
Foto: dok. SA Film
Mengisahkan tiga kakak beradik perempuan yang tinggal bersama Nenek dan Ayah mereka. Kakak tertua (Nunung, diperankan oleh Chitra Dewi) baru saja genap umurnya 29 tahun, yang membuat si Nenek bimbang, usia hampir tiga puluh tetapi belum menemukan jodoh. Sifatnya yang tidak mudah bergaul dengan lelaki sungguhlah bertolak belakang dengan adik-adiknya (Nana, diperankan oleh Mieke Wijaya, dan Nenny, diperankan oleh Indriati Iskak).
Digambarkan, Nunung adalah gadis rumahan, yang sehari-hari selalu mengenakan kebaya. Sejak ibunya meninggal, Nunung lah yang mengambil alih peran ibunya untuk mengasuh kedua adiknya, dan melakukan berbagai pekerjaan rumah.
Berbeda dengan kedua adiknya yang senang bergaul, banyak teman, dan sangat tergantung pada kakaknya.
Sejak neneknya uring-uringan, semua orang di rumah itu dipaksanya untuk mencarikan pria untuk sang kakak. Segala upaya dilakukan. Misalnya, ayahnya mengundang teman-teman kantor ke rumah, Nana harus mengajak kakaknya ke setiap pesta yang didatangi, dan Nenny pun ikut-ikutan mengundang teman-teman mainnya ke rumah untuk dikenalkan pada kakaknya. Semua dilakukan untuk Nunung. Cara ini membuat Nunung jengah dan suka marah-marah.
Suatu hari, Nunung secara tak sengaja bertemu dengan pemuda bernama Toto. Pria yang menabraknya di jalan. Toto mengikutinya sampai ke rumah. Tak hanya itu, Toto juga rajin menengok Nunung. Meski awalnya Nunung kesal karena menganggap Toto adalah pria kurang ajar yang telah menabraknya, lama kelamaan Nunung luluh. Masalah muncul karena adiknya, Nana, juga terpikat pada Toto. Nana yang lebih luwes dalam bergaul dan agresif mendekati Toto, membuat Nana lebih sering merebut perhatian Toto. Hingga akhirnya keduanya bertunangan.
Nenek yang diberi tahu pertunangan mereka, marah dan tak menyetujuinya. Alasannya, Kakak sulung tak boleh dilangkahi, atau ia akan mengalami kesialan. Drama musikal tentang cinta dan persaudaraan yang seolah menjadi potret zaman itu.
Sebagai penanda zaman, film ini menjadi pelajaran yang menarik. Misalnya, bagaimana fashion yang berkembang pada masa itu. Kebaya masih digunakan, tetapi hanya disukai kalangan tertentu. Lagu-lagu pop yang merdu, serta acara pergaulan muda-mudi Jakarta.
“Film legendaris ini begitu disukai karena mengangkat problematika yang dialami dalam keseharian sekaligus menjadi trend setter sosial budaya di zamannya,” kata Yoki P. Soufyan dari SA Films yang memproduksi ulang film drama musikal yang merebut Piala Citra untuk kategori Tata Musik Terbaik ini.
Film sukses yang berjaya di era ‘50-an Tiga Dara kembali diputar ulang di bioskop mulai 11 Agustus. Tahun 1956, ketika film ini pertama kali diputar, film yang disutradarai oleh tokoh perfilman ternama Usmar Ismail ini ditayangkan selama 8 minggu berturut-turut di layar lebar dan juga di program Dunia Sinema TVRI.
Untuk bisa memutar kembali film lawas ini, dibutuhkan 17 bulan proses restorasi fisik dan digital ke bentuk format 4K yang cukup sulit. “Tiap frame dari total 150 ribu frame ada kerusakan. Restorasi fisik seluloid film pun sangat challenging karena ada yang tertekuk, ternoda bekas selotip, berdebu, tergores, robek, dan berjamur,” jelas digital artist Taufiq Marhaban. Hasilnya? Kualitas gambar yang jernih dan audio yang merdu. Film yang akan membuai kita ke nostalgia era 50-an. (f)