
Tombol di dalam lift menunjukkan angka ‘2’. Masih ada tiga lantai ke bawah yang harus saya lalui. Di akhir minggu seperti saat ini, banyak pengunjung pusat perbelanjaan yang antre keluar-masuk lift. Sepasang suami-istri masuk mendorong bayi mungil yang tertidur di dalam kereta bayi. Seorang ibu dengan anak perempuannya masuk membawa belanjaan dalam troli yang cukup besar. Di lantai berikutnya, alarm lift berbunyi, menolak tambahan penumpang.
Lift bergerak turun menuju ke lantai ‘LG’. Tak berapa lama pintu lift pun terbuka.
Saya membiarkan kedua rombongan keluarga untuk bergerak keluar terlebih dulu. Baru selangkah keluar, tiba-tiba seorang nenek muncul di hadapan saya. Ups… hampir bertabrakan. Untunglah, saya masih sempat mengerem langkah. Tapi tetap saja, si nenek tersentak dan langsung berdiri mematung karena kaget, he… he… he…. Saya menyunggingkan senyum tulus sebagai permintaan maaf.
Tiba-tiba si nenek memegang tangan kiri saya, sangat erat. Mata rentanya yang dibingkai kacamata berlapis emas memancarkan kepanikan. Eh, ada apa ini?
Saya memegang tangan nenek itu dan bertanya, “Nenek, ada apa?”
“Nak, toilet di mana, ya?” tanyanya.
Tiba-tiba muncul tukang pembersih toilet melewati tempat kami berdiri. Saya memanggilnya dan menanyakan letak toilet. Dengan manis petugas itu menawarkan diri untuk mengantarkan si nenek. Kami pun berpisah di depan lift.
Urusan saya di mal itu selesai, dan saya bergerak menuju pintu keluar. Tiba-tiba saya dikejutkan oleh jeritan kecil seorang wanita. Saya menoleh ke arah sumber suara. Terlihat seorang nenek bertubuh mungil sedang berusaha memukul kaki seorang wanita muda dengan tongkat penyangganya. Lha… itu kan nenek tadi dan petugas toilet?
“Nenek, masih ingat saya, ‘kan? Tadi kita berpapasan di depan lift. Bukankah mbak ini yang membantu Nenek? Kenapa dipukul?”
“Nenek tidak suka dipermainkan! Nenek minta tolong diantar ke parkiran, tetapi kenapa malah dibawa ke toilet?”
Sejenak saya tertegun. Pandangan mata saya beralih kepada mbak pembersih toilet yang terlihat bingung. Sepertinya nenek ini agak pikun. Diam-diam saya memberi isyarat supaya si mbak segera menyingkir dari tempat itu. Sambil memasang senyum lebar, saya berusaha mengalihkan perhatian si nenek.
“Nenek, perkenalkan nama saya Nona. Nama Nenek siapa?”
“Saya Wilma. Kamu siapa?”
“Saya Nona, Nek. Nenek mau ke parkiran, ‘kan? Biar saya antar, ya….”
Si nenek tersenyum, manis sekali. Sepertinya beliau senang mendengar tawaran saya. Nenek Wilma memegang erat tangan kanan saya. Bertumpu pada tongkat penyangga di tangan kanannya, melangkah pelan mengikuti langkah saya.
Kami berjalan pelan sambil bercakap-cakap. Rambut ikalnya yang putih diangkat ke atas seperti sanggul. Ada hiasan jepitan bunga mawar merah besar. Rapi. Wajah tirusnya dihiasi sepasang mata kecil, hidung tinggi, dan bibir tipis berpoles lipstik pink lembut. Seuntai kalung mutiara menghiasi leher kecilnya. Mengenakan setelan atasan dan rok lipit selutut berwarna kuning keemasan. “Mungkin Nenek Wilma seorang model. Saya tersenyum sendiri memikirkannya.
Nenek Wilma mulai berkisah tentang suami, anak-anak, dan cucu-cucunya yang sangat sibuk, sehingga tidak memedulikan keberadaannya. Beliau menanyakan nama saya, tetapi sesaat kemudiaan terlupa, dan bertanya lagi. Begitu berulang-ulang. Ia memang agak pikun. Tetapi, saya merasa segan dengan orang tua di samping saya, entah kenapa.
Akhirnya, saya memutuskan untuk mengantarkan Nenek Wilma pulang ke rumahnya. Sempat terpikir untuk membawa si nenek ke kantor polisi, just in case alamat yang ditunjukkan beliau keliru. Ternyata, kecemasan saya tidak terbukti. Seorang lelaki muda langsung mengenali tuan rumahnya yang duduk di mobil saya.
Sang penjaga rumah itu berulang kali mengucapkan terima kasih karena kesediaan saya mengantarkan tuannya pulang.
“Mbak beruntung bisa sampai ke rumah ini dengan selamat,” katanya. Dengan berbisik, ia menceritakan keadaan Nenek Wilma yang ‘kurang stabil.’
Saya duduk terpaku di belakang kemudi. Di kejauhan saya melihat Nenek Wilma asyik berbicara sendiri sambil tertawa lepas….(f)
Ratna Kusumastuti - Jakarta