Foto: shutterstock.com
Lelaki ‘beraroma’ selai nanas itu tertawa. Pada dirinya kutemukan sosok berbeda dengan Kimo. Tawanya lepas, menunjukkan ia lelaki merdeka.
Tiga tahun tujuh bulan delapan hari menjalani hubungan dengan Kimo, lelaki berwajah serius jarang senyum. Pertemuan kami tak ubah bagai sepotong lakon di sebuah sinetron. Bertabrakan di sudut kampus hingga buku-buku di tanganku jatuh ke lantai. Menjadi sering bertemu karena insiden itu. Kami kerap membahas buku aritmatika atau calculus bacaan favorit Kimo. Aku tidak suka buku berbau hitungan. Lebih suka membaca buku fiksi, masak kue, dan jalan-jalan. Karena mengagumi sosok Kimo, aku mati-matian memaksa diri membaca buku itu agar pembicaraan kami bisa nyambung.
“Kimo lelaki pekerja keras. Mungkin itu yang membuat ia jarang senyum,” ucap Rika, sembari menyeruput coffee latte-nya. Kafe tampak lengang sore ini. “Apa tidak bosan menghadapi Kimo dengan wajah mirip roti tawar tanpa selai?” lanjut Rika. Matanya sebesar bola pingpong memelototiku.
“Tiga tahun tujuh bulan delapan hari telah menuruti segala kemauan Kimo. Berusaha masuk dalam dunianya. Namun, ia sendiri tidak mau peduli pada duniaku. Aku merasa lelah, Rik!”
Tanganku memutar-mutar cangkir coffee latte. Duniaku melahap buku-buku fiksi, memasak kue, dan jalan-jalan. Selama tiga tahun tujuh bulan delapan hari tidak pernah lagi melakukan semua itu.
“Membaca buku fiksi membuat orang pintar berkhayal.”
Perkataan Kimo membuatku batal membeli buku ketika pergi ke Gramedia sebulan lalu. Begitu juga ketika berencana masak kue. Kata Kimo, di zaman sekarang, perempuan tidak mesti menghabiskan waktu di dapur hanya untuk menyediakan semangkuk sayur atau sepiring bubur. Apa gunanya pembantu rumah tangga? Lagi-lagi aku menuruti Kimo.
“Jangan melamun....”
Rika mencolek tanganku. Mataku mengerjap-ngerjap, tak sadar menangis.
“Apa mencintai Kimo suatu kesalahan?”
“Coba ajak Kimo ke tempat yang belum pernah kalian kunjungi agar hubungan kalian tidak terasa hambar.”
Rika memberi solusi. Jalan di depan kafe mulai dipadati kendaraan. Jam kerja telah berakhir. Orang-orang kembali pulang.
**
Sudah pukul satu dini hari. Perkataan Rika membuatku tidak bisa tidur. Bagaimana cara menjelaskan ini kepada Kimo. Baginya, tak ada hal lebih menarik dari buku aritmatika, calculus, dan pekerjaan kantor. Aku memutuskan keluar kamar. Aroma khas menyeret langkahku ke ruang dapur. Ada kue brownies di meja makan. Di atasnya ditaburi kacang almond diiris menjadi sembilan bagian. Pasti Ayah meminta Ibu masak kue ini.
Ayah tidak suka dunia masak. Bahkan ia takut mendengar suara desing oven. Namun, Ayah selalu menemani Ibu ‘bereksperimen’, meski kehadirannya membuat dapur berantakan. Kue masakan Ibu selalu lezat. Rasa cokelat menggoda menjadikan brownies salah satu kue favorit keluarga kami. Rasa legit mendorongku untuk memasak kue lain. Aku akan membuat bolu kukus. Kubuka lemari tempat Ibu biasa menyimpan bahan kue. Kosong. Barangkali bahan telah habis dipakai Ibu membuat brownies tadi. Aku duduk di kursi dengan wajah murung.
“Masak kue satu cara melepas penat. Apa yang terjadi, Menda?”
Baru menyadari kehadiran Ibu. Ia menatapku penuh selidik.
“Tak ada apa-apa, Bu!”
Aku buang muka.
“Ibu tahu betul denganmu.”
Aku menunduk menatap jari-jari tanganku.
“Ini tentang Kimo,” ucapku akhirnya. Ibu duduk di sebelah kananku. Mata kami saling tatap untuk beberapa detik.
“Menjadi ragu untuk menikah dengan Kimo. Aku tidak mau seumur hidup jadi orang lain.”
Aku memeluk Ibu.
“Hampir semua perempuan yang akan menikah mengalami hal ini. Merasa ragu, apakah calon suaminya adalah pasangan yang tepat. Ini sindrom pranikah. Coba berpikir positif. Semua akan berjalan dengan baik.” Ibu mengusap rambutku.
Dalam hati aku menggumam, ini bukan sindrom pranikah. Aku sudah merasakan ini jauh-jauh hari sebelum memutuskan akan menikah.
**
Topic
#cerpen, #fiksi