
Foto: Fic
Spanyol di masa lalu adalah pusat peradaban yang amat maju dan menjadi kiblat ilmu pengetahuan serta sains. Pemimpinnya sangat disegani dan termasyhur ke seluruh penjuru dunia. Di Spanyol inilah negeri bernama Andalusia, atau yang dalam bahasa Arab-nya disebut Al-Andalus (الأندلس), berada. Ini adalah kawasan yang pernah menjadi wilayah kekuasaan Islam di bawah kepemimpinan Bani Umayyah, pada abad ke-8 di Semenanjung Iberia, Spanyol. Dari persinggahan saya di Kota Cordoba dan Granada, yang berada di Spanyol Selatan, banyak hal yang membuka mata dan menjelaskan segala pertanyaan tentang keindahan dan kejayaan Islam di Barat.
CORDOBA

Madinat al-Zahra, Cerita dari Reruntuhan
Menjelajahi Andalusia pada masa lalu akan membawa kita ke ibu kotanya, yang sayangnya saat ini tinggal puing-puing reruntuhan. Ya, Madinat Al Zahra adalah kota dari masa lalu itu. Bani Umayyah dari Damascus adalah pemimpin yang menaklukkan Spanyol pada tahun 711 di bawah pimpinan Al Walid bin Abdul Malik.
Tahun-tahun berikutnya, oleh para penerus Al Walid, kota demi kota di Spanyol berhasil dikuasai. Pada tahun 750 M, Abdul Rahman I mengangkat diri sebagai emir dan membangun Cordoba sebagai ibu kota pemerintahannya. Pada tahun 936 M, Abdul Rahman III memproklamirkan diri sebagai khalifah pertama Andalusia. Ia membangun pusat pemerintahan baru di atas perbukitan, di antara gunung dan lembah Guadalquivir.
Sekarang, hanya fondasinya yang masih tersisa. Sembilan puluh persen wujud kotanya tinggal reruntuhan dan sebagian kondisinya terkubur di bawah tanah. Beberapa pohon cemara besar yang menaungi jalan-jalan setapak, melindungi saya dari panasnya cahaya matahari Cordoba yang menyilaukan, saat saya menjejakkan kaki di sana.
Lewat pemutaran film yang merekonstruksi kawasan ini, yang saya tonton di museum tak jauh dari reruntuhan, saya pun mendapatkan sekelumit bayangan tentang suasana kota. Madinat al Zahra ini ibarat istana di dalam kota, dikelilingi benteng dan menara pengintai di atasnya, dan sebuah gerbang yang menjadi akses utama. Kota ini dibangun di area bertingkat, dengan teknologi pengairan yang cukup maju pada zamannya. Di dalam benteng inilah terdapat ruangan-ruangan yang menjadi tempat tinggal khalifah, para pegawai kerajaan, dan tentara.
Tempat ini dulunya kerap mendapatkan kunjungan dari delegasi yang berasal dari luar negeri. Para delegasi asing ini biasanya akan dibawa ke tempat pertemuan bernama The Rich Hall, sebuah paviliun megah yang dikelilingi kebun yang luas dan empat kolam besar.
Sayangnya, saat saya tiba, The Rich Hall sedang ditutup untuk renovasi. Konon, podiumnya berupa aula yang luas dengan pilar-pilar marmer yang masing-masing memiliki warna dan ukiran yang berbeda. Kemegahan ruangan ini akan membuat siapa pun utusan yang datang terkesima dan takjub. Itulah kesan yang ingin diciptakan oleh sang khalifah, supaya bangsa lain mengakui kebesaran khalifah Andalusia.
Serambi dengan pilar-pilar besar di sebagian besar bangunan istana ini beberapa masih ada yang tegak berdiri, yang di bawahnya ditopang dengan lantai kayu, untuk menjaga agar tak mudah runtuh karena longsor. Sebuah masjid besar dibangun tak jauh dari istana. Masjid ini dipercaya sebagai masjid pertama di Andalusia yang kiblatnya menghadap ke Mekkah.
Bagaimana awal mula keruntuhan tempat ini? Jatuhnya khalifah pada awal abad ke-11 adalah awal dari malapetaka dan penelantaran bangunan istana. Tahun 1012, istana hancur menjadi puing-puing akibat konflik perang sipil yang berkepanjangan. Untuk membangun Madinat Al Zahra butuh waktu 25 tahun, yang kemudian bertahan hanya sekitar 65 tahun, hingga akhirnya terkubur hingga 9 abad.

Foto: Fic
Mezquita de Cordoba, Keagungan Sebuah Masjid
Masjid terbesar yang pernah dibangun di luar Arab, yang dibangun pada abad ke-8, masih bisa ditemukan peninggalannya di Cordoba. Sekarang fungsinya beralih menjadi gereja, bagian dari keuskupan Cordoba, yang aktif digunakan untuk misa tiap harinya. Dulunya, sebelum menjadi masjid, tempat ini adalah gereja Romawi bernama San Vicente Basilica, sebelum kemudian dibangun sebagai masjid, pada masa Abd al-Rahman I, pada tahun 985 M.
Terinspirasi dari masjid di Damascus, masjid ini dibuat dengan konsep berbentuk pekarangan dan kebun, serta aula tempat ibadah dengan pilar-pilar di dalamnya. Oleh pemimpin-pemimpin Islam sesudahnya, masjid ini terus mengalami perluasan.
Masuk ke dalamnya, saya melihat ratusan pilar yang terbuat dari batu granit dan marmer dengan beragam warna, berderet rapi. Saya belum pernah melihat masjid dengan pilar sebanyak ini. Bayangkan, aslinya, pilar di Mezquita ini berjumlah 1.293, yang sekarang tersisa 856 pilar.
Sebuah peradaban tak pernah berdiri sendiri, selalu ada unsur dan pengaruh dari peradaban lain. Buktinya, ornamen lengkungan di antara dua pilar terdapat susunan warna bata merah dan putih, menghasilkan motif lurik, ornamen yang terinspirasi dari seni Byzantium Romawi.
Uniknya, dari pilar sebanyak itu, masing-masing bentuk ukiran pada pilar itu berbeda-beda. Mendongak ke atas, lagi-lagi saya dibuat terpukau oleh sepuhan emas pada dindingnya, yang bertabur kaligrafi dan motif ukiran bunga. Juga pada langit-langitnya yang tinggi.
Memang, sebagian sisinya sudah mendapatkan penambahan dari pengaruh arsitektur Kristen. Setelah ditaklukkan oleh Raja Ferdinand III tahun 1236, bangunan ini direkonstruksi dengan penambahan arsitektur gotik, renaissans, dan barok.
Saking besarnya, di dalam Mezquita ini terdapat banyak sekali kapel yang masih digunakan oleh sebagian pengunjung. Mihrab masjid masih dipertahankan. Minaret tempat muazin mengumandangkan azan sebetulnya masih ada, tapi tertutup dalam bangunan menara Gereja Katedral. Siang itu, saya masih bisa mendengar dentang lonceng gereja dari Mezquita, meski kaki saya sudah melangkah jauh dari situ.
GRANADA

Istana Alhambra, Masterpiece Arsitektur Islam
Dikunjungi lebih dari 2 juta turis tiap tahunnya, inilah masterpiece warisan arsitektur Islam, satu-satunya yang masih utuh yang bisa ditemukan. Didirikan tahun 1238, bangunan megah serupa kastil yang berada di atas bukit ini diapit hutan dan sungai. Setelah Bani Umayyah berkuasa selama tiga abad lebih dan kemudian runtuh, provinsi-provinsi di Andalusia tercerai-berai menjadi kerajaan sendiri-sendiri, atau dikenal sebagai taifa.
Salah satu taifa kemudian meminta pertolongan dari Almoravids, dinasti Berber dari Sahara yang mendirikan Kota Marrakech pada tahun 1070. Pasukan Almoravids memasuki Semenanjung Iberia, dan memperluas wilayah kekuasaan Andalusia. Pada tahun 1147, Marrakech jatuh ke tangan Almohads. Mereka pun mengambil alih Andalusia.
Tahun 1232, Andalusia yang berpindah ibu kotanya di Granada, di bawah pimpinan Dinasti Nasrid, membangun istana megah bernama Alhambra. “Ada empat pintu gerbang untuk masuk ke Alhambra. Pintu yang akan kita masuki ini adalah babul syariah atau gate of justice,” tutur Daniel, guide kami, orang Italia yang menguasai bahasa Arab.
Alhambra ini sungguh luas. Memiliki 30 menara, terdiri dari istana, alcazaba (barak militer), medina (kota tua), dan taman bernama Generalife. Satu hari rasanya tak cukup untuk menjelajah area seluas 13 hektare ini. Dari salah satu sudut istana yang terbuka menghadap ke lembah, saya bisa memandang panorama Kota Granada, yang sejauh mata memandang disesaki bangunan-bangunan bercat putih dan sebagian kecil cokelat. Warna yang bersahaja.
Selama berabad-abad, Alhambra menjadi istana dan kediaman Sultan Nasrid dan para pegawai kerajaan. Diperkirakan ada 3.000-4.000 orang pernah bermukim di sini.
Bisa dimengerti mengapa Alhambra disebut sebagai puncak pencapaian arsitektur Islam. Dalam tiap detail bangunannya, ada filsafat, puisi, geometri matematika, fisika, dan seni. Makin jauh masuk ke dalam bangunan, saya menemukan kaligrafi itu terpatri di seluruh dindingnya. Bayangkan, terdapat sepuluh ribu inskripsi bahasa Arab, yang selain dari ayat-ayat Alquran, ada pula kalimat puji-pujian untuk pemimpin pada masa itu, dan puisi yang dibuat oleh pujangga pada masa itu, yang terpatri pada dinding, pintu, jendela, pilar, dan langit-langit. Salah satunya, yang saya tahu, ukiran pada pilar marmer yang menyangga pintu, bertuliskan kalimat syahadat. Laa ilaha illallah Muhammadur Rasulullah (Tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah).
Ada satu filosofi yang mendasari tiap ruangan dalam istana ini, yakni filosofi dalam empat elemen yang selalu ada di setiap ruangannya: elemen air, cahaya, udara, dan kebun. Keempat elemen tersebut, diyakini sebagai representasi dari surga di bumi.
Elemen air diwakili oleh pancuran. Di Patio de los Arrayanes (Court of the Myrtles), misalnya, salah satu spot yang fotogenik, terdapat kolam besar berbentuk persegi yang diapit semak-semak yang terawat rapi. Kolam itu seperti memantulkan bayangan istana di hadapannya. Air dipercaya sebagai representasi surga yang dilambangkan dengan tempat yang dialiri sungai.
Di sudut Court of the Lions, yang menjadi ikon Alhambra, ada empat aliran air, sebagai representasi dari empat macam sungai yang mengalir di surga, yakni sungai dari air jernih, air susu, air anggur, dan madu.
Elemen cahaya dan udara adalah sumber kehidupan, karena mampu menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Adapun tumbuh-tumbuhan, yang ditata menjadi kebun yang indah, juga representasi dari surga. Jannah (surga dalam bahasa Arab) juga berarti kebun (al bustan). Rumah dengan kebun yang indah ibarat surga di bumi (garden of eden).
Yang juga terkenal dari Alhambra adalah keindahan kebunnya, dengan bunga-bunga, semak yang ditata, jejeran pohon cemara dan pohon buah pada tiap pekarangan dan eksterior istana, menjadikan tempat ini sebagai tempat yang sangat romantis. Filosofi membangun kebun indah di rumah semacam ini bahkan masih menjadi denyut kebudayaan kuat yang memengaruhi rumah-rumah Spanyol hingga sekarang.

Albayzín, Kampung Bangsa Moorish
Kawasan Albayzin di Granada adalah kawasan permukiman yang punya makna penting pada masa lalu Terletak di atas bukit, di tepi Sungai Darro, Albayzin adalah kota tua bangsa Moorish. Tempat ini dulunya pernah menjadi pusat Kota Granada, tahun 1013. Rumah –dengan pot-pot bunga- dan jalan-jalam sempitnya, masih dipertahankan dari bangunan aslinya yang sudah ada sejak masa Dinasti Nasrid. Kawasan ini dulunya menjadi hunian bagi para pekerja, seniman, dan aristokrat.
Dari sudut bernama Plaza de San Nicolas kita bisa memandang Alhambra yang berada tepat di bukit seberang Albayzin. Tak heran, lembah ini menjadi spot favorit para turis untuk berfoto, atau sekadar duduk-duduk mengagumi Alhambra. Tunggulah saat senja, dan Anda bisa melihat semburat warna merahnya seolah menjadi setting yang dramatis bagi Alhambra.

Museum Sains Andalusia, Membangunkan Kembali Peradaban
Sebagaimana halnya kota-kota di Spanyol, Granada juga membangun sebuah monumen sains. Parque de la Sciencias Granada adalah sebuah proyek prestisius yang menempati bangunan seluas 4.500 meter persegi, hanya 2 km dari pusat kota Granada. Bedanya dengan monumen sains lainnya, di tempat ini menjadi rumah bagi harta pusaka peninggalan para ilmuwan dari masa kejayaan Andalusia yang menempati satu paviliun khusus. “Sebagian monumen ini didedikasikan untuk mempertahankan peninggalan periode Andalusia, sebagai upaya kami menemukan kembali sejarah dan lanskap kejayaan era islam,” kata Javier Rodriguez, guide yang menemani kami.
Tak terbilang penemuan para ilmuwan pada masa itu, di antaranya di bidang matematika, filsafat, astronomi, geografi, kartografi, farmasi, kedokteran, agronomi, arsitektur, seni, geologi, dan lainnya. Sejak lama Andalusia telah menjadi kiblat pemikiran sains yang menempati posisi penting dalam peta sains dunia.
Menurut Javier, negeri ini punya lebih dari 220 situs arkeologi dan monumen dari era tersebut, yang memperlihatkan pentingnya dominasi Arab sejak abad 8 di Spanyol. Pandangan saya terpaku pada sebuah quote yang tertera di situ, “One must love a civilization in order to understand it,” yang ditulis oleh Titus Burckhardt. Itulah yang ingin dilakukan warga Spanyol dengan membuat penelitian mendalam tentang Andalusia ini.
Memasuki paviliun ini, saya diajak menelusuri asal-usul peradaban Islam dan pengaruh dari kebudayaan-kebudayaan sebelumnya yang memengaruhi Islam. Piramida di Mesir, Monumen Jerash di Yordania, Benteng Umayyah di Suria dan Damaskus. Di tempat ini, saya bisa melihat langsung peninggalan peta dunia yang dibuat oleh Ibnu Khaldun, buku harian Ibnu Batutah, ornamen dekorasi ubin pada masa Andalusia, dan banyak lagi lainnya yang membuat saya tercengang.

TIP
1. Dari Jakarta, jika menggunakan Turkish Airline, pilih penerbangan ke kota besar terdekat Cordoba atau Granada, yakni Malaga, dengan waktu tempuh 4 jam 40 menit dari bandara Attaturk, Istanbul, Turki. Jakarta – Istanbul bisa ditempuh dalam waktu 12 jam.
2. Jarak dari Cordoba ke Granada kurang lebih 200 km, bisa ditempuh dalam waktu 2 jam dengan mobil atau 3 jam dengan bus.
3. Saat di Cordoba, jangan lewatkan untuk membuat reservasi petualangan kuliner di La Casa de Los Campos (Bodega Campos), yang terletak di Calle Lineros. Sebuah kawasan khas kota tua Cordoba dengan jalan-jalan kecil dan bangunan peninggalan Moorish. Bangunan restonya terlihat kecil dari depan, tapi begitu masuk ke dalamnya, kita dibawa ke dalam lorong rumah yang panjang, berliku-liku, dan di dalamnya pekarangan yang terbuka dan luas. Temukan kuliner lokal seperti salmorejo (sup labu kental) dan aneka tapas serta wine Cordoba yang berkualitas tinggi dan sangria.
4. Saat di Granada, selain Albayzin, nikmati juga daya pikat kota tua Granada dengan berjalan kaki di kawasan Sacromonte atau Paleo de Los Tristes.
5. Ada beberapa paket tur Andalusia dengan rute-rute yang berbeda. Salah satunya, Rute Chalifate yang menggabungkan Cordoba dan Granada. Ada pula rute ke Sevilla, Jaen, Almeria, dan Malaga. (f)