
Foto: Unsplash
Kebutuhan masker menjadi peluang usaha di masa pandemi COVID-19. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya permintaan produk kesehatan, khususnya masker, yang diperlukan guna mencegah penularan virus SARS-CoV-2 pemicu COVID-19.
Menurut Sari W. Pramono, Ketua Bidang Ketenagakerjaan, Vokasi dan Kesehatan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), potensi bisnis masker naik hampir 77% sejak masa pandemi. Peluang ini ditangkap pengusaha antara lain dengan beralih ke bisnis konveksi untuk memproduksi masker.
“Fashion designer lokal Indonesia juga mulai membuat masker yang lucu-lucu sesuai dengan fashion sekarang. Menurut saya potensinya besar untuk mengembangkan bisnis masker,” ujarnya
Namun bisnis masker kesehatan dan alat pelindung diri (APD), khususnya N95 di Indonesia masih kurang. Kemungkinan tak sampai 10 perusahaan yang memproduksinya. Ini menjadi tantangan buat industri kesehatan Indonesia untuk mandiri tanpa banyak transaksi impor.
“Saya rasa dengan adanya kreativitas teman-teman yang sudah mulai belajar membuat masker dan lain-lain, nanti lambat laun angka impor bisa ditekan. Justru bagaimana pemerintah juga mensosialisasikan ini supaya kita membeli produk dalam negeri melalui UKM yang ada agar ekonomi ini bisa terus berjalan,” ujarnya.
Sari berharap pemerintah mendukung dan menggerakkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) supaya produksi lokal terutama konveksi dapat membantu gerakkan perekonomian. HIPMI ingin pemerintah membeli barang yang diproduksi di dalam negeri.
“Sesuai dengan arahan dari Presiden, bahwa kalau memang ada keberpihakan dari pemerintah untuk memakai produk lokal, maka produk lokal harus dibeli agar naiknya daya beli masyarakat serta ekonomi kita juga tumbuh,” ujar Saifudin HS, Direktur Utama PT Mitra Sarana Indo.
Sebelumnya, perusahaan yang dipimpin oleh Saifudin tak bergerak di bidang alat kesehatan, namun sejak pandemi meluas, perusahaannya mulai memproduksi masker. Menurut Saifudin bisnis harus dilakukan secara rasional dan realistis, disesuaikan dengan keadaan.
“Karena kami melihat semua dana anggaran pemerintah refocusing sejak masa darurat ini, kemudian anggaran untuk alat kesehatan pada saat itu ada 75 triliun atau sekarang naik menjadi 84 triliun. Mulai dari pusat sampai ke tingkat Dinkes daerah yang dibeli itu hanya APD SET, APD masker, dan lain sebagainya. Kemudian seperti kata Pak Presiden ada dana 170 trilliun juga belum digunakan. Di sini kami melihat peluang bisnis, kalau tidak menyesuaikan kami sudah tidak punya proyek lagi,” jelasnya.
Ayi Hani Susanti, Direktur Utama CV. Brilliant melakukan hal serupa. Jika sebelumnya perusahaan yang ia pimpin memproduksi seragam, kini telah beralih memproduksi berbagai jenis masker.
“Kami beralih karena demand tinggi untuk masker. Yang tadinya kita tidak tahu apa-apa tentang masker, tidak pernah memproduksi masker, akhirnya kita mencoba untuk bikin kreasi masker dengan desain sederhana seperti masker kain atau masker scuba,” ungkapnya.
Penjualan yang dilakukan Ayi tidak dijalankan secara retail, melainkan dengan sistem korporasi. “Ketika klien butuh yang bermotif batik, kami siapkan batik. Begitu juga ketika klien butuh masker scuba bermerek," ujarnya. Namun ia mengaku baru fokus pada modifikasi, belum membuat kreasi sendiri maupun menjualnya secara retail.
Menurut Ayi pengusaha yang masuk kategori UKM harus selalu kreatif dan menyesuaikan dengan permintaan pasar. Dengan begitu usaha dapat terus berjalan, serta karyawan tetap bisa bekerja dan memperoleh pemasukan.(f)
Menurut Sari W. Pramono, Ketua Bidang Ketenagakerjaan, Vokasi dan Kesehatan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), potensi bisnis masker naik hampir 77% sejak masa pandemi. Peluang ini ditangkap pengusaha antara lain dengan beralih ke bisnis konveksi untuk memproduksi masker.
“Fashion designer lokal Indonesia juga mulai membuat masker yang lucu-lucu sesuai dengan fashion sekarang. Menurut saya potensinya besar untuk mengembangkan bisnis masker,” ujarnya
Namun bisnis masker kesehatan dan alat pelindung diri (APD), khususnya N95 di Indonesia masih kurang. Kemungkinan tak sampai 10 perusahaan yang memproduksinya. Ini menjadi tantangan buat industri kesehatan Indonesia untuk mandiri tanpa banyak transaksi impor.
“Saya rasa dengan adanya kreativitas teman-teman yang sudah mulai belajar membuat masker dan lain-lain, nanti lambat laun angka impor bisa ditekan. Justru bagaimana pemerintah juga mensosialisasikan ini supaya kita membeli produk dalam negeri melalui UKM yang ada agar ekonomi ini bisa terus berjalan,” ujarnya.
Sari berharap pemerintah mendukung dan menggerakkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) supaya produksi lokal terutama konveksi dapat membantu gerakkan perekonomian. HIPMI ingin pemerintah membeli barang yang diproduksi di dalam negeri.
“Sesuai dengan arahan dari Presiden, bahwa kalau memang ada keberpihakan dari pemerintah untuk memakai produk lokal, maka produk lokal harus dibeli agar naiknya daya beli masyarakat serta ekonomi kita juga tumbuh,” ujar Saifudin HS, Direktur Utama PT Mitra Sarana Indo.
Sebelumnya, perusahaan yang dipimpin oleh Saifudin tak bergerak di bidang alat kesehatan, namun sejak pandemi meluas, perusahaannya mulai memproduksi masker. Menurut Saifudin bisnis harus dilakukan secara rasional dan realistis, disesuaikan dengan keadaan.
“Karena kami melihat semua dana anggaran pemerintah refocusing sejak masa darurat ini, kemudian anggaran untuk alat kesehatan pada saat itu ada 75 triliun atau sekarang naik menjadi 84 triliun. Mulai dari pusat sampai ke tingkat Dinkes daerah yang dibeli itu hanya APD SET, APD masker, dan lain sebagainya. Kemudian seperti kata Pak Presiden ada dana 170 trilliun juga belum digunakan. Di sini kami melihat peluang bisnis, kalau tidak menyesuaikan kami sudah tidak punya proyek lagi,” jelasnya.
Ayi Hani Susanti, Direktur Utama CV. Brilliant melakukan hal serupa. Jika sebelumnya perusahaan yang ia pimpin memproduksi seragam, kini telah beralih memproduksi berbagai jenis masker.
“Kami beralih karena demand tinggi untuk masker. Yang tadinya kita tidak tahu apa-apa tentang masker, tidak pernah memproduksi masker, akhirnya kita mencoba untuk bikin kreasi masker dengan desain sederhana seperti masker kain atau masker scuba,” ungkapnya.
Penjualan yang dilakukan Ayi tidak dijalankan secara retail, melainkan dengan sistem korporasi. “Ketika klien butuh yang bermotif batik, kami siapkan batik. Begitu juga ketika klien butuh masker scuba bermerek," ujarnya. Namun ia mengaku baru fokus pada modifikasi, belum membuat kreasi sendiri maupun menjualnya secara retail.
Menurut Ayi pengusaha yang masuk kategori UKM harus selalu kreatif dan menyesuaikan dengan permintaan pasar. Dengan begitu usaha dapat terus berjalan, serta karyawan tetap bisa bekerja dan memperoleh pemasukan.(f)
BACA JUGA:
Jeli Melihat Peluang Ekspor untuk Wirausaha Pasca COVID-19
Kiat Mengolah Konten Produk di Media Sosial untuk Menarik Pelanggan
Pandemi COVID-19 Menyebabkan Krisis Keuangan, Ini 5 Hal yang Harus Anda Lakukan
Topic
#corona, #newnormal, #blanjalokal, #UKM, #masker, #bisnis, #wanitawirausaha, #wirausaha