
Tradisi dan modernitas yang bersanding tanpa saling mengalahkan menjadi daya tarik Jepang bagi wisatawan. Apalagi, sebagai negeri 4 musim, Jepang memiliki panorama alam yang cantik. Kali ini, saya menikmati keindahan alam Arashiyama, yang terletak di pinggiran barat Kyoto yang masih diwarnai daun-daun musim gugur yang tersisa di tengah cuaca awal musim dingin, dan menjelajahi kota pelabuhan Kobe yang modern, tetapi tetap terkesan bersahaja.

Keindahan Menenangkan Arashiyama
Kyoto adalah kota yang menyimpan sejarah Jepang, dan menjadi ibu kota Negeri Sakura ini, sebelum kemudian pindah ke Tokyo pada tahun 1869. Namun, saya tidak pergi menemui geisha di Gion atau Kyoto Imperial Place di bagian utara kota. Kali ini saya ke Arashiyama yang termasuk destinasi favorit pelancong karena keindahan alamnya, terutama di musim semi saat bunga sakura mekar (Maret-April) atau kala musim gugur (dan awal musim dingin).
Nama Arashiyama diperoleh dari Pegunungan Arashi (artinya badai) yang menjadi landmark kawasan ini. Dari Kansai International Airport, kita bisa menggunakan kereta api JR Haruka menuju Stasiun Kyoto, dengan tiket seharga 3.370 yen (sekitar Rp385.000), selama 2 jam. Lalu diteruskan kereta ke Arashiyama dengan membeli tiket lanjutan JR San-in line seharga 240 yen (Rp27.000) selama 26 menit dari Kyoto, turun di Stasiun Saga Arashiyama.
Keluar dari stasiun, saya berjalan kaki saja melemaskan tungkai setelah berjam-jam tertekuk di pesawat dari Jakarta dan di kereta api. Udara pukul 9 pagi itu masih menggigil. Matahari tidak tampak, meski hari sudah terang. Embusan angin yang sesekali datang membuat saya otomatis menaikkan kerah coat dan merapatkan syal yang membungkus tubuh.
Berbekal peta di tangan, saya melewati jalan-jalan kecil di perkampungan. Rumah-rumah yang mungil dengan halaman sempit yang ditanami satu atau dua batang pohon dan bunga-bunga berwarna terang berjajar rapi di pot menjadi pemandangan yang lumrah. Dan, karena hari itu Sabtu pagi, saya nyaris tak melihat satu pun penghuni rumah berada di luar. Mungkin mereka masih tidur. Menyeberangi jalan raya, sepanjang jalan dipenuhi toko suvenir, makanan, dan oleh-oleh.
Kira-kira 20 menit kemudian, sampailah saya di bamboo grove, yang berupa ‘lorong’ dengan tumbuhan bambu di kiri-kanan, dibatasi oleh pagar ranting-ranting kering yang diikat memanjang. Di sepanjang pembatas itu dipasangi lampu-lampu, yang saya bayangkan akan terlihat dramatis saat dinyalakan malam hari. Bau daun-daun bambu kering mengambang samar di udara. Pohon-pohon bambu yang langsing menjulang ke atas itu berayun-ayun ditiup angin yang menimbulkan suara gemerisik, seperti mengucap salam pagi.

Taman Jepun Kuil Tenryu-Ji
Saya sejenak terdiam di jalan setapak di balik gerbang belakang Kuil Tenryu-ji. Jalanan menuju hojo (bangunan utama) kuil itu disalut kerikil dan batu-batu kecil yang tampak basah oleh sisa embun. Tapi, pemandangan yang ada di depan saya membuat saya melupakan suhu dingin. Mata saya sibuk menangkap dan merekam deretan pohon maple Jepang dan beech di sepanjang tepi jalan, dengan daun-daunnya yang berwarna merah, kuning, dan sebagian kehijauan, melambai-lambai dari rerantingan. Sebagian jatuh melayang menutupi jalan setapak yang kian lama kian dipenuhi pengunjung kuil yang berjuluk kuil heavenly dragon ini.
Tenryu-ji Shrine adalah kuil paling penting di kawasan Arashiyama. Satu dari lima kuil Buddha aliran Zen terbesar di Kyoto dan menjadi tempat penting bagi pengajaran dan pendidikan Zen. Kuil ini dibangun pada masa pemerintahan Shogun Ashikaga Takauji pada tahun 1339. Sang Shogun (pemimpin militer) meminta pendeta Muso Soseki membangun kuil di tepi Sungai Honzu ini untuk menenangkan roh Kaisar Go-Daigo, yang waktu itu baru saja meninggal. Sebelumnya, kedua orang ini beraliansi, sebelum akhirnya Shogun Ashikaga berkhianat dan merebut kekuasaan dari sekutunya itu.
Terlepas dari sejarah pengkhianatan itu, aura kuil ini menenangkan, meski saya harus berbaur dengan turis-turis yang sibuk selfie atau memotret pepohonan dan bunga-bunga kamelia putih dan peoni merah muda yang sedang mekar. Saya hirup udara dingin, dan seperti merasakan energi yang ikut masuk tiap kali udara mengalir ke rongga dada. Mungkin juga karena jumlah oksigen murni di tempat tanpa polusi ini yang menjadi penyebabnya.
Mengikuti arus pengunjung, sampailah saya ke deretan bangunan kuil yang terbuat dari kayu, dengan atapnya meliuk membentuk piramid yang di pucuknya terpahat patung naga. Seperti layaknya bangunan Jepang, lantai bangunan itu dialasi tatami (tikar) rumput berwarna kuning muda. Kuil ini menyimpan banyak peninggalan, seperti pahatan kayu Buddha Gautama maupun lukisan pendeta Muso Soseki. Di kuil ini juga dimakamkan dua kaisar Jepang, yaitu Gosaga dan Kageyama.
Hari makin siang, pengunjung duduk di sepanjang beranda hojo, yang merupakan tempat untuk upacara dan acara-acara berskala besar. Saya ikut duduk di bangku kayu, sambil memandang taman jepun (Japanese garden) yang sangat indah. Japanese garden adalah desain tradisional penataan sebuah taman yang merupakan miniatur sebuah lanskap alam ideal: pepohonan, letak batu-batuan juga aliran air.
Desain yang berakar pada agama Shinto ini mengakomodasi kebutuhan rekreasi, dan untuk kuil Buddha sekaligus tempat kontemplasi.
Taman jepun Tenryu ji didesain sendiri oleh pendeta Muso, dan memiliki satu kolam besar yang bernama Sogen, yang dikelilingi pepohonan pinus, maple, sakura (yang sedang kehilangan daun-daunnya), beech dan perdu whiteberry. Jembatan batu mungil melengkung menghubungkan tepi kolam ke pulau kecil di tengah kolam yang ditumbuhi satu pohon pinus muda. Ikan-ikan koi besar terlihat berenang-renang malas menikmati hidup.
Saya mendongak dan mencuri pandang ke arah Pegunungan Arashi, dengan cipratan warna-warna daun musim gugur, seperti menjadi background sempurna. Matahari yang bundar tapi sinarnya tak menyengat di atas kepala, membuat saya teringat sebaris kalimat di sajak Di Kebun Jepun penyair Goenawan Mohamad yang mendadak membuat saya merasa melankolis: "Matahari hanya sebentar. Besok kita masing-masing pergi."

Monyet Muka Merah
Keluar dari pintu gerbang utama Kuil Tenryu-ji, saya menyusuri jalan Susukinobabacho ke arah kanan menuju Bukit Arashi yang telah saya rekam ‘wajahnya’ dari tepi kolam taman jepun Kuil Tenryu-ji. Meski namanya seram, badai (arashi=badai), siang itu saya hanya menyaksikan ‘wajah’ yang membuat saya terdiam. Merah, kuning, oranye, hijau daun-daun pepohonan membuat bukit itu laksana ditumpahi cat aneka warna yang meski belang-belonteng anehnya terlihat sangat cantik.
Di puncak bukit Arashiyama terdapat Iwatayama Monkey Park, habitat monyet khas Jepang yang wajahnya berwarna merah. Sesungguhnya, saya tidak terlampau tertarik untuk menengok si monyet, tapi jujur saja, kecantikan bukit Arashiyama-lah yang menjadi alasan utama saya mau melangkahkan kaki menuju puncaknya, yang sudah pasti butuh banyak energi.
Sebelum mencapai kaki bukit, saya harus melintasi jembatan Togetsukyo yang melengkung melintasi Sungai Honzu dengan aliran airnya yang tenang dan siang itu berkilauan berwarna perak di bawah matahari siang. Togetsyu (yang artinya adalah moon crossing) ini ada sejak periode Heian (794-1175), dan konon sudah populer sebagai tujuan wisata untuk menikmati cheery blossom atau daun-daun musim gugur. Di sepanjang tepi sungai yang berada di seberang bukit, dipasang bangku-bangku beton, yang saya tebak sengaja diletakkan untuk orang-orang yang ingin memandang keindahan lengkungan jembatan beton dengan railing dari kayu yang legendaris ini.
Duduk di salah satu bangku, di bawah pohon pinus tua, saya layangkan pandang ke jembatan yang ramai lalu lalang orang berjalan (dan berfoto atau ber-selfie) di tepi jembatan, dan mobil-mobil melaju pelan di bagian tengah jembatan. Di antara orang-orang yang berbaju musim dingin warna gelap, terdapat gadis-gadis manis memakai kimono dan sandal kayu yang berjalan bergerombol dan bercanda riang.
Tak perlu berkata-kata, cukup duduk diam dan mendengarkan gemercik air sungai, yang ternyata setelah melewati jembatan berganti nama menjadi Sungai Katsura itu. Tapi, saya harus berjalan menuju puncak bukit Arashi. Karena monyet-monyet muka merah yang lucu sudah menunggu untuk ditengok. Saya hirup udara dalam-dalam, dan berjalan lurus ke selatan, melintasi jembatan moon crossing.
Jalanan mendaki memang menjadi tantangan yang harus dihadapi. Tapi jangan takut, banyak bangku dan shelter tempat istirahat di tiap kelokan (dan selalu tak saya sia-siakan keberadaannya). Saya pikir, kalau saya ke sini bukan di musim gugur atau musim bunga sakura mekar, bisa bosan karena pasti hanya akan ada pepohonan hijau. Tapi, begitu sampai di puncak bukit, saya sungguh merasa tak sia-sia menghabiskan sebagian besar energi saya siang itu. Meski tak banyak monyet muka merah yang hangout, toh, saya bisa memandang kota dari ketinggian, yang tampak misterius dinaungi kabut musim dingin.

Tip
- Jangan lupa mencicipi kaiseki, cara makan tradisional yang terdiri dari bermacam-macam jenis hidangan yang disajikan dalam satu kotak makanan bersekat.
- Bila ingin mencoba berkimono, banyak tempat menyewakan kimono yang bisa disewa sekitar 3.000 yen per 3 jam dan 4.000 yen untuk sehari.

Kobe yang Majemuk
Yang mungkin paling banyak diingat orang tentang Kobe adalah daerah penghasil daging sapi wagyu terbaik di dunia. Namun, Kobe ternyata menyimpan kekayaan lain. Sebagai kota pelabuhan terbesar di Jepang, bersama Kota Yokohama, Kobe adalah kota yang penduduknya cukup plural. Tempat ibadah saja, selain banyak kuil, saya juga melihat beberapa bangunan gereja dan sempat mampir ke masjid tertua di Jepang yang ada di kota ini.
Bangunan masjid yang beralamat di 2-25-14 Nakayamatedori, Chuo Ward, Kobe, ini sudah berdiri sejak 90 tahun lalu. Bangunan berwarna cokelat muda itu terlihat kokoh dan artistik. Kubahnya berwarna kehijauan diapit oleh dua menara dengan lambang bulan sabit di ujungnya. Pintu gerbang masjid terbuat dari kayu tebal, dengan pegangan pintu berupa dua besi tempa berbentuk melingkar. Tak heran bila masjid ini menjadi objek favorit banyak warga Jepang untuk dilukis. Seperti hari itu, di depan masjid, saya melihat banyak orang duduk di dingkik (kursi pendek) untuk membuat sketsa bangunan.
“Masjid ini didirikan oleh imigran dari India dan saat ini jemaahnya terus meningkat. Kebanyakan adalah pendatang dari India, Bangladesh, Turki, Pakistan, Malaysia, juga dari Indonesia,” ujar imam masjid, Abdul Rauf. Begitu tahu saya datang dari Indonesia, beliau mengatakan bahwa orang Indonesia yang menjadi jemaah di masjid itu baik-baik dan sangat peduli pada orang lain (yang saya sambut dengan manggut-manggut tanda setuju).
Abdul Rauf yang berasal dari Hyderabat, India, ini mengatakan, sebagai minoritas, kaum muslim di Jepang tidak pernah mendapat diskriminasi. Bahkan, untuk mencari makanan halal pun tidak sulit, karena banyak toko makanan halal yang dibuka oleh imigran Turki. “Kami juga bisa beli secara online yang barangnya datang tepat waktu,” ujarnya, tersenyum.
Untuk melihat langsung kebesaran Kobe sebagai kota pelabuhan, termasuk sejarah kemaritiman dan perkapalan Jepang, saya pergi ke museum bahari yang bernama resmi Maritime Museum (Kawasaki Good Times World), yang terletak di 2-2 Hatobacho, Chuo Ward. Dari luar, di tengah panas matahari, bangunan yang berbentuk lunas kapal berwarna perak itu sangat menyilaukan.
Di museum yang juga dimiliki oleh Kawasaki, salah satu perusahaan besar Jepang, ini tersimpan sejarah kelautan Jepang dengan lengkap dan dikemas modern. Kita bisa melihat bentuk-bentuk miniatur kapal dari yang tradisional, kapal barang, kapal penumpang, hingga kapal pesiar milik Jepang atau yang pernah melintasi Jepang. Di sini saya melihat miniatur kapal Titanic. Saat melihat bagian buritan kapal yang menjadi tempat Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet pacaran di adegan ikonis film Titanic itu, saya pun seperti tak sadar berucap, “You jump, I jump…!”.

Nutcracker di Pegunungan Rokko
Meski terletak di tepi pantai, Kobe juga memiliki wilayah pegunungan yang bernama Gunung Rokko. Daerah ini dikembangkan oleh orang Inggris, Arthur H. Groon, pada tahun 1900-an dan menjadi tempat favorit para expatriat untuk melepas lelah. Banyak vila peristirahatan di sini. Siapa sangka, di salah satu lekuk puncak Mt. Rokko, saya menemukan Rokko International Musical Box Museum, yang juga menyediakan workshop pembuatan music box.
Sebagai penggemar music box, saya sangat antusias saat menaiki bus yang akan membawa saya ke museum yang berupa rumah berdinding batu dengan arsitektur bergaya Western itu. Museum yang dibuka sejak tahun 1994 ini menyimpan berbagai alat musik kuno, seperti grand piano, akordeon, banjo, juga biola. Beberapa music box berukuran besar pun ada, yang diletakkan dalam ‘rumah’ dari kayu yang dipahat.
Museum ini juga menyediakan ruangan tempat ‘konser’ mini dari music box berukuran besar tersebut di lantai 2. Pengunjung bisa mendengarkan alunan musik –lagu-lagu klasik-- selama 15 menit, dengan pengantar dari petugas yang memakai seragam kemeja putih dan rok panjang hitam seperti yang dikenakan gadis-gadis Swiss zaman dulu. Saya beruntung mengunjungi museum ini pada bulan Desember, karena konser kali ini tentang lagu-lagu pertunjukan balet The Nutcrakers.
Dengan pengantar dari petugas mengenakan rok hitam berenda (yang sayangnya hanya menjelaskan pakai bahasa Jepang sehingga saya hanya menebak-nebak saja apa yang ia sampaikan), saya sangat menikmati mendengarkan orkestra musik dari sebuah giant music box kuno asal Austria yang berada di depan deretan kursi penonton. Penonton dengan tekun menyimak alunan musik dari dua lempeng logam warna kekuningan yang berputar perlahan, tanpa ada yang berani bersuara, membuat suara music box terdengar jernih dan membuat saya merinding, karena kagum dan suasana sedikit creepy.
Usai konser, kita bisa melihat dan mengikuti workshop pembuatan music box mini. Bukan hanya melihat, pengunjung juga bisa memilih sendiri lagu yang diinginkan, apakah lagu pop, lagu klasik, atau lagu-lagu Jepang populer. Tentu butuh ketelitian untuk mengecek nada yang pas dari music box yang kita buat. Tapi, kalau kurang sabar untuk membuat sendiri, apa lagi yang bisa dilakukan selain... shopping!
Berbagai music box mini tersedia di toko suvenir di lantai bawah. Beragam bentuk dan ukuran music box mini bisa dibawa pulang dengan harga yang beragam, dimulai dari harga 2.160 yen (Rp311.000).

- Menikmati wagyu beef Kobe yang empuk dan juicy, pilihlah restoran yang memiliki hotplate di meja. Pelayan akan memotong-motong dan memasak daging di depan Anda, dan bisa Anda request, mau medium rare atau medium well saja, karena rugi kalau memilih well done.
- Di Kobe juga banyak kafe dan bakery ala Barat. Café Real Princess Ricardina yang bergaya Prancis ini adalah salah satu yang patut dikunjungi.
- Es krim matcha adalah salah satu dessert wajib coba.
Topic
#TravelingJepang