Foto: Yos
Berdiri di punggung bukit, winter wonderland itu ada di depan mata saya. Hamparan salju tebal putih bak kapas, dengan deretan rumah-rumah warna coklat beratap membentuk sudut segitiga 45 derajat. Hujan salju yang perlahan turun, membuatnya bak deretan ginger breads yang ditaburi gula halus.
Saya menahan napas beberapa detik, menutup mata, lalu membuka kembali, untuk menyakinkan diri tidak sedang menatap dekorasi Natal di sebuah mal di Jakarta. Tentu saja saya berlebihan, karena hawa dingin 0 derajat itu telah membuat kebas tangan yang saya biarkan tanpa sarung untuk mengabadikan winter wonderland bernama Desa Ogi-machi, Shirakawago, Gifu, Jepang.
Atas undangan Chubu District Transport Bureau, Desember lalu saya mengunjungi Shirakawago, situs yang menjadi Unesco World Heritage sejak tahun 1995, dengan Ogi-machi sebagai desa terbesar. Dari pusat kota Takayama, ibukota Prefektur Gifu, saya naik bus Nouhi sekitar satu jam, yang di musim dingin bisa diiringi guyuran salju seperti yang saya alami. Namun begitu kaki menapaki terminal bus, saya seperti terlempar ke masa Edo, yaitu masa sejak shogun Tokugawa Leyasu merebut pucuk pimpinan dan memindah pusat kekuasaan ke Edo (Tokyo) dari Kyoto (periode tahun 1603-1868). Kesan ini tercipta karena Ogi-machi masih mempertahankan arsitektur gassho-zukuri pada bangunan-bangunannya.
Gassho-zukuri adalah arsitektur rumah khas distrik Hida (kawasan dataran tinggi di Gifu) yang menggunakan atap dari jerami, serta dinding dan lantai dari kayu. Bentuk atapnya berbentuk sudut segitiga. Struktur ini sebagai antisipasi cuaca yang tak bersahabat saat winter, karena jerami yang licin bisa membuat salju segera jatuh ke tanah.
Gassho berasal dari kata berdoa dalam bahasa Jepang. Ini mengacu pada bentuk atap bersudut segitiga yang melambangkan dua tangan menangkup saat berdoa. Dan sayangnya, arsitektur gassho-zukuri kini sudah ditinggalkan, dan hanya sedikit yang tersisa, termasuk di Desa Ogi-machi, yang kini ditinggali sekitar 600 jiwa ini. Di desa ini berdiri sekitar 110 rumah yang sudah berusia 250 tahun.
Saya menahan napas beberapa detik, menutup mata, lalu membuka kembali, untuk menyakinkan diri tidak sedang menatap dekorasi Natal di sebuah mal di Jakarta. Tentu saja saya berlebihan, karena hawa dingin 0 derajat itu telah membuat kebas tangan yang saya biarkan tanpa sarung untuk mengabadikan winter wonderland bernama Desa Ogi-machi, Shirakawago, Gifu, Jepang.
Atas undangan Chubu District Transport Bureau, Desember lalu saya mengunjungi Shirakawago, situs yang menjadi Unesco World Heritage sejak tahun 1995, dengan Ogi-machi sebagai desa terbesar. Dari pusat kota Takayama, ibukota Prefektur Gifu, saya naik bus Nouhi sekitar satu jam, yang di musim dingin bisa diiringi guyuran salju seperti yang saya alami. Namun begitu kaki menapaki terminal bus, saya seperti terlempar ke masa Edo, yaitu masa sejak shogun Tokugawa Leyasu merebut pucuk pimpinan dan memindah pusat kekuasaan ke Edo (Tokyo) dari Kyoto (periode tahun 1603-1868). Kesan ini tercipta karena Ogi-machi masih mempertahankan arsitektur gassho-zukuri pada bangunan-bangunannya.
Gassho-zukuri adalah arsitektur rumah khas distrik Hida (kawasan dataran tinggi di Gifu) yang menggunakan atap dari jerami, serta dinding dan lantai dari kayu. Bentuk atapnya berbentuk sudut segitiga. Struktur ini sebagai antisipasi cuaca yang tak bersahabat saat winter, karena jerami yang licin bisa membuat salju segera jatuh ke tanah.
Gassho berasal dari kata berdoa dalam bahasa Jepang. Ini mengacu pada bentuk atap bersudut segitiga yang melambangkan dua tangan menangkup saat berdoa. Dan sayangnya, arsitektur gassho-zukuri kini sudah ditinggalkan, dan hanya sedikit yang tersisa, termasuk di Desa Ogi-machi, yang kini ditinggali sekitar 600 jiwa ini. Di desa ini berdiri sekitar 110 rumah yang sudah berusia 250 tahun.
Foto: Yos
Dari terminal bus, kita perlu turun ke Ogi-machi. Hanya sekitar 10 menit dengan mobil. Kalau saja saya berkunjung pada musim semi atau musim gugur, saya akan lebih memilih jalan kaki. Saya bayangkan, hamparan halaman yang berselimut salju itu berubah menjadi padang rumput berbunga di musim semi atau pohon-pohon berdaun warna-warni di musim gugur. Sama-sama indah namun dengan cara masing-masing.
Di jalan utama desa, yang lurus dan lebarnya hanya muat dua mobil, kemanapun memandang, mata kita akan bertemu gunung-gunung berwarna putih sebagai latar belakang. Di sisi kanan tempat saya berdiri, samar-samar saya mendengar gemericik air Sungai Shokagawa, dengan jembatan yang saya seberangi saat menuju ke pusat desa. Saya hirup udara dingin, menyegarkan paru-paru yang terasa sesak menampung keindahan yang tertangkap oleh mata.
Foto: Yos
Sebagai kawasan wisata, desa ini siap menyambut traveler dengan hotel atau guest house. Deretan resto, kafe dan toko souvenir juga tersedia. Namun, sebagai rekomendasi, pertama-tama kunjungilah Rumah Wada. Rumah ini merupakan rumah terbesar dan dulu milik pengusaha kain sutera pada masa Edo. Di rumah yang kini menjadi museum ini menyimpan benda-benda rumah tangga pada masa itu, termasuk ruangan dan alat upacara minum teh. Di lantai atas, masih tersimpan alat-alat yang digunakan untuk memproduksi benang sutera.
Dari jendela lantai dua, saya memandang ke arah luar. Hujan salju makin deras. Tak bisa lagi bertahan, saya segera keluar, berjalan bertudung payung, menelusuri jalan utama dan memilih belok kiri melewati jalan kecil di belokan terdekat. Siang itu, jalanan itu sangat sepi. Rumah-tumah tertutup. Saya hanya bertemu dengan pohon buah kaki (kesemek) dengan beberapa buahnya yang kuning menggantung di ranting-ranting tanpa daun, yang terlihat tabah menghadapi gempuran hujan salju dan angin dingin. Aroma kopi yang terbawa angin pun segera menyadarkan saya untuk bergegas mencari penghangat tubuh. (f)
Tip:
Dari terminal Takayama bisa naik bus Nohi, turun di terminal Shirakawago. Anda bisa membeli JR pass bernama Takayama-Hokuriku Area Tourist Pass yang berlaku untuk transportasi umum di Chubu Distric seharga 14.000 Yen per orang selama 5 hari.
Tiket Wada House: dewasa 300 yen dan anak-anak 150 yen. Buka pukul 09.00-17.00
Baca juga:
Dari Sarubobo Hingga Daruma, Jimat Keberuntungan Orang Jepang
“Terbang” Melintasi Pegunungan di Swiss
Topic
#travel, #jepang, #shirakawago