Fiction
Simfoni Kesedihan [3]

5 May 2016

Bagian 1  2  3  4

Kisah Sebelumnya <<<
 
Aku memilih memarkir mobilku di halaman sekolah, bukan di halaman rumah yang ada di samping gedung. Aku merasa memang lebih baik memarkirnya di sini. Setelah itu aku mulai berjalan melintasi pelataran sekolah, dan melewati taman bunga dengan beberapa pohon besar yang melindunginya. Sejenak kubiarkan daun-daun kering menjatuhi tubuhku. Dulu, aku hanya butuh waktu dua menit untuk  menempuh jarak ini. Tapi entah kenapa, sekarang aku merasa waktu itu sepertinya lebih lama dari seharusnya. Makin mendekati rumah, apa pun yang ada di sisi-sisiku seperti tak lagi menarik untuk diperhatikan. Semuanya seakan membaur dengan kesunyian.
Kurasakan tanganku seperti sedikit berkeringat saat mulai mengetuknya. 
Seorang perempuan  paruh baya membukakan pintu. Ia adalah pengurus rumah yang sejak lama bekerja di sini. 
“Nona Sefadia?” Ia menatapku tak percaya.
“Ya, Bibi, ini aku.” 
Masih setengah tak percaya, ia memelukku. Aku balas memeluknya sekilas.
“Apakah Mama ada?” tanyaku kemudian.
“Di dalam ruang kerjanya, Nona.”
 
Aku kemudian melanjutkan langkahku dengan perasaan asing. Aku seperti tak lagi mengenali apa yang ada di ruangan ini. Sepertinya tataannya memang sudah diubah. Beberapa perabotan pun tampaknya telah diganti. Untungnya ruang kerja Mama tetap ada di ruang yang sama. Ruang yang sejak dulu nyaris tak pernah kumasuki. 
Kutemukan Mama duduk di kursinya. Segelas rum dengan isi yang tinggal seteguk, kulihat ada di dekatnya.  Saat akhirnya ia melihatku di ambang pintu, ia hanya berguman tak percaya, “Sefa?” 
“Ya, Mama. Ini aku.” 
Mama sama sekali tak tampak bergerak. Ia hanya memajukan kursinya sedikit. “Hmmm, ini mengejutkan, Sefa. Kupikir... kau sudah lupa jalan kemari?”
Aku mengatupkan bibir. Sepertinya semua memang belumlah berubah. Ucapan-ucapannya masih sama seperti dulu. Namun, sama seperti dulu, semenyakitkan ucapan Mama terhadapku, tak sekali pun aku pernah membalasnya. Kadang-kadang aku merasa inilah kelemahanku. Sifatku ini tak jauh berbeda dari sifat-sifat Papa yang lebih suka memendam semuanya dalam diam.
Sekilas kuperhatikan keadaan Mama. Mungkin, karena sekarang ia tengah tanpa riasan,  Mama tampak lebih tua dari yang seharusnya. Helai-helai uban sudah mulai terlihat di kepalanya. Demikian juga dengan keriput di wajahnya.
“Aku datang ke sini karena ada yang ingin kutanyakan pada Mama.” Aku berusaha membuat suaraku terdengar senormal mungkin.
“Apa itu?” Mama hanya melirikku sekilas.
Aku menelan ludah sejenak. “Ini tentang... lagu yang Mama bawakan di televisi kemarin. Lagu... Simfoni Rahasia,” ujarku.
“Ya?” Sekilas kurasakan ada kilatan terkejut di wajah Mama.
“Saat membereskan barang-barang Barra, aku tak sengaja menemukan partitur-partitur peninggalannya.” Aku mendekatinya sambil mengeluarkan lembaran-lembaran kertas itu dari tasku, dan meletakkannya di depan Mama, berharap Mama mengambil dan melihatnya. Tapi, Mama rupanya tak bereaksi sama sekali. Ia hanya diam memandangnya sekilas saja. Tangannya malah meraih gelas di sebelahnya, dan menandaskan rum yang tersisa.
Aku melanjutkan ucapanku, “Aku ke sini ingin bertanya, apakah... Qurie yang menciptakan simfoni itu, Mama?”
 
***
Qurie Qurindra
Sejak menjadi asisten pengajar, aku memang tak lagi tinggal di kamar belakang sekolah. Entah kenapa aku merasa butuh kamar yang lebih besar. Namun, oleh pihak sekolah, kamarku tetap dibiarkan kosong, sehingga bila aku ingin beristirahat, atau tengah malas untuk pulang, aku tetap bisa menginap di sana. 
 
Sementara itu, Barra masih sering datang di ruang piano. Kini aku jadi sering menunggunya. Ia juga sibuk. Kawan-kawan di band-nya dulu, masih sering mengundangnya tampil. Bila tak terlalu jauh dari kota ini, ia masih selalu menyetujuinya. Untuk sekadar melepas kangen, katanya.
Aku merasa hubunganku dengannya  makin dekat. Barra sudah beberapa kali mengajakku keluar. Makan di pusat kota atau menyaksikan live music di salah satu cafe. Sungguh, aku menikmati kebersamaan dengannya.
 
Di lain sisi, Sefa tampaknya mulai curiga padaku. Bagaimanapun, karena itu pula kami yang sudah  makin jarang bertemu, bertambah  makin jarang lagi. Ia selalu berkerut kening, saat aku menolak ajakannya. Aku sendiri sebenarnya ingin berterus terang kepadanya tentang Barra. Tapi, kupikir ini kekanak-kanakan. Bagaimanapun, hubunganku dengan Barra masih sebatas teman baik. Tak ada sesuatu yang perlu diceritakan.
 
Sampai suatu hari, Sefa menarik tanganku. Waktu itu, aku baru saja selesai mengajar. Ia membawaku ke lorong yang sepi dengan tingkah yang aneh. Matanya kurasakan sedikit berbinar. “Aku akan mengenalkanmu seseorang. Kupikir ia... keren sekali.”
Aku hanya tersenyum. Kupikir ini bagus. Di sisi lain aku mulai membina hubungan dengan seseorang, Sefa mulai pula menemukan pilihan hatinya. Maka aku setuju saja saat ia mengajakku ke ruang piano. 
 
Kami berdua menunggu sesaat. Sekitar 5 menit kemudian, orang yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Dan aku cukup terkejut saat tahu siapa dirinya. Ia tak lain dan tak bukan adalah Barra.
“Ternyata kau,” ujar kami nyaris bersamaan.
Sefa hanya bisa memandang kami dengan tak mengerti. “Kalian... sudah saling kenal?”
Barra tertawa lepas. “Kami sudah sering bertemu di sini. Kami bahkan sering bermain musik bersama.”
 
“Kalian... sudah sering bermain musik bersama?” Sefa menatapku, seperti menunggu jawabannya. Entah kenapa, aku merasa tak enak menjawabnya. Saat aku akhirnya mengangguk, aku seperti melihat raut kecewa yang samar di wajahnya. Tapi untungnya Barra cepat menguasai keadaan. Ia sudah mengeluarkan biolanya dan meminta salah satu dari kami untuk mengiringi lagu yang baru dipelajarinya. 
Aku tak beranjak. Kutunggu Sefa yang melakukannya. Tapi, Sefa pun tampaknya tak ingin maju. Maka, dengan gerakan kepalanya, Barra memintaku maju. Aku pun tak punya pilihan lain untuk menurutinya.
Aku merasa ini momen yang membuat hatiku tak nyaman. Beberapa kali kulihat Sefa hanya terdiam, tak bereaksi apa-apa. Ia hanya memilih mengatup bibirnya lekat-lekat. Untunglah setelah lagu yang dimainkan Barra selesai, Madame Inge muncul di pintu. Ini sedikit  bisa mencairkan suasana. 
Saat itulah –atas permintaan Barra-- Madame Inge memotret kami bertiga.
 
***
Dampak pertemuan hari itu, ternyata berbekas sampai beberapa hari ke depan. Terutama pada Sefa. Tiap bertemu denganku, wajahnya mendadak penuh selidik. Ia mulai bertanya macam-macam padaku.
 
Ini membuatku menjadi tak enak. Sempat kusesali kenapa aku menunda mengenalkannya pada Barra sampai sedemikian lama. Bila tidak, kejadian tak nyaman ini tak akan terjadi.
Namun, Barra menilai pertemuan itu sangat menyenangkan. Apalagi saat aku mulai menceritakan persahabatanku dengan Sefa yang sudah berlangsung sejak lama. Bagaimana dulu kami berkenalan dan menghabiskan hari-hari berdua saja di gedung sekolah ini. Ia menatapku dengan sinar mata tak percaya. 
 
“Kupikir kalian sangat cocok,” ujarnya. “Maksudku kalian benar-benar sahabat sejati. Sejak dulu aku ingin sekali memiliki sahabat. Tapi ternyata sahabat yang kudapat, dan benar-benar mengerti aku, hanya Eksel, anjingku.”
“Kau ini.”
Suatu kali, saat ia tengah menulis nada-nada Simfoni Kesedihan di lembaran kertas, ia tiba-tiba meletakkan pensilnya dan melangkah mendekatiku. 
“Kau tahu, Qurie,” suaranya mendadak terdengar sangat serius, “sebenarnya beberapa hari ini aku sudah memikirkannya matang-matang, dan masih mencari waktu yang tepat untuk mengungkapkannya. Kupikir, inilah waktu yang tepat menanyakannya.”
Alis mataku terangkat. “Apa?”
 
“Kau tahu sekali aku menyukai simfoni yang kau ciptakan ini. Itu membuatku ingin terus bisa mendengarkannya sepanjang waktu.”
“Kalau begitu, doakan aku bisa segera merekamnya,” ujarku.
“Maksudku... aku tentu ingin mendengarkannya langsung.”
“Hmmm, tapi  itu tentu tak mungkin?”
“Maka itulah aku bertanya padamu sekarang,” ujar Barra lagi. “Apakah kau pernah memikirkan untuk... hmmm, katakanlah, hidup bersamaku? Agar bila aku sewaktu-waktu ingin mendengarkan simfoni itu, kau mau memainkannya untukku?” 
Aku menatap Barra tak percaya. Masih tak yakin dengan apa yang baru saja kudengar. Apakah ia benar-benar baru melamarku? Lalu kenapa dengan simfoni ini, Simfoni Kesedihan? Ini tentu bukan sesuatu yang pas….
“Kau pernah memikirkan itu?” Kedua mata Barra mencari kedua mataku. 
“Aku...,” aku hanya bisa menelan ludah.
“Kalau... kau belum pernah memikirkannya,” ujar Barra lagi, “apa kau mau mulai memikirkannya?”
Sungguh, aku masih tak bisa menjawab. Tapi aku yakin, kedua pipiku kini pastilah  merona merah.
 
***
Sefadia Krani
Keheningan hadir di antara kami. Tak ada suara apa-apa, selain getaran AC yang terdengar halus. Seiring langkahku mendekat, Mama membuang pandangannya dari tatapanku.
“Aku hafal sekali simfoni ini, Mama. Qurie sudah memainkannya berkali-kali di depanku. Dulu  aku bahkan berpikir, ini simfoni yang dibuatnya untukku. Tapi, ia tak pernah mengatakannya. Jadi aku tahu, di bagian mana Mama telah mengubahnya. Satu di bagian intro, dan yang lainnya ada di verse. Ada beberapa bait yang Mama hilangkan, tapi aku masih mengenali sekali lagu ini.”
Perlahan Mama menoleh padaku, “Jadi, kau kemari untuk menuduh Mama?” 
Aku tak menjawab. Walau semua bukti mengarah ke sana, tetap saja sulit menjawab pertanyaan itu.  
“Kau ke sini hanya ingin menuduh Mama mencuri simfoni itu?” ulang Mama lagi, kali ini ia menatap tajam ke arahku. 
 
Aku menelan ludah. Inilah yang kutakutkan. Tatapan Mama sejak dulu selalu membuat seluruh tubuhku melemah. Kini, walau hampir delapan tahun tak bertemu dengannya, tetap saja perasaan itu mampu melandaku. 
 
“Kau masih benar-benar ingin membela dirinya?” Mama melangkah mendekat ke arahku. “Apa kau tak menyadari, kalau selama ini ia sudah merampas semua yang seharusnya menjadi milikmu?”
“Ia tak pernah merampas apa-apa dariku, Mama.”
“Kau begitu naif, Sefa. Sangat naif. Apa kau tak tahu kalau selama ini, siapa yang selalu mendapat kesempatan untuk tampil mewakili sekolah ini? Apa kau juga tak tahu kalau selama ini, siapa yang selalu dibanggakan sekolah ini?” Mama  makin mendekat, hingga membuatku tanpa sadar mundur selangkah.
 
“Ia yang selalu mendapatkannya, Sefa. Orang yang selama ini kau anggap sahabatmu itu... Orang yang sampai membuatmu tega menuduh mamamu ini mencuri simfoni miliknya?” suara Mama  makin meninggi. “Kau mungkin telah lupa, Sefa, aku membuat sekolah ini untuk dirimu. Sekolah ini sebenarnya kuciptakan untuk melapangkan jalanmu meraih seperti yang sudah kuraih!”
Aku  makin  tersudut. Tak ada lagi kata-kata yang bisa keluar dari mulutku.
“Seharusnya, semua tentangnya sudah selesai sejak kebakaran itu! Ia sudah mati, dan kau tak usah kembali mengungkit-ungkit apa pun tentangnya!”
Mulutku  makin mengatup. Seiring munculnya kelebatan ingatan tentang kebakaran itu. Kebakaran hebat yang membuat Qurie hilang dan aku kemudian pergi dari kota ini.
 
***
Sejak dulu aku menyadari, aku tak akan pernah bisa mengalahkan Mama. Bukan hanya di bidang musik, tapi bahkan dalam sebuah perdebatan sekalipun. Bahkan perdebatan yang sebenarnya sudah sedemikian jelas. 
 
Sejak dulu Mama memang selalu punya cara mengintimidasiku. Ia selalu bisa membuat tubuhku bergetar, kakiku gamang dan dadaku terasa sesak. Sehingga, tak akan ada ucapan yang bisa keluar dari mulutku. Tapi setidaknya hari ini, aku sudah mengungkapkan apa yang harus kuungkapkan. Aku bahkan meninggalkan partitur penuh coretan Barra di mejanya. Kupikir, walau ia tak mau mengakui hal itu di depanku, biarlah ia melihat sendiri apa yang sudah kutemukan.
 
Aku kemudian pergi dari rumah itu. Karena malam sudah larut, aku memutuskan untuk tidak langsung kembali ke kota, namun memilih menginap di sebuah hotel yang ada di pinggir kota.
Pikiranku masih terasa kalut. Aku tak tahu harus melakukan apa lagi sekarang. Sepertinya semua sudah bergerak terlalu jauh. Dari semula hanya mencari tahu makna kata-kata terakhir Barra sebelum ia pergi untuk selamanya, aku terbawa sampai ke sini. Dan itu pun ternyata tak menghasilkan apa-apa. Aku seperti kembali pada titik pertama, saat aku mulai memikirkan ucapan terakhir Barra.
Tapi, di saat aku mulai merasa benar-benar gagal, ponselku tiba-tiba berbunyi. Karena tak mengenal nomor yang muncul di layar ponsel, aku hampir saja me-reject panggilan itu. Tapi deringnya yang terus berbunyi, membuatku akhirnya mengangkatnya.
 
“Nona Sefa?” Aku langsung mengenali suara Bibi, pengurus rumah Mama. 
“Ada apa, Bibi?” tanyaku.
“Maaf, Nona Sefa, Nyonya... baru saja dibawa ke rumah sakit. Selepas Nona pulang tadi, Nyonya tak sadarkan diri....”
 
***
Suasana hening dan bau obat yang kuat langsung kurasakan saat aku masuk ke ruangan itu. Kutemukan Mama terbaring dengan infus di tangannya. Kata dokter, Mama terkena serangan jantung ringan. Tubuhnya yang lemah dan selalu diasupi obat-obatan penambah energi, kini tak lagi mampu menahan beban yang kuat. Sepertinya, kedatanganku hari ini diam-diam menjadi  pukulan yang teramat telak baginya.
 
Saat aku datang dan mendekat padanya, ia seperti tak menyadariku. Aku diam untuk beberapa saat. Sebenarnya aku ingin memanggilnya, namun entah kenapa bibirku terlalu kelu untuk berucap. Jadi aku hanya duduk di sampingnya, diam menunggu. 
 
Sampai pada akhirnya, Mama menyadari kedatanganku. Tak ada yang memulai untuk bicara. Namun, dapat kulihat kilatan air mata di kedua mata Mama. Sungguh, ini membuatku setengah tak percaya. Sepanjang hidupku, aku tak pernah sekali pun melihat Mama menangis. Melihatnya bersedih pun tak pernah. Mama selalu terlihat kuat. Tapi rupanya, tidak dengan sekarang. Hanya berselang beberapa jam aku melihatnya tadi, sekarang ia benar-benar terlihat berbeda. Kelelahan terlihat begitu jelas di wajahnya. Matanya layu dan kulit tubuhnya seakan  makin melembek. Aku seperti melihat… kekalahan dalam dirinya.
 
Kini, bibir Mama mulai bergerak, “Kau... benar...,” suaranya terdengar pelan. “Kau... benar… Sefa....”
Aku terdiam, mulai menebak-nebak arah ucapan Mama.
“Simfoni itu memang milik Qurie,” ujarnya. “Malam itu... malam saat kebakaran besar itu... aku mengambilnya....”
 
Aku terdiam. Ini semua tentu seperti yang sudah kubayangkan sebelumnya. Namun tetap saja, saat mendengarnya langsung dari mulut Mama, semuanya terasa seperti berbeda. Namun pertanyaan lanjutan dari itulah yang kemudian terlontar dari mulutku, “Lalu bagaimana dengan Qurie, Mama?”  
Mama terdiam beberapa saat, “Kupikir ia telah mati saat itu. Aku... aku sudah memukulkan sesuatu di kepalanya hingga ia terbentur piano. Lalu aku... mulai membakar perabotan di sekelilingnya....”
Aku menelan ludah tak percaya. Kali ini rasanya sulit memercayai apa yang sudah Mama lakukan waktu itu.  Wajahku tiba-tiba mengeras karena marah, tapi kali ini Mama seperti tak menggubris reaksiku. “Namun ternyata aku tahu, kalau ia masih hidup...,” lanjutnya. “Ia bisa lolos dari api besar itu. Tapi sebagian tubuhnya telah terbakar. Seorang temannya kemudian menyelamatkannya dan membawanya pergi….”
 
“Seorang kawannya?” desisku.
Mama terdiam. Ia melirikku dengan gerakan lambat. “Ya... seorang kawannya....”
Aku menelan ludah. Sebuah pikiran tiba-tiba saja muncul di kepalaku. “Apakah ia... ia Barra, Mama?”
Mama terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. 
Aku terdiam. Ini benar-benar sesuatu yang tak pernah terbayang olehku selama ini. “Lalu kenapa Mama selama ini tak menceritakannya padaku?”
Mama menatapku. “Untuk apa? Kupikir malam itu semuanya sudah selesai. Aku berharap seperti itu. Ia pergi, dan kau bisa menggantikannya. Tapi ternyata... ternyata kau malah memilih pergi. Jadi... tak ada lagi  yang perlu kuceritakan padamu, bukan?”
Aku mengatupkan bibirku rapat-rapat. Sungguh, kali ini semua perasaan benar-benar bercampur aduk dalam hatiku. 
 
***
Qurie Qurindra
Kupikir hari ini akan menjadi hari paling bahagia bagiku. Sungguh, sudah lama aku tak merasakan kebahagiaan   seperti ini. Tapi rupanya, kebahagiaan ini tak berlangsung lama. Setelah Barra pulang, aku mendapat telepon dari Madame Kristalia. Ia ingin bertemu empat mata denganku.
Ini sesuatu yang membuatku berkerut kening. Bertahun-tahun di sini, aku hanya beberapa kali saja berbincang dengannya. Itu pun hanya terjadi di sekolah dan selalu dengan kehadiran pihak lainnya. Tapi, toh, aku hanya bisa menurutinya saja. Kutemui ia di ruang piano, seperti keinginannya.
Selama ini, aku sudah banyak mendengar kisah tentangnya. Orang-orang  selalu melihatnya sebagai perempuan cantik sekaligus pianis yang hebat. Tapi bagi orang-orang di sekitarnya, ia adalah sosok perempuan kuat yang sangat ambisius. Dan hanya dengan melihatnya saja, aku dapat merasakan itu.
“Kudengar kau ditunjuk sebagai wakil sekolah untuk pertunjukan Mozart’s Night tahun ini?”
Aku mengangguk.
 
“Kau tahu itu pertunjukan yang sangat prestisius? Saat aku 13 tahun, aku juga pernah tampil di sana. Madame Inge juga pernah tampil di sana. Dan tahun ini, tampaknya giliran dirimu....” Madame Kristalia memandangku dengan tatapan -yang kusimpulkan- tak suka. “Kau pastilah sudah menciptakan sesuatu yang hebat?” sambungnya.
 
Aku kemudian menunjukkan partitur Simfoni Kesedihan. Ini adalah partitur yang masih kutulis sendiri, yang kata Barra, masih memuat banyak kesalahan kecil di sana-sini.
Kulihat Madame Kristalia membacanya sesaat. Hanya beberapa detik berselang, raut terkejut muncul di wajahnya. Kulihat tubuhnya sedikit menegang, sebelum kemudian terlihat kembai normal. 
“Kau tahu,” suara Madame Kristalia mendadak memelan, “sekian tahun aku berharap anakku menjadi seperti diriku. Itulah alasanku mendirikan sekolah ini. Namun, sebelum ia benar-benar dapat meraihnya, kau muncul dan mengambil semua kesempatan yang seharusnya menjadi miliknya....” 
Aku benar-benar tak menyangka ucapan yang keluar dari mulutnya. Kulihat tubuh Madame Kristalia tampak bergetar. Wajahnya memerah, seiring tangannya meremas partitur  yang ada di tangannya. Jelas sekali ia tengah menahan kemarahannya.
 
“Kau… datang merebut semuanya...,” desisnya, tertahan.
Aku masih terdiam, namun tanpa bisa kuhalangi, rasa bersalah mulai merayapi diriku.
“KAU.... MENGHANCURKAN MIMPINYA!” Ia berteriak sambil mengayunkan tangannya ke arah wajahku. Aku benar-benar tak lagi bisa menghindar. Aku terempas. Kepalaku terantuk ujung piano.
Lalu aku tak sadarkan diri.
 
***
Sefadia Krani
“Kupikir ia telah mati saat itu. Aku... aku sudah memukulkan sesuatu di kepalanya hingga ia terbentur piano. Lalu aku... mulai membakar perabotan di sekelilingnya.... 
Namun ternyata aku tahu, kalau ia masih hidup... Ia bisa lolos dari api besar itu. Tapi sebagian tubuhnya telah terbakar. Seorang temannya kemudian menyelamatkannya dan membawanya pergi....”
 
Kalimat itu seperti masih terngiang begitu jelasnya. Tiap bagian seperti mampu menusuk hatiku hingga tak terperi.
Aku tentu ingat malam itu. Malam saat kebakaran besar itu terjadi. Sore harinya Qurie mengajakku bertemu di ruang piano, tapi aku menolaknya. Aku tahu ia akan bertemu dengan Barra, dan ingin aku juga ada di situ. Namun, aku tentu tak mau mengganggunya. Kupikir mereka pasangan yang pantas. Dua-duanya pemusik yang hebat. Hanya perlu sekali  aku melihat mereka bermain, aku sudah tahu  hati keduanya telah bertaut. 
 
Jadi, aku memilih tidur lebih cepat malam itu. Namun, aku terbangun tiba-tiba saat Bibi menggedor-gedor pintu kamar. “Ada kebakaran di sekolah!” teriaknya.
Aku terkesiap. Entah kenapa, yang kuingat saat itu hanyalah Qurie. Aku tahu ia tak lagi tinggal di kamar kecil itu, namun ia masih sering berlatih hingga malam, dan menginap di kamar lamanya itu.
Aku langsung menghambur ke luar. Malam itu masih kuingat dengan jelas bintang-bintang yang bertabur di angkasa bagai roti-roti meses di atas donat. Namun, nyala api dan asap putih yang mengangkasa seperti menghancurkan keindahan itu.
 
Aku terperangah. Kulihat api telah berkobar di ruangan yang kuyakini sebagai ruang piano. Saat itulah satu sisi hatiku seperti membisikkan bahwa Qurie memang benar-benar masih di situ. Jadi, aku pun langsung berteriak-teriak memanggil namanya. Aku bahkan mencoba mencari celah untuk masuk ke dalam, namun Bibi menahan gerak tubuhku, “Apinya sudah terlalu besar, Nona! Berbahaya!” 
Api memang sudah  makin membesar. Ia telah bergerak menuju ke ruang tengah. Aku benar-benar tak bisa apa-apa, selain memandanginya dengan tatapan kosong. Sampai 2 mobil pemadam kebakaran akhirnya datang dan berhasil memadamkan apinya, aku segera berlari ke dalam. Beberapa petugas masih mencoba menghalangiku, namun aku bisa meloloskan diri dari mereka. 
 
Tapi rupanya upayaku itu   sia-sia belaka. Saat aku berada di depan ruang piano yang telah hancur tak lagi bisa kukenali, memang tak ada apa-apa lagi di sana, selain bekas perabot yang terbakar dan masih menyisakan asap. 
 
 
 
 
***
Yudhi Herwibowo
 


Topic

#FiksiFemina

 


MORE ARTICLE
polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?