Foto: FLW
Atas undangan Badan Ekonomi Kreatif Indonesia untuk meliput acara Venezia de Bienalle Art 2017, Redaktur Eksekutif femina, Faunda Liswijayanti, menyempatkan diri menyusuri jalanan Venesia,
menikmati seni hingga kuliner khas Italia.
Ibarat sebuah taman bermain, Venesia selalu ramai pengunjung. Di tiap sudut kota kita dengan mudah bertemu orang dengan warna kulit dan bahasa yang beragam. Hingga kini, pamor Venesia sebagai kota
tujuan wisata dunia tak pernah surut. Namun, di balik keindahan kanal dan arsitektur bangunannya, menyelami lebih jauh kota terapung ini, ada kehidupan masyarakatnya yang harus selalu berpacu dengan biaya hidup tinggi dan tingkah polah para turis.
Setelah kurang lebih 45 menit, taksi air yang membawa saya dari Bandara Marco Polo mulai menurunkan laju mesinnya. Di depan mata terbentang Pulau Venesia dengan bangunan- bangunan tua dan jembatan yang kokoh berdiri.
Taksi air kami pun mulai melaju di kanal dalam kota yang diapit oleh bangunan-bangunan apartemen, hotel, dan kafe. Tembok bata merah mendominasi satu sisi, di lain bagian tampak pula tembok yang tak terawat dengan lumut di beberapa bagian sisinya. Di seberangnya, bangunan dengan banyak jendela tersusun rapi plus pot bunga di tiap sisi jendela. Terlihat kontras, tapi tetap terlihat cantik dan layak dipuji.
Hari sudah makin siang ketika taksi air menurunkan saya tak jauh dari lokasi hotel. Jangan berharap menemukan porter atau orang yang akan membawakan barang-barang Anda. Di sini semuanya harus Anda lakukan sendiri. Tak ada sarana transportasi, selain berjalan kaki.
“Traveling ke sini, bawalah tas punggung atau koper tarik yang nyaman. Kalau tidak, kita akan kesulitan menenteng barang bawaan sambil berjalan,” kata Christina, warga Indonesia yang sudah 5 tahun tinggal di Murano, Italia, yang menemani saya hari itu.
Sampai di hotel dan meletakkan koper, saya memilih untuk berkeliling kota. Tujuan kami hari ini adalah alun-alun kota, Piazza San Marco, kira-kira 45 menit berjalan kaki dari hotel saya di daerah Giardini. Kawasan Giardini tidak terlalu dipadati turis, berbeda dengan alun-alun San Marco yang menjadi nadi pariwisata Venesia.
Kareannya, makin mendekati San Marco, makin banyak restoran dan toko-toko suvenir. Kami melewati Ponte dei Sospiri atau Jembatan Rintihan. Di masa lalu, jembatan ini menghubungkan penjara lama dan ruang interogasi di bangunan bernama Doge Palace. Dinamakan Jembatan Rintihan, karena sebelum
dibawa ke sel, para napi melalui jembatan ini sambil menghela panas untuk melihat keindahan laut Venesia untuk terakhir kalinya.
Sekarang, jembatan ini justru menjadi favorit pasangan yang naik gondola untuk melintas di bawahnya. Mitosnya, cinta pasangan yang berciuman di atas gondola di bawah Jembatan Rintihan saat matahari terbenam akan langgeng.
Setelah menikmati keindahan jajaran bangunan berarsitektur cantik, saya tiba di Piazza San Marco atau alun-alun San Marco, diambil dari nama Santo Markus atau St. Marco, pelindung pertama Venesia. St. Marco adalah seorang penginjil. Tubuh St. Marco yang dimakamkan di Alexandria, Mesir, dibawa ke Venesia oleh orang suruhan Doge Giustiniano Partecipazio, penguasa Venesia tahun 825 SM , untuk
dimakamkan di sini.
Di sekitar alun-alun San Marco kita bisa melihat bangunan tua berarsitektur rumit, seperti Palazzo Ducale, Clock Tower, dan Bell Tower. Tepat di tengah San Marco menjulang tinggi Torre dell Orologio atau menara jam raksasa yang dibangun pada tahun 1498. Tak jauh dari menara jam ini terdapat Istana Doge (Palazzo Ducale atau Doge’s Palace), bangunan berlantai tiga yang didominasi warna putih dan krem.
Dari semua bangunan yang ada, yang paling menarik perhatian saya adalah Basilica Cattedrale Patriacale (Basilica San Marco). Gereja berarsitektur byzantine ini dibangun tahun 828, memiliki empat kubah besar. Sempat dibakar pada tahun 976 oleh para pemberontak yang menentang kekuasaan Doge Candiano
IV (959-976), tahun 978 gereja ini dibangun kembali, dan menjadi basilika (gereja besar) pada tahun 1063.
Saya terpaksa melewatkannya. Waktu saya sempit, sementara antrean masuk ke dalam gereja mengular panjang. Padahal, saya penasaran melihat bagian dalam gereja yang disebut gereja emas karena interiornya dilapisi emas dan langit-langit yang dipenuhi lukisan. Saya harus puas hanya berfoto di bagian depan gereja yang jadi simbol status kekayaan Venesia pada abad ke-11.
Di musim panas seperti saat ini --yang menjadi puncak kunjungan wisatawan di Venesia-- bukan pemandangan aneh jika terlihat antrean panjang untuk masuk ke tempat-tempat wisata yang rata-rata adalah museum. Meski sangat ramai, menurut Christina, tidak semua pengunjung yang datang menginap dan makan di restoran di Venesia sehingga tidak memberikan pemasukan yang cukup signifikan bagi masyarakat setempat.
“Rata-rata mereka turis satu hari saja, datang pagi pulang sore, atau ada yang memilih tinggal di kawasan lain yang biaya hidupnya lebih murah,” katanya. Hal tersebut memengaruh perekonomian masyarakat Venesia yang hidupnya bergantung pada pariwisata. Biaya hidup di sana tinggi karena kebutuhan mereka harus didatangkan dari luar pulau. Masalah yang berlangsung selama puluhan tahun ini kerap menimbulkan gesekan antara warga dengan pemerintah.
Belum lagi soal lingkungan. Kota terapung yang keseluruhan bangunannya berdiri di atas ribuan kayu yang menancap di dalam air ini makin turun posisinya. Air mudah merembes ke tengah kota. Ketika saya di alun-alun San Marco, lapangan luas di depan gereja emas tampak tergenangi air.
Di balik pesona salah satu warisan dunia yang dilindungi UNESCO ini ternyata tersimpan 1001 masalah. (f)
Baca juga:
7 Trik Praktis Agar Perjalanan Anda Aman dan Nyaman
Ide Liburan Akhir Tahun: 5 Kota yang Paling Banyak Muncul di Instagram
Dari Paris Hingga St. Petersburg, Inilah 5 Kota yang Paling Banyak Muncul di Instagram
Faunda Liswijayanti
Topic
#venesia, #traveling, #jalanjalanvenesia