
Di 2014, ketika third-wave coffee movement baru saja mulai di Indonesia, Common Grounds Coffee Roaster jadi pionir dengan membuka gerai kopi pertamanya di Sudirman Citywalk Mall, Jakarta.
Delapan tahun kemudian, brand lokal ini telah berkembang secara holistik, menyentuh bisnis wholesale, consultancy, dan tempat training para barista menuju kompetisi. Para pendirinya terbilang progresif dalam urusan mencetak talent lokal.
Sosok di komunitas kopi seperti Harison Chandra misalnya, yang notabene pemilik coffee shop berbeda, berlatih di grup ini menuju kompetisi. Selebritas kopi Mikael Jasin, juga berkembang di Tanah Air berkat bergabung cukup lama di Common Grounds Coffee Roaster.

Femina juga berjumpa dengan Marketing Manager Dimas Indro Prakoso. Ia pria di belakang hal menarik lainnya di Common Grounds: Kolaborasi.
Spirit berkolaborasi membantu evolusi Common Grounds Coffee Roaster menjadi brand yang dipersepsi ‘muda’ dan ‘keren’ oleh gen-z dan milenial. Dimas perlu melek tren demi mampu mendeteksi brand-brand senafas yang cocok digandeng collab.

Kolabari bersama Lunch for My Husband dan ilustrator Ryan Ady (dok. CGCR)
“Kami terbuka untuk acara dan aktivasi produk apapun dengan beragam merek. Ini sejalan dengan visi kami untuk menyatukan dan mempertemukan orang-orang dari beragam komunitas,” tutur Co-Founder, Aston Utan.
Common Grounds Zero di ASHTA District 8 misalnya, dikunjungi banyak peminat interior berkat penggunaan furnitur AlvinT Studio karya Alvin Tjitrowirjo.
Cabang terbaru Common Grounds Coffee Roaster di Pondok Indah Plaza 2 dilengkapi pojokan retail yang menjual sneakers dan baju urban layak koleksi dari perancang lokal dan internasional.
Lainnya, kolaborasi dengan Museum Macam dan Agus Suwage untuk meluncurkan cup sleeve bergambar karya seniman tersebut.

Kolaborasi menu bersama persona dan merek smartphone Oppo (dok. CGCR)
Bila kolaborasi di tahun-tahun pertama Common Grounds Coffee Roaster lebih menyentuh dunia kopi, kolaborasi di masa-masa kini telah melintasi industri.
“Kami melebarkan awareness dengan memasuki komunitas fesyen, musik, art and design, dan sneakers. Roof-nya satu, yakni creative industry. Tahun depan, kita tap in ke komunitas BMX hingga inline skate dengan menjadi lokasi extreme sport awarding,” ujar Dimas. Ia mencontoh Michelin, merek ban yang juga punya restaurant guide yang diperhitungkan.
“Kita mau seperti itu di wilayah extreme sport. The main point is creating brand awareness,” sambungnya.
Ini memantik penasaran femina:
Bagaimana agar ekspansi awareness ‘jalan terus’ tanpa menghilangkan unsur ‘coolness’ dan tidak mendapatkan kesan mass yang bisa saja kurang diinginkan suatu brand?

Kolaborasi cup sleeve dan menu bareng Agus Suwage x Museum Macan. (dok. CGCR)
Dimas mengakuinya sebagai tantangan.
Alih-alih menerima semua tawaran yang datang, dirinya mengasah sense-nya saat melakukan kuratorial brand collaboration. Seni menimbang-nimbang ini perlu jam terbang.
"Kami lebih memilih untuk bergerak menjadi pihak yang melalukan approach kolaborasi. Kolaborasi 'kan ‘nebeng’ satu sama lain, mikro ke makro, dan sebaliknya. Maka, walau pihak yang ditaksir hanya punya pengikut terbatas, nggak masalah bila itulah target yang kami tuju," ujar pria ramah ini, menambahkan.
Lalu, bagaimana dirinya melakukan success rate sebuah collab?
"Ngeliat enggagement di media sosial is the easiest thing to do, tentunya. Namun, lebih dari itu, saya perlu merasakan 'bunyi' brand yang jadi lebih louder di luar sana," tukasnya.
Kesuksesan sebuah kolaborasi bisa intangible namun dahsyat. Misalnya, vibe yang kreatif, cool, dan muda bilamana nama 'Common Grounds Coffee Roaster' terlintas. (f)
Baca juga:
Tren Tea Blend di Luar Negeri, Indonesia Sedang Menyusul?
Menanam Microgreens Bisa Jadi Hobi Baru
Hwangnam-Ppang, Kue Korea yang Mirip Bakpia Jogja
Trifitria Nuragustina
Topic
#commongroundscoffeeroaster