pribadi

Musim dingin di Georgia membuat negara tersebut terlihat lebih cantik dengan dandanan salju di deretan Pegunungan Kaukasus yang mengelilinginya. Puncaknya tertutup salju tebal yang putih merata, sementara lereng bukitnya menampilkan kombinasi warna putih dan bercak gelap dari bebatuan yang masih bebas salju. Saya, Susan Natalia, terpana saat bus kami melewati bangunan gereja sederhana di tengah-tengah padang luas bernaung langit biru. Kembali menekuni panduan yang sudah diunduh melalui ponsel, saya pun  makin tidak sabar untuk menikmati kecantikan negara ini. 
 
Meskipun Georgia merupakan salah satu negara yang pertama kali menganut agama Kristen di dunia, yakni pada tahun 4 Masehi, Georgia mengakui kebebasan beragama. Masyarakatnya mayoritas beragama Kristen. Namun, terlihat pemandangan gereja, masjid, sinagog, serta gedung ibadah lain yang hidup berdampingan dengan damai. Penikmat arsitektur akan dimanjakan oleh struktur bangunan gereja serta benteng yang tersebar di banyak titik di Georgia yang kebanyakan berumur lebih dari 1.000 tahun.

Bus berhenti di sebuah terminal yang tidak tampak seperti terminal. Hanya ada beberapa minibus yang parkir serta keluar masuk. Rupanya, saya sudah sampai di kota Akhaltsikhe, kota terdekat dari perbatasan Turki-Georgia. Beberapa orang yang ingin melanjutkan perjalanan ke Tbilisi, ibu kota Georgia, harus berganti minibus dan menempuh perjalanan sekitar 3 jam lagi. Pilihan menginap jatuh pada Akhaltsikhe karena ada beberapa lokasi menarik untuk dikunjungi dari sana.

Saya dan suami menghabiskan hari pertama hanya untuk jalan-jalan keliling kota dan mencicipi kachapuri (cheese pie) yang merupakan makanan khas orang Georgia. Suasana Kota Akhaltsikhe menyenangkan dan santai. Orang-orangnya pun sangat ramah, walaupun banyak yang tidak bisa berbahasa Inggris, karena bahasa utama mereka adalah bahasa Georgia dan bahasa Rusia.

Di Georgia terdapat banyak sekali monastery atau biara yang lokasinya jauh di atas bukit atau gunung terpencil. Karena tidak ada permukiman warga di dekatnya, maka tidak ada transportasi umum menuju ke sana.

Lokasi pertama yang saya tuju adalah Sapara Monastery yang letaknya 12 km dari pusat kota. Jalanan berliku melewati pedesaan di daerah perbukitan hijau, sampai akhirnya tiba di puncak bukit tertinggi, tampaklah Sapara Monastery yang cantik bermandikan sinar matahari pagi. Dibangun pada abad ke-10, kompleks gereja yang dikelilingi oleh benteng dan dilengkapi menara pandang tersebut sampai sekarang masih aktif digunakan sebagai tempat ibadah dan dihuni oleh beberapa pendeta.

Perjalanan berlanjut ke sebuah cave monastery yang merupakan bagian dari Vardzia Cave City. Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1185 bangsa Georgia dipimpin oleh seorang wanita muda berusia 25 tahun, bernama Ratu Tamar. Di tengah-tengah perjuangannya melawan bangsa Mongolia, ia memerintahkan untuk membangun sebuah biara sekaligus tempat perlindungan bawah tanah. Tak tanggung-tanggung, Gunung Erusheli di Kota Aspindza diubah menjadi gua dengan 13 tingkat yang bisa menampung lebih dari 6.000 pendeta dan para korban perang. Satu-satunya jalan keluar saat itu adalah melalui terowongan rahasia yang bermula di dekat Sungai Mtkvari.

Lahan di sekitar Vardzia Cave Monastery yang tersembunyi saat itu sangatlah hijau dan subur sehingga para pendeta membuat sistem irigasi bertingkat untuk membantu tersedianya suplai makanan bagi seluruh penghuni biara. Sungguh merupakan tempat tinggal yang sempurna bagi kehidupan penduduknya saat itu.

Mereka berhasil bertahan menghadapi serangan bangsa Mongolia. Namun, takdir berkata lain. Kurang dari 100 tahun sejak kota itu didirikan, tahun 1283, Georgia tertimpa musibah gempa bumi yang sangat dahsyat hingga menghancurkan sistem gua dan merontokkan sebagian sisi gunung. Deretan ruangan di barisan tengah yang saat ini bisa kita lihat, dulunya tersembunyi di dalam gunung. Kini tampak seperti gunung terbelah yang kelihatan penampangnya.

Biara di Vardzia Cave City sempat bangkit lagi dan meneruskan kehidupannya hingga tahun 1551, saat terjadi serangan terhadap pendeta-pendetanya oleh bangsa Persia. Sejak itu Vardzia benar-benar menjadi kota yang ditinggalkan tak berpenghuni. Di abad ke-20, ada seorang pendeta yang mampir ke sana dan memutuskan untuk menjaga jejak sejarah tempat itu. Hingga saat ini ada sekelompok kecil pendeta yang menghuni beberapa bagian dari sisa-sisa kota bersejarah. Bayangkan, betapa ekstremnya usaha manusia untuk melindungi peradabannya, tapi harus takluk di bawah kuasa alam.

Namun, entah karena sedang low season atau memang Vardzia Cave City jarang dikunjungi turis, saat itu hanya ada saya dan suami yang keluar-masuk terowongan kecil dan gelap di sistem gua. Menikmati indahnya sungai dan warna pepohonan yang ada di sekitarnya. (f)

Susan Natalia (Kontributor - Bandung)
 


Topic

#TravelingGeorgia