
Foto: Shutterstock
Ketika kisah ini kuceritakan ulang kepada kalian, Gadih Bungo sebenarnya tengah didera kebimbangan. Sekali waktu ia merasa tengah dipengaruhi oleh Roh Baik. Namun, di waktu lain ia merasa tengah dirasuki oleh Roh Jahat.
Pertama, tentang rumah. Apakah rumah, seperti yang dimiliki oleh Orang-Orang Terang itu, baik untuknya?
“Itu programnya Kementerian Sosial. Aku daftarkan, ya? Mumpung ada. Kalian berhak memiliki masa depan yang lebih baik.”
Mata Lokoter Hasan seolah ingin masuk ke dalam relung jiwa Bungo yang paling tersembunyi. Mencari- sesuatu yang ia yakini masih ada.
Bungo hanya diam. Tapi, roh itulah yang begitu riuh mengkhotbahinya.
Rumah yang macam apa? Apakah itu nanti bisa lebih nyaman dari sekadar genah1? katanya. Bahkan untuk sekadar makan pun kau akan butuh uang. Kau tahu apa itu uang?
Dari peradaban itulah asal mula kacangokan2 dan kelicikan itu berhulu, Bungo. Lupakah kau dengan Batindih?
Bungo hanya diam. Tapi, roh itulah yang begitu riuh mengkhotbahinya.
Rumah yang macam apa? Apakah itu nanti bisa lebih nyaman dari sekadar genah1? katanya. Bahkan untuk sekadar makan pun kau akan butuh uang. Kau tahu apa itu uang?
Dari peradaban itulah asal mula kacangokan2 dan kelicikan itu berhulu, Bungo. Lupakah kau dengan Batindih?
Bungo mendadak mual ketika nama itu melintas. Ia langsung merasa dirinya dipenuhi kotoran. Terutama di dalam perutnya. Seperti ikan-ikan yang langsung bergelimpangan di dalam air setelah tertuba, ia pernah membayangkan hasil perbuatan Batindih itu segera hilang tanpa bekas dari dalam rahimnya dengan sesesap kayu berisil. Andai saja jasadnya saat itu tak diketemukan oleh Guru Nunung.
“Apo benar, kau hendak… bunuh diri?” cecar Guru Nunung, saat kamar rumah sakit yang menampungnya itu sepi.
"Ayo, ceritalah. Jujur saja. Tak perlu sungkan, semua orang sudah pulang tadi. Untung di dalam lambungmu hanya ditemukan kadar racun yang sedikit,” lanjutnya, dengan suara pelan dan lembut.
Namun, itu masih terasa menyesakkan juga di telinga Bungo. Hingga terpaksa ia harus bersuara, “Aaahh…,” untuk menghalau agar tak memenuhi dada.
“Kami pikir kau turut melangun bersama rombongan Barambai. Di sokola bahkan hanya tersisa Bujang Paibo dan Botoh saja. Itulah mengapa akhirnya kami memutuskan hendak pindah markas juga ke sekitaran Sungai Hitam,” Guru Nunung terus saja bercerita tanpa diminta.
“Tapi siapa sangka, di tengah jalan aku malah menemukanmu di semak-semak belukor3 dalam kondisi kritis…,”
Guru Nunung terus saja menyuapi dengan kenangan pahit itu.
Masa lalu itu pun kembali terputar dalam kepala Bungo. Sejak insiden penebangan setubung rumah ari-ari Barambai yang dilakukan tanpa sengaja oleh Guru Nunung (lantaran baginya semua pohon sama baiknya untuk dijadikan tiang penyangga bangunan sokola), kemarahan Barambai dan hasil musyawarah para alim-alim4 yang menghasilkan keputusan melangun.
Pengusiran kelompok Lokoter Hasan agar jauh-jauh dari rombongan Barambai. Sifat baik (ah, sifat licik!) Batindih yang mendukung keputusannya untuk tetap tinggal dan terus belajar di kelasnya Lokoter Hasan.
Hingga kedatangan kutukan yang pernah diramalkan Barambai dan Marni di tengah malam buta itu….
“Kau lah memang sudah gediy5 sekarang. Utang janjiku kapado bekusal6mu tunailah sudah. Tapi, janganlah berpikir bahwa semua yang pernah kunasihatkan kepadamu itu adalah angin helang7 belaka…,” tutur Marni, sesaat sebelum turut pergi bersama rombongan.
“Hutan ini memiliki nyawa. Mereka bisa marah dan menurunkan bala. Di bawah idak berakar, di atai idak bepucuk, kalo di tengah ditebuk kumbang, kalo ke darat diterkam rimau, ke air ditangkap buayo8….”
Bungo menolak kembalinya kenangan itu. Air matanya. Guru Nunung baru sadar setelah Bungo muntah (meski muntahan itu tak berisi apa-apa lantaran ia masih diinfus). Hingga akhirnya lajang bertubuh tambun itu terdiam setelah menyadari sesuatu. Bahkan hingga kini, ketika nyata apa itu yang melantakkan semangat hidup Bungo.
Ketika Lokoter Hasan masih berusaha mencecar perihal siapa bapak dari janin itu, Guru Nunung juga masih memilih diam. Itulah mengapa terkadang Bungo merasa lebih nyaman berada di samping beliau. Lagi pula, Lokoter Hasan sudah punya Guru Ratna. Peristiwa di Sungai Licin yang pernah ia pergoki itu kini telah nyata artinya. Kemesraan itu tak sekadar senda gurau.
Itulah mungkin kenapa roh yang merasuki Bungo juga membisiki perihal sokola, hutan, dan tabiatnya.
Kau idak boleh melupakan Batindih begitu sajo, Bungo. Jangan sekali-kali, tutur roh itu.
Sebab, dari kejahatannyolah kau justru telah mendapatkan banyak pelajaran. Bukan dari sokola si lokoter yang hanya mengajarkan aa… bee… cee… atau satu ditambah satu sama dengan dua itu, tambahnya lagi.
Bungo menduga dia adalah Roh Baik. Dia bahkan pernah berharap bahwa itu adalah roh induk-nya. Sebab, hanya seorang induk yang perhatiannya selekat itu.
Mengingat perjalanan siasat Batindih pun jadi terasa tak begitu mengerikan lagi. Bagaimana ketika dulu tua bangka itu membela Bungo agar bisa tetap mengikuti kelas Lokoter Hasan, meski di tahun kedua ia sudah dianggap kupek9.
Dengan apa yang dinamakan ‘uang’ itu, dia bahkan berani menanggung dendo adat yang harus ditanggung Bungo. Lima ratus lembar kain bukanlah kekayaan yang sedikit. Apalagi bukan Bungo seorang yang pernah ditolong dan dirangkulnya.
Barambai yang tiap bulannya konon menerima uang cuma-cuma dari pemilik sawit di wilayah aliran Sungai Licin saja lebih rela membiarkan salah satu kolum-10nya menanggung hukum cambuk ketika melanggar adat. Maka, tak heranlah jika Bungo jatuh dalam perangkap muslihatnya.
Topic
#fiksi, #cerpen