Fiction
Gado-gado: Sadel Bantal

30 Mar 2019



ilustrasi: 123rf
 
Selimbau adalah nama sebuah kecamatan di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Kecamatan Selimbau salah satu pintu masuk menuju Taman Nasional Danau Sentarum. Di tempat inilah suami saya menghabiskan masa kecilnya. Saya menyebut Selimbau sebagai ‘kota di atas air’ karena pada saat berkunjung, saya melihat perkampungan dengan rumah panggung yang dibangun di atas sungai.
 
Indah sekali.

Saat ini kami merantau dari Pontianak ke Putussibau, ibu kota Kabupaten Kapuas Hulu. Pada libur Lebaran setahun lalu, saya berkunjung ke sana.
 
Kami baru tiga bulan menikah. Tiap menjelang Lebaran, suami berziarah ke makam  almarhumah ibunya di Selimbau. Jadi, pas sekali waktu kunjungan ini. Sebagai keluarga muda, yang kami miliki saat itu hanya motor kantor yang mesinnya sering kali bermasalah. Selimbau berjarak sekitar lima jam perjalanan dari Putussibau. Kami tak ingin mengambil risiko kalau motor tersebut ngadat dalam perjalanan yang berat.
 
“Kita dapat pinjaman motor dari Bang Yudi, kita coba saja, ya,” kata suami, sehari sebelum berangkat. Ternyata, motor itu berjenis motor trail. Duh, melihat sadelnya yang kecil saja, perasaan saya mulai tak enak. Saya membonceng dan kami pun berkeliling Putussibau untuk menguji coba motor. Memang agak sedikit tidak nyaman, apalagi ukuran bokong saya lumayan besar. Hahaha….
 
“Jadi yakin, nih, enggak mau ikut?” tanya suami, menanggapi kekhawatiran saya.
 
”Di dekat Selimbau nanti jalannya belum diaspal, lho. Masih berkerikil,” jelasnya.
 
Saya berpikir sejenak. Saya kan ingin sekali berkunjung ke Selimbau dan ikut berziarah ke makam Ibu. Kalau tidak ikut, berarti saya ditinggal sendirian di rumah. Dan saya orangnya penakut. Saya memang tidak punya pilihan.
 
“Jalannya berkerikil, ah, sepertinya bisalah. Masih mending daripada jalan tanah atau becek,” pikir saya saat itu.
 
Maka, esok siangnya kami pun berangkat dari Putussibau menuju Selimbau. Namun, oh oh… belum sampai setengah perjalanan, saya sudah beberapa kali minta berhenti. Bokong saya mulai terasa sakit!
 
“Kapan sampainya kalau keseringan berhenti,” kata suami saya. Mungkin agak kesal juga dia. Maka, saya pun menabahnabahkan diri supaya dapat meminimalkan frekuensi berhenti selama perjalanan.
 
Tiga jam berlalu, akhirnya kami sampai di Kecamatan Pengkadan. Di persimpangan, motor berbelok ke kanan dan memasuki jalan berkerikil. Dari sanalah penderitaan saya yang  sebenarnya dimulai. Selain berkerikil, jalan itu juga naik-turun. Belum lagi ada banyak jembatan kayu yang harus dilewati.
 
Entakan ketika beralih dari jalan berkerikil ke jembatan kayu dan sebaliknya itu bikin geregetan! Saya pun jadi sering minta berhenti karena bokong saya terasa makin sakit!
 
Menjelang malam hari, kami pun tak bisa terlalu sering berhenti. Lumayan seram, sih, sebab di kanan-kiri jalan kebanyakan hanya hutan dan padang rumput. Suami saya terus-menerus berkata, “Sebentar lagi sampai,” tapi, kok, rasanya tak kunjung sampai juga.
 
“Mas, kok, tega, sih…, ngebiarin istri naik motor kayak gini. Kenapa enggak dilapisi bantal sebelum pergi…,” saya mengeluh.
 
Suami menyesali dirinya kurang inisiatif. Berkali-kali ia meminta maaf kepada saya dan berjanji akan melapisi sadel dengan bantal agar perjalanan pulang kami nanti lebih nyaman.
 
Rasanya bertemu surga ketika akhirnya kami sampai di rumah kerabat . Perjalanan menuju Selimbau yang penuh ujian itu akhirnya terbayar dengan kesempatan berziarah ke
makam almarhumah ibu mertua dan saya berkesempatan menikmati keindahan Selimbau.
 
Sehari sebelum pulang, saya dan suami pun sibuk mencari bantal kecil yang bisa digunakan sebagai pelapis sadel belakang motor. Bi Tini merelakan bantal kecil milik anak bungsunya untuk kami gunakan. Suami segera mengikat bantal pada sadel belakang dan kami pun mencobanya di atas jalanan berkerikil.
 
Ternyata entakannya masih terasa kuat. Selanjutnya kami meminjam bantal lain yang lebih tebal.
 
Gimana, Dek?” tanya suami.
 
“Nah, ini baru sip!” Saya tersenyum senang.
 
Kami pun tertawa-tawa melihat motor trail hasil modifikasi itu. Penampilan motor trail yang gagah menjadi lucu karena ada bantal di atas sadelnya. Tak apalah, yang penting nyaman. Di perjalanan pulang saya jadi tak banyak meminta berhenti lagi karena sadel istimewa ini terasa empuk di bokong saya yang besar.
 
***
 
Varla Dhewiyanty – Putussibau,Kalimantan Barat
 
 
Kirimkan Gado-Gado Anda maksimal tulisan sepanjang tiga halaman folio, ketik 2 spasi.
Nama tokoh dan tempat kejadian boleh fiktif.
Kirim melalui e-mail: kontak.femina@pranagroup.id atau pos Femina (Prana Group) Jl. Mampang Prapatan Raya No. 75, Lt 7. Mampang Prapatan Jakarta 12790, tuliskan di kiri atas amplop: Gado-Gado


Topic

#gadogado, #fiksi