Celebrity
NORIYU

17 Dec 2014


Sampul muka majalah TIME  bulan November 2003 terpampang gambar seorang pria telanjang sedang memeluk lututnya, bertuliskan: Lost Lives - A Time Special Report on Asia’s Mental Health Crisis. Di dalamnya, terungkap ribuan penderita gangguan jiwa yang dipasung di Indonesia. “Diperkirakan ada 18.000 orang yang dipasung selama tahun 2009 dan dikoreksi menjadi 56.000 berdasarkan data riset kesehatan dasar tahun 2013. Memilukan!” ujar Nova Riyanti Yusuf,  dokter spesialis kejiwaan yang juga seorang penulis.
Berangkat dari keprihatinan tersebut, ditambah semasa kuliah sering dimintai bantuan oleh senior untuk membuka jalur ke politikus, penulis, sutradara mengenai isu kesehatan jiwa, membuat ia tergerak berbuat sesuatu. Pertemuannya dengan berbagai pasien dan keluarganya yang bolak-balik dirawat karena ketika kembali ke masyarakat mendapat perlakuan yang tidak baik, meningkatnya pasien gangguan jiwa pasca bencana alam, menguatkan tekadnya bahwa ia harus masuk dalam sistem untuk membuat perubahan.
“Saya tidak bisa melakukan perubahan yang signifikan jika selalu berada di ‘pinggiran’.  Ternyata, masuk ke DPR saja tidak cukup. Begitu banyak tantangan yang harus saya hadapi,” ujar wanita yang mendaftarkan diri sebagai calon legislatif dari Partai Demokrat pada tahun 2009 ini.

A Rookie!
      Mungkin tak banyak yang ngeh bahwa Nova mengusung janji memperjuangkan UU Kesehatan Jiwa saat kampanye di DKI 2.  Bahkan, ketika sudah duduk di bangku DPR dan menginisiasi hal ini di dalam Komisi IX, dukungan rekan satu partai tidak ia dapatkan dengan alasan sulit diwujudkan dan sudah pasti tidak disetujui.  “Wah, saya  makin ‘nafsu’ dan langsung gerilya berbagai upaya.  Nobody said no to me when it comes to what I believe in. Be with me or get out of the way,” katanya, serius.
Sebagai anak baru, tanpa bekal pengalaman sebagai politikus, Nova tak mau menyerah dan berpangku tangan. Apalagi diakuinya, tidak ada panduan tertulis langkah-langkah yang harus ia tempuh untuk mewujudkan RUU tersebut. “Seperti masuk ke hutan belantara. Begitu masuk DPR, saya menyadari, tidak ada wacana untuk mengangkat UU Kesehatan Jiwa,”  jawabnya.
Tak mudah berada di lingkungan DPR, wanita kelahiran 27 November 1977 ini membahasakan, “Mau makan gaji buta, mau kerja di luar, pilihan ada di tangan kita!”  Tak mau larut dengan ‘kebebasan’ yang ada, ia memilih menciptakan irama dan indikator kerja sendiri. Tahu kesempatan belajar politik terbuka lebar selama menjadi anggota dewan, ia memanfaatkan hal tersebut sebanyak-banyaknya.
“Saya banyak mendapat undangan mengikuti program pendidikan politik dari Amerika Serikat, Australia, dan Uni Eropa. Semua saya lakukan ketika masa reses, sehingga tidak mengganggu waktu sidang. Saya percaya, jika kita membangun koneksi yang baik, maka yang datang pun akan positif,” ujar mantan Wakil Ketua Komisi IX DPR RI periode 2009-2014. “Fungsi DPR jelas, tetapi belum tentu semua anggota DPR mau memanfaatkan kemewahan fungsi yang kita miliki sebagai anggota DPR,” ujarnya, menyayangkan.
Selama lima tahun bekerja menjadi anggota dewan, ia bersama timnya menghasilkan beberapa poin penting untuk keberlangsungan RUU Kesehatan Jiwa, hingga menjadi undang-undang. Di antaranya, mencegah pembubaran Direktorat Bina Kesehatan Jiwa di Kementerian Kesehatan, bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kemenkes melatih 200 perawat dari 5 RSJ di Jawa Tengah.
Tak hanya itu, ia juga mengadakan dua unit mobil untuk Mobile Mental Health Service yang memberikan pelayanan jiwa gratis di Jakarta, meningkatkan anggaran Direktorat Bina Kesehatan Jiwa, dari Rp9,5 miliar menjadi Rp45 miliar, terus menyosialisasikan RUU Kesehatan Jiwa di Indonesia dan luar negeri, hingga akhirnya UU No. 18/2014 tentang Kesehatan Jiwa disahkan pada sidang paripurna pada tanggal 8 Juli 2014. “Saking senangnya, saya melaksanakan nazar bersama rekan-rekan di Komisi IX untuk nyemplung di kolam DPR yang berlumut, bau, dan kotor banget itu,” katanya, sambil tergelak.     

Perjuangan Belum Selesai          
Hanya beberapa bulan setelah UU Kesehatan Jiwa diresmikan, kenyataannya Nova gagal kembali berkarya sebagai anggota legislatif pada periode berikutnya.  Kalah di daerah pemilihan Jawa Timur, ia tidak mengikuti jejak caleg lainnya yang protes ke DPP hingga MK karena merasa dicurangi. “Buat apa?  Kalau sudah kalah, ya, kalah saja. Get a life, masih banyak yang harus dilakukan daripada protes tidak keruan,” tegasnya.
Tapi, ia mengaku sempat stres karena tak bisa meneruskan ‘titipan pesan’ untuk diperjuangkan di DPR. “Tapi, ya, mau bagaimana lagi?” katanya.  
Lepas dari posisinya sebagai anggota DPR, ia sangat berharap pada pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla bahwa UU Kesehatan Jiwa dapat diturunkan menjadi peraturan-peraturan derivatif berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri Kesehatan, dan Peraturan Menteri Sosial yang harus selesai dalam waktu satu tahun.
“Bola ada di pemerintah, jika tidak segera direalisasikan, akan sia-sia. Jangan sampai UU yang sangat bagus dan melindungi HAM tersebut tidak diindahkan. Tidak ada alasan lagi untuk memasung penderita gangguan jiwa,” ujar wanita yang dinobatkan sebagai Top 10 Indonesian Most Influential Female Politician versi majalah Globe Asia tahun 2009 ini.  
Walaupun sudah bukan tanggung jawabnya lagi secara langsung, keynote speaker dalam High Level Panel Interactive Debate di markas PBB, New York, pada  4 April 2014 ini memenuhi beragam undangan dan berkeliling sejumlah daerah di Indonesia untuk menyosialisasikan UU Kesehatan Jiwa.
“Jangan berharap saya mendapat uang atau apa. Saya hanya dikasih tiket pesawat PP, tidak menginap agar tidak memberatkan panitia. Selain itu, banyak komunitas yang bergerak dalam kesehatan jiwa ingin dinaungi dalam satu payung. Saya baru memulai mengumpulkan mereka dalam satu mailing list, sambil brainstorming ide-ide apa yang bisa direalisasikan dalam waktu dekat,” ujar dosen Kedokteran Jiwa, Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, ini.  
Konsistensinya memperjuangan UU Kesehatan Jiwa ternyata membuat pihak Harvard Medical School mengundangnya sebagai peserta program visiting scholar di Department of Global Health and Social Medicine, di Boston, AS, yang dimulai tanggal 26 Januari 2015.  
“Setelah lima tahun ‘terobsesi’ dengan UU Kesehatan Jiwa dan sudah kehabisan energi dan ide, beasiswa ini seperti memberikan oase baru. Mudah-mudahan, setelah program selesai, saya bisa menerapkan hal-hal yang telah saya pelajari di Indonesia,” ujar tim penasihat Komite Palang Merah Internasional ini.

Buku dan Kekasih

Hiruk pikuk dunia politik yang sangat dinamis, termasuk bagaimana cara menginisiasi sebuah undang-undang, menggelitik dirinya untuk menuangkan semua pengalamannya tersebut dalam sebuah buku. Dengan judul A Rookie and The Passage of The Mental Health Law, The Indonesian Story, ia ingin memberikan pesan bahwa politik bisa menjadi alat perjuangan untuk kehidupan yang lebih baik, asalkan dibarengi dengan niat, kerja keras, dan semangat tinggi.
“Sengaja ditulis dalam bahasa Inggris karena saya ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia berupaya serius untuk menghapus stigma Indonesia sebagai pelanggar HAM karena memasung orang-orang dengan ganggguan jiwa. Rencananya,  Maret 2015 sudah terbit versi bahasa Indonesia-nya,” katanya lagi.
Banyaknya kisah ‘ajaib’ dan menarik selama di DPR, lagi-lagi menerbitkan ide agar semua pengalamannya tersebut dituangkan dalam bentuk buku. Semacam the untold stories. “Tunggu saja tanggal mainnya!” katanya, setengah berahasia.
Kesibukan sepertinya tidak pernah berhenti mengelilingi dirinya. Bagaimana dengan kekasih? Wanita yang akrab disaya Noriyu ini tersenyum. Ia mengisahkan  perjalanan cintanya dengan seseorang yang dekat dengannya selama setahun terakhir ini.
“Saya masih mencari ritme dan kecocokan, jadi tidak ingin buru-buru menikah juga. Tetapi, dialah orang yang bisa menyuruh saya untuk keluar dari ‘gua’ ketika saya terlalu lama di kamar untuk menulis. Naik motor keliling kompleks atau ke mal,” ujar wanita yang telah menghasilkan enam novel dan kumpulan esai ini, santai.
Mengaku sudah sama-sama tua, ia pun merasa acara kencannya  makin terbatas. “Pernah, saat Valentine, kami ingin menyaksikan acara kembang api. Tetapi, baru sebentar sudah diserang rasa kantuk dan akhirnya sepakat memutuskan untuk pulang. Yes, we are that old, ha… ha… ha…,” tutupnya, sambil tertawa.(RULLY LARASATI)