Fiction
Gado-Gado: Salah Paham

18 Aug 2019


Dok: shutterstock.com


Petugas daratnya ini bapak paruh baya yang berbicara bahasa Jepang tulen dalam kecepatan tinggi!

“Mami, ini ada surat dari sekolah Adik, nanti Mami baca, ya,” ujar Bagas, anak bungsu saya yang berusia 5 tahun. Segera saya buka surat itu sambil  langsung membuka aplikasi penerjemah bahasa Jepang ke bahasa Indonesia di telepon genggam. Hampir 2 tahun hidup di Negeri Sakura ini ternyata tidak lantas membuat saya  jadi
cas cis cus  berbahasa Jepang. Masih terbata-bata, apalagi di sekeliling saya mayoritas justru berbahasa Inggris. 

Sebagai orang asing yang tinggal di Jepang, memang gampang-gampang susah. Tidak hanya soal bahasa, tapi juga soal penampilan saya sebagai wanita muslim yang berhijab. Bagaimanapun, cukup kontras saat berada di dalam  gerbong kereta, misalnya. Lebih sering saya menjadi satu-satunya yang berpenutup kepala. 

Byōki desu ka?” ujar seorang anak sekolah dasar di dalam kereta, pada suatu saat. Dipikirnya saya sakit  karena, kok, pakai penutup kepala.  Pertanyaan selanjutnya khas anak-anak yang selalu penuh rasa ingin tahu adalah   apakah saya botak atau tidak? Hahahaweleh... weleh...  saya akhirnya senyum-senyum sambil bingung bagaimana menjelaskan  soal rumit ini kepada seorang anak dalam bahasa Jepang.

Berstatus sebagai mahasiswi program doktoral selama kurun waktu 4 tahun menjadi tantangan yang sudah berat buat saya. Apalagi sewaktu saya harus keluar asrama mahasiswa, karena jatah tinggal sudah habis. Bukan soal biayanya, tapi  pergi ke agen apartemen tanpa ditemani orang yang bisa bahasa Jepang justru lebih menegangkan. Berbekal keberanian dan aplikasi penerjemah di ponsel, saya dan agen apartemen itu bicara seru dalam bahasa kami masing-masing.
Hahaha... kebayang pusingnya si agen ini.

Berikutnya mengurus instalasi internet untuk apartemen baru. Petugas yang dikontak lewat telepon,
sih, masih mending  karena bisa sedikit bahasa Inggris. Tapi,  si petugas daratnya ini bapak paruh baya yang berbicara bahasa Jepang tulen dalam kecepatan tinggi!  Boro-boro sempat menyalakan aplikasi di telepon genggam untuk menerjemahkan, yang ada saya cuma bisa mangap, bingung, dan bilang haik haik… saja.

Setumpuk surat yang datang silih berganti ke
mail-box apartemen sudah pasti jadi pekerjaan rumah yang juga berat karena membacanya harus sambil diterjemahkan,  dipahami, dan diresapi satu per satu! Masalah selesai sampai di situ? Tentu tidak, terkadang ada surat yang perlu dibalas. Nah, ini dia, nih… saya cuma bisa menahan sabar, karena mengerjakannya jadi 2 kali lipat lebih lama daripada menulis dalam bahasa sendiri. Terkadang nyerah dan  ujung-ujungnya minta bantuan teman atau senior di kampus yang orang Jepang.

“Sabtu ini Mami harus ke sekolah bertemu
sensei  untuk evaluasi hasil belajar Adik di sekolah,” jelas saya kepada si bungsu, setelah berhasil membaca surat dari sekolah itu.  Sampai di ruang kelas, orang tua murid duduk membentuk lingkaran mengelilingi sang sensei, sambil mendengarkan penjelasan mengenai kegiatan anak-anak kami di dalam dan di luar kelas.

Pada sepuluh menit pertama, saya masih bisa memahami maksud si
sensei, karena dia menjelaskan cerita disertai gerak tubuh. Jadi, dia bercerita bahwa anak-anak kami itu terkadang susah diatur, saatnya tidur siang malah lari-larian, sudah posisi tidur pun masih bercanda mengisengi teman yang lain. Kami semua tertawa….

Pada menit berikutnya, si 
sensei mulai merendahkan volume suaranya dan bicara terbata-bata sambil terisak menangis. Orang tua yang lain pun ikut menangis, baik bapak-bapak, apalagi ibu-ibu. Lho…?  Alamak, ada apa ini? Saya? Tentu saja tidak menangis karena enggak ngerti apa yang mau ditangisi!  Bingung setengah mati. Saya jadi semacam orang tua yang tidak punya sensitivitas terhadap cerita emosional  yang diungkapkan sensei.  Sampai sekarang saya masih menerka-nerka   cerita apa, sih, di balik tangisan emosional sensei itu.

Usai pertemuan, kami diminta untuk pindah ke kelas sebelah untuk mengikuti acara lain yang telah dipersiapkan sekolah untuk para orang tua murid.  Saat itu saya justru langsung
ngibrit untuk kembali ke kampus karena ada tugas  laboratorium yang harus segera diselesaikan.

Baru sampai stasiun menuju ke kampus, saya ditelepon
sensei dan diminta kembali ke sekolah. Namun,  lagi-lagi akibat pemahaman bahasa Jepang saya yang ala kadarnya dan si sensei  yang tidak bisa bahasa Inggris, saya salah paham. Saya pikir acara lanjutan itu adalah pembagian rapor untuk para murid. Saya katakan akan kembal pada pukul 4 sore untuk mengambil rapor anak saya.  Tapi, ia menjawab, saya tidak perlu datang lagi sorenya. Saya bingung, tapi saya menuruti keinginannya.

Minggu depannya, di sekolah Adik sudah terpampang foto-foto acara  minggu lalu itu. Ternyata, oh, ternyata… acara yang saya kira pembagian rapor  itu ternyata pertunjukan tari para murid yang dipersembahkan kepada para orang tua! Tentu saja anak saya tidak ada di foto itu,
wong dia ikut saya ke kampus saat itu. Duh, maafkan Mami, ya, Nak…. (f)
 

Citra Kusumasari - Jakarta 

Kirimkan Gado-Gado Anda maksimal tulisan sepanjang tiga halaman folio, ketik 2 spasi.
Nama tokoh dan tempat kejadian boleh fiktif.
Kirim melalui e-mail ke kontak.femina@pranagroup.id 



Baca Juga: 
Gado-Gado: Nyampah!
Gado-Gado: Online Dating
Gado-Gado: Hong Kue, Hong Guan

 


 


Topic

#gado-gado, #fiksi