
Foto: Dok Pribadi
Myanmar memiliki banyak pesona. Berikut tiga di antaranya menurut Sylvia Mira (kontributor Jakarta). Simak catatan perjalanannya.
Pemandangan anti mainstream segera saya temui begitu mendarat di bandara internasional Yangon pagi itu. Baik wanita dan pria yang berjalan lalu lalang di depan saya menggunakan sarung dengan wajah belepotan bedak di kedua pipi dan dahi. Dan sambil mengunyah sirih yang membuat bibir seperti bergincu, dengan santai mereka menawarkan tumpangan kepada setiap orang yang hendak keluar dari bandara. Yup, inilah salah satu pesona lokal yang menjadi daya tarik Myanmar dan saya sungguh tidak sabar untuk mendapatkan kejutan-kejutan lain di perjalanan kali ini!
Dari sopir taksi yang mengantar saya menuju penginapan, saya tahu bahwa longyi (sarung) adalah gaya berpakaian sehari-hari di sana. Cara pakainya adalah seperti memakai sarung pada umumnya, tetapi dilipat seperti simpul pada bagian tengah depan. Longyi yang dipakai para kaum pria disebut ‘paso’, sedangkan yang dipakai kaum wanita disebut ‘htamain’. Ketika ditanya, alasan mereka masih memilih menggunakan longyi di jaman modern ini adalah untuk kesopanan dan kenyamanan pada saat berdoa di kuil.
Berpetualang selama seminggu di negara yang dijuluki sebagai Zamrud Asia ini, membuat saya semakin terpikat untuk mengetahui lebih jauh lagi keseharian mereka. Seperti kebanyakan orang Myanmar, saya pun tak ragu memoles wajah saya dengan thanaka (bedak dingin). Thanaka adalah bedak khas Myanmar, yang umum digunakan wanita dan anak-anak. Menurut sejarah, thanaka sudah digunakan sejak 2000 tahun lalu. Dari sisi kegunaan, sebetulnya untuk melindungi kulit dari teriknya sinar matahari yang super panas, sekitar 38-40°C. Tapi seiring dengan waktu thanaka juga dipakai sebagai aksesori untuk menambah keimutan dan kecantikan.
Pesona lain dari negara yang terkenal dengan ‘Land of The Pagoda’ ini tentunya adalah ribuan pagoda yang bertebaran merata di hampir semua kota yang saya kunjungi di negara Myanmar. Di Yangon, salah satu yang sangat terkenal adalah Pagoda Shwedagon. Menempati area seluas 114 hektar di Singuttara Hill, pagoda ini menjadi tempat beribadah paling suci bagi warga Myanmar yang sebagian besar beragama Buddha. Ribuan stupa-nya berlapis emas dan pada puncak pagodanya terlihat kerlip batu berlian & batu ruby serta satu buah berlian 76 karat yang menjadi titik tertinggi Pagoda Shwedagon. Waktu terbaik menikmati keindahan dan keagungan pagoda ini adalah malam hari, sekitar pukul 18.00 ke atas.
Salah satu wilayah Myanmar yang memiliki banyak sekali situs pagoda terletak di kotatua Pagan atau Bagan. Bagan menyimpan kejayaan sejarah masa lalu yang masih terekam dengan baik sampai saat ini. Menurut sejarah, kota Bagan sudah mulai dibangun pada abad ke-13 Masehi dan menjadi asal mula dari suku Burma (Burmanesse) yang kini sebagian besar mendiami Myanmar. Dari puluhan pagoda yang saya kunjungi, Pagoda Shwesandaw yang memberikan kenangan paling mendalam buat saya untuk menikmati sunset. Pagoda ini disebut-sebut sebagai pagoda pertama yang dibangun oleh Raja Anawratha, bapak bangsa Myanmar pada tahun 1057. Untuk mencari tempat yang strategis memang dibutuhkan sedikit tenaga ekstra, karena kita harus menaiki ratusan anak tangga menuju ke puncak pagoda. Tapi semua lelah langsung terbayar ketika melihat sang Surya berarak tenggelam ke peraduannya. Memesona! (f)
Sylvia Mira (kontributor Jakarta)
Baca Juga:
- Menelusuri Keunikan Kota Busan
- Jalan-jalan ke Melbourne, Wajib Foto di 7 Spot Berikut Ini
- Ide Seru Buat Merayakan Natal dan Tahun Baru di Hotel
Topic
#travelingmyanmar