
Foto: Yoseptin Pratiwi
Atas undangan PT FLP YOMIKO Indonesia, Redaktur Pelaksana femina, Yoseptin Pratiwi, mengunjungi Kota Sakai dan Osaka, Jepang. Berikut sebagian catatan perjalanannya.
Bila ingin merasakan budaya Jepang tradisional, mengikuti upacara minum teh adalah agenda wajib. Di Sakai, saya khusus pergi ke Daisen Park Japanese Garden untuk ikut upacara minum teh sekaligus melihat miniatur rumah minum teh tradisional yang dibangun di sebuah kebun Jepun (kebun khas Jepang dengan desain taman tradisional berdasarkan filosofi Zen yang memperhitungkan letak ideal batu-batuan, pepohonan dan aliran air).
Minum teh di Sakai terasa lebih istimewa karena mahaguru teh kenamaan dalam sejarah Jepang lahir di kota ini. Namanya Sen no Rikyu (1522-1591), yang masyhur sebagai master chanoyu, atau the Japanese way of tea. Setelah berguru pada master upacara minum teh setempat, Rikyu kemudian pindah ke Kyoto, ibu kota Jepang, dan belajar di kuil Daitoku ji.
Sebagai bentuk kebanggaan akan pencapaian Rikyu sekaligus untuk menegaskan bahwa sang master adalah putra asli Sakai, maka dibangunlah miniatur rumah minum teh milik Rikyu seperti yang ada di Kyoto. Namun, miniatur itu tidak bisa kita datangi dan masuki. Saya hanya bisa membayangkan kepiawaian sang master meracik teh sambil melihat miniatur itu dari jauh, tepatnya dari jendela rumah minum teh yang menjadi tempat saya melakukan upacara siang itu.
Di ruangan besar beralas tatami warna krem, saya disambut dua wanita sepuh yang menggunakan kimono dan satu laki-laki gempal berkepala plontos yang mengenakan kinagashi (kimono pria yang berpotongan sederhana). Ternyata, mereka bertiga yang akan memandu saya dan rombongan menjalani upacara minum teh.
Kami diajak duduk berderet mengelilingi gentong hitam berisi air panas. Tungkunya berada di lubang bawah tanah sehingga puncak gentong rata dengan lantai tempat kami duduk. Bubuk matcha disiapkan dalam wadah hitam mengilat, sendok kayu, pengaduk kecil serupa sapu lidi yang dibalik menghadap atas, dan mangkuk-mangkuk disiapkan di sekitar gentong.
Upacara segera dimulai setelah kami duduk dengan tepat, bersimpuh dengan jarak sekitar satu telapak tangan dari satu garis di tatami, yang ternyata menjadi tempat untuk meletakkan mangkuk teh. Kue berbentuk bulat kecil warna merah jambu diedarkan dalam piring. Manis, berisi kacang hijau yang dilembutkan, mirip isian kue ku. Menurut mereka, kue-kue tradisional selalu menyertai upacara minum teh.
Salah satu wanita sepuh itu lalu mengambil tempat duduk menghadap gentong air. Dengan suara yang lirih, ia berbicara cepat dalam bahasa Jepang (aduh, saya sesungguhnya hanya bisa bengong terkesima, mencoba memahami ucapannya). Tangannya terampil mengambil mangkuk berhias, menyendok matcha dengan gerakan jari-jari tangan tertentu, meletakkannya di mangkuk, menambahkan air panas, lalu mengaduk dengan gerakan khas.
Satu demi satu, mangkuk berisi teh hijau panas diedarkan. Sebelum menyesapnya, kami diingatkan tentang cara memegang mangkuk yang tidak boleh sembarangan, harus sesuai dengan gambar yang dilukiskan di mangkuk. Gambar tertentu harus menghadap ke depan sehingga motif mangkuk teh bisa dilihat oleh orang lain.
Ketika saya sesap pelan-pelan, tidak bisa saya sangkal, saya yang tidak menyukai teh hijau (sebagai orang Jawa, favorit saya adalah teh nasgitel wangi melati), merasakan kenikmatan yang berbeda. Entah, mungkin bukan karena rasanya, tetapi karena saya telanjur terbuai oleh cerita sejarah yang dibawa oleh cairan hijau kental panas dalam mangkuk keramik itu.
Biasanya, upacara minum teh dilakukan untuk menjamu tamu dan teman-teman, atau kadang-kadang dilakukan sendirian sebagai sarana berkontemplasi. Itulah sebabnya, tiap langkah dalam upacara minum teh harus dilakukan sesuai aturan. (f)
Baca Juga:
- Live In Saat Traveling, Pengalaman Seru dan Irit Bujet
- Belajar Menenun di Kampung Hula, Alor
- 4 Tip Jadi Travel Blogger ala Pergi Dulu
Topic
#travelingjepang