
Foto: Fotosearch
Sejak hadirnya internet, orang pun memanfaatkan online untuk berkomunikasi. Komunitas online pun tumbuh menjamur. Menurut riset The Social Mind tahun 2012, banyak faktor kenapa orang tertarik bergabung dengan komunitas online. Alasan utamanya adalah karena keinginan berbagi informasi dan pengalaman. Sebanyak hampir 80% responden menjawab demikian. Sebanyak 66% mengatakan ingin menjadi bagian dari komunitas profesi, baik itu dengan teman sekantor maupun di luar kantor. Sebanyak 41% lainnya mengatakan, mengikuti grup untuk menunjukkan bahwa diri mereka punya wawasan.
Bagi generasi yang hidup tahun 1990-an, pasti familiar dengan komunitas online yang dibentuk oleh chat online semacam m-IRC ataupun ICQ. Kita mengetikkan a/s/l (akronim dari age, sex, location) sebelum kemudian memulai percakapan. Dulu, jika dipikir-pikir, komunitas chat online itu sangat random. Kita bahkan tidak tahu dengan siapa kita bercakap-cakap, dan grup seperti apa komunitas yang kita masuki.
Di tahun 2000-an, ketika e-mail berkembang, milis (mailing list) mulai marak. Di era media sosial, komunitas online pun merasuki media ini. “Beberapa tahun lalu, ketika pertama kali saya menggunakan Blackberry, saya ikut grup semua orang yang punya Blackberry. Waktu itu, anggotanya masih di bawah 200 orang. Lama kelamaan, setelah tahu kesukaannya masing-masing, lahirlah sub-sub grup. Sekarang, grup-grup itu punya kanal di chat messenger. Beberapa grup yang saya ikuti, antara lain, grup sekolah anak, pencinta binatang, dan tanaman hidroponik,” cerita Endah.
Mengenai hal ini, Endah Triastuti, PhD, Ketua Program Sarjana Komunikasi FISIP UI, mengatakan, sebetulnya dalam beberapa kasus, chat messenger sama saja dengan kebiasaan kita bercakap-cakap di kehidupan nyata, pembicaraan bisa berlangsung serius, tiba-tiba cair, random dan out of topic. “Bisa saja, ketika kita berada di komunitas alumni sekolah, misalnya, tiba-tiba ada yang ngomongin siapa yang bercerai atau selingkuh, lalu topiknya pindah ke soal Asisten Rumah Tangga, pindah lagi ke topik acara televisi, dan sebagainya. Agak berbedanya, karena di chat messenger, orang cenderung merasa aman karena tidak berhadapan langsung dengan orang lain. Dia berhadapan dengan ‘gelas kaca’. Itulah yang seringkali membuat dia lupa dan kemudian merasa bisa berlaku seenaknya,” kata Endah, mengamati.
Dalam kehidupan nyata, setiap komunitas pasti punya aturan masing-masing yang disepakati bersama oleh para anggotanya. Ambil contoh, di grup arisan RT, ada aturan tidak boleh menyediakan makan besar karena tujuannya supaya tidak merepotkan pemilik rumah, cuma boleh ngobrol setengah jam setelah arisan selesai, dan sebagainya. Begitu juga di grup online, pada perkembangannya masing-masing grup terus memperbaiki diri. Aturannya terus berkembang.
Endah menambahkan, dalam percakapan di online, kita memang belum matang. Masih dalam tahap symbolic interactionism. Realita terbentuk dari interaksi sosial. Setiap individu memiliki definisinya masing-masing tentang mana yang benar dan mana yang menurutnya tidak benar. “Apa yang kita lihat tidak beretika, itu karena menurut definisi kita tidak benar, sementara menurut orang lain hal itu adalah normal. Dalam proses itu, ketika kita tidak sepakat dengan argumentasi teman dari sebuah grup, ada dua pilihan, tegur orangnya yang menurut kita salah, atau left dari grup,” jelas Endah.
Mengenai fenomena gegar budaya dalam berkomunikasi di chat messenger, hal ini tidak ada hubungannya dengan kegagapan orang Indonesia. Di luar negeri pun kegagapan yang sama juga terjadi. Endah mengamati, pengalamannya tinggal di Australia, ia juga pernah mendapati kasus komunitasnya, sesama mahasiswa S3, yang berantem di grup karena salah satu pihak dianggap tidak beretika.
“Di luar negeri, ada juga orang yang brutal. Bertengkar di online bisa dibawa-bawa ke offline. Ketika seseorang tidak disukai di online, mereka bisa nge-track dan mem-bully orang tersebut. Menurut saya, ini terjadi di mana-mana,” tutur Endah lagi.
Belum lagi, kebiasaan broadcast pesan yang dengan mudah terjadi di grup-grup chat. Internet, menurut Endah, membuat orang bisa broadcast apa pun, playing God dengan informasi. Termasuk menyebarkan fitnah, hoax, mengedit foto, demi untuk menyebarkan pengaruh, atau sekadar kepuasan menjadi orang yang pertama kali tahu. (f)
Ficky Yusrini