Travel
Menyepi ke Ujung Negeri

18 Jul 2011

Pulau Weh, dikenal juga sebagai Sabang, berada di Provinsi Aceh. Namanya sudah kondang hingga ke mancanegara, terutama di kalangan pencinta olahraga selam. Keindahan alam bawah airnya membuat Sabang yang terletak di ujung Sumatra ini tak lagi terpencil. Maka saya, Nuri Fajriati, pun ingin membuktikan keindahan tempat yang disebut sebagai titik nol negeri ini.

Sunset di Titik Nol
Sabang adalah ujung paling barat Indonesia. Ini ditandai dengan tugu yang disebut Tugu Kilometer Nol Indonesia. Letak tugu itu berada 43 km dari pelabuhan penyeberangan Balohan yang menghubungkan Pulau Sabang dengan Banda Aceh di daratan Sumatra.

Garis batas imajiner ini memakan waktu sekitar satu jam berkendara. Dalam perjalanan menuju tugu itu, saya disuguhi pemandangan hijau di kanan-kiri jalan. Ternyata kontur pulau ini berbukit-bukit, mobil terkadang menanjak terkadang melewati turunan. Untungnya, jalan yang saya lewati mulus. Menurut sopir mobil sewaan, seluruh jalanan di Pulau Weh kini bagus seiring meningkatnya keamanan di Aceh. Tugu itu sendiri berada di kawasan hutan lindung.

Saat tiba di tugu, jam menunjukkan pukul 6 sore, tapi langit masih terang. Sayang sekali, kondisi Tugu Kilometer Nol itu kurang terawat. Atap fiber-nya tampak compang-camping, rusak di sana-sini. Di plakat yang ada di atas tugu terbubuh tanda tangan Prof. Dr. Ing. BJ Habibie sebagai Menteri Negara Riset dan Ketua BPPT, yang menyatakan penentuan geografis di Sabang ini diukur menggunakan teknologi global positioning system (GPS) pada tahun 1997. Namun, menurut sopir, titik nol tadinya tidak berada di situ, tapi sekitar 3 km dari tempat tugu sekarang.

Sebenarnya, tak hanya bangunan tugu  yang saya kejar, tapi juga keindahan dan sensasi matahari terbenam. Tugu ini berada di ujung tebing, menghadap ke laut. Dari situ, saya bisa memandang matahari terbenam yang seolah bersembunyi ke dalam laut. Indah sekali! Tapi, saya diperingatkan agar jangan sampai kemalaman. Jalan dari tugu melewati hutan lindung  yang gelap gulita, karena tak ada penerangan jalan. Katanya lagi, masih banyak ular yang melintas di jalan. (f)



Iboih yang Ramai
Tadinya saya kira tempat ini bakalan sepi dan minim turis, tidak tahunya Pantai Iboih ini ramai sekali. Malah, Pantai Iboih seolah jadi pusat wisata di Pulau Weh. Letaknya tak terlalu jauh dari Tugu Kilometer Nol. Dari banyaknya penginapan yang sebagian besar berfasilitas sederhana untuk kelas backpacker, terlihat bahwa pantai ini sudah lama jadi tujuan wisata. Menurut seorang teman, pada hari libur penginapan di sini sering penuh dan memaksa wisatawan untuk berbagi kamar. Wisatawan mancanegara terlihat cukup banyak seliweran. Wisatawan dari Malaysia juga banyak. Mungkin karena ada penerbangan murah dari Kuala Lumpur langsung ke Banda Aceh.

Di sini tak perlu takut susah cari makan. Resto dan warung dengan mudah bisa ditemui. Selain menjajakan menu seperti seafood, saya juga menemukan warung yang menjual pancake dan kentang goreng bumbu yang enak. Untuk minuman, yang pasti, kopi di sini, seperti halnya di Aceh, enak dan mantap.

Mau mencari kapal atau perlengkapan snorkeling? Mudah sekali. Penyewaan perlengkapan snorkeling tersedia di pantai ini. Untuk menyewa kapal malah sudah diatur di satu loket, dan harganya sudah diseragamkan, sehingga lebih nyaman.

Air Pantai Iboih ini bening dan jernih. Tak tahan rasanya untuk tidak menceburkan diri. Saya menemukan rambu yang menyarankan wisatawan untuk berenang dengan busana yang sopan. Gambar wanita berbikini dan pria bercelana renang ketat, dicoret. Tapi, wisatawan mancanegara sepertinya tak peduli pada rambu itu. (f)



Menyepi di Rubiah
Untuk menikmati suasana yang lebih tenang, saya memilih menginap di Pulau Rubiah, pulau kecil tepat di seberang Pantai Iboih. Konon, nama Rubiah diambil dari nama seorang wanita yang diasingkan di pulau ini. Penginapan di sini sangat terbatas, hanya dikelola satu keluarga. Selain menyewa vila, bisa juga berkemah di pulau ini. Hanya perlu waktu lima menit naik perahu kecil untuk mencapainya. Mungkin bisa juga diseberangi dengan berenang, kalau saja di antara pulau tak ada palung dalam.

Keesokan harinya, saya baru sadar, ternyata dari vila saya bisa langsung melihat matahari terbit. Pagi yang sangat berkesan! Setelah berenang, saya ikut trekking di seputar pulau. Melewati jalan setapak memutari pulau, ada yang menuju dermaga kecil, dan ada pula yang menuju benteng peninggalan Belanda.

Setiap sisi pantai di Rubiah ternyata cantik. Di satu pojok pantai saya menemukan sebatang pohon besar yang menjorok ke laut, sementara di pojok lain batu-batu besar pantai sedang bercanda dengan ombak. Pulau ini juga fotogenik. Bayangkan saja air laut yang bening dan bersih di atas pasir putih, dengan latar langit biru. Dari sudut mana pun, hasilnya cantik di kamera. Biarpun matahari panas terik, rasanya saya betah berlama-lama di pantai, tak peduli kulit jadi makin gelap. (f)



Belut dan Ikan Singa
Keindahan bawah laut Pulau Weh telah diakui oleh para penyelam. Salah seorang teman yang menyelam, memberi empat jempol untuk kebersihan dan keanekaragaman hayati di dalam laut sekitar Pulau Weh. Berhubung saya tidak punya lisensi menyelam, saya hanya berenang dan snorkeling di sekitar Pulau Rubiah dan Pantai Iboih.

Spot untuk snorkeling terletak tepat di depan vila. Jadi, saya tinggal turun ke pantai, menceburkan diri, langsung disambut ikan-ikan. Ada ikan kepe-kepe, ikan kakaktua, ikan buntal, ikan badut, dan ikan blue tang. Teripang-teripang yang saya lihat di dasar laut juga berukuran jumbo. Selintas, saya sempat melihat belut laut mengintip dari balik karang. Bentuknya seperti belut di sawah, tapi ukurannya jauh lebih besar. Warnanya juga macam-macam. Yang saya lihat ada yang warnanya hitam, cokelat, dan hitam berbintik-bintik putih. Sayang, saya tidak melihat terumbu karang warna-warni, soft coral, atau hard coral di sepanjang laut dangkal yang saya amati.

Di dalam laut sekitar Pulau Weh memang terkenal ramai dihuni belut laut. Saya diwanti-wanti untuk tidak mengusik belut itu. Soalnya, meski sebenarnya pemalu, ia bisa menggigit jika merasa terganggu. Jangan salah, gigitannya sangat kuat. Makanya, saat melihat seekor belut laut berukuran sebesar paha lewat di dekat saya, tubuh saya langsung tegang, tak berani bergerak.

Ikan lain yang katanya banyak di sekitar Pulau Weh adalah lion fish atau ikan singa. Ikan bermotif garis dan bersirip cantik, namun punya sengat berbahaya ini, kabarnya sangat mudah dilihat di sekitar Pantai Iboih. Mungkin, karena sedang tak beruntung dan laut sedang berarus kuat, saya tidak menemukan satu pun ikan singa lewat.

Saat yang tepat untuk snorkeling adalah pagi hari. Saat sore hari, arus yang kuat membuat laut terlalu beriak dan sulit direnangi. Air pun jadi keruh, karena pasir teraduk-aduk dari dasar laut.

Bagi yang tak bisa berenang, jangan khawatir, Anda juga bisa menikmati keindahan bawah laut dari kapal yang ‘berjendela’ di dasarnya, sehingga Anda bisa mengintip seperti apa alam bawah laut Pulau Weh. (f)



Kota yang Teduh
Sebelum kembali ke Banda Aceh, saya sempat melihat pantai cantik lain di Pulau Weh, yakni Pantai Sumur Tiga. Disebut begitu, karena konon ada tiga sumur air di dekat situ. Saya, sih, tak berniat mencari sumur-sumur itu. Sudah cukup puas menikmati pantai berpasir putih yang lembut, diterpa ombak-ombak kecil.

Saya lalu berniat mampir sebentar di pusat Kota Sabang. Dalam perjalanan, terlihat Pulau Klah yang cantik dari kejauhan. Saat melewati Pelabuhan Sabang, masih bisa ditemui ‘peninggalan’ tsunami, sebuah kapal rongsok berukuran sedang teronggok di atas dermaga. Kata sopir yang mengantar saya, kapal itu terdampar saat tsunami, dan orang-orang setempat sengaja tak memindahkannya. Meski tak terlalu parah, tsunami tahun 2004 juga mengempas kapal-kapal nelayan dan merendam daerah pesisir Pulau Weh.

Lewat tengah hari, saya sudah tiba di tengah kota. Tak banyak toko yang buka, karena siang hari adalah jam istirahat. Kota ini tampak bersahaja tanpa supermarket besar atau mal. Beberapa toko terlihat antik karena menempati bangunan tua. Sekilas, Sabang terasa lengang dan santai. Pohon-pohon besar berusia puluhan tahun yang masih bertengger leluasa di tengah kota dan taman-taman asri peninggalan zaman kolonial, membuat pusat kota ini terasa adem. Padahal, seperti layaknya daerah pesisir, sinar matahari sangat terik di atas kepala. (f)



Ikan, Salak, dan Kue Pia
Kemewahan berada di pulau adalah makanan asal laut yang segar dan melimpah. Tak heran kalau menu makan kami tiap hari di Sabang adalah ikan. Mungkin, karena segar, mau diolah seperti apa pun tetap enak, bahkan bagi ukuran lidah saya yang sebetulnya tidak terlalu suka ikan. Digoreng kering, digulai, dibakar, semua diterima dengan baik oleh lidah saya.

Saat bersantap di sebuah rumah makan di Kota Sabang, saya menemukan sambal Aceh yang segar dan bisa melarutkan rasa enek akibat banyak makan masakan berbumbu santan. Kata pemilik resto, resepnya adalah cabai rawit dan udang kecil rebus yang dihaluskan bersama serai, daun jeruk, bawang merah, dan belimbing sayur. Kelihatannya gampang dicoba sendiri.

Entah bagaimana sejarahnya, Sabang punya oleh-oleh yang mirip dengan Yogyakarta, yaitu kue pia. Kue berkulit renyah ini juga sama-sama membungkus kacang hijau yang diolah dengan gula hingga berwarna gelap dan padat. Variasi rasa yang ditawarkan adalah durian. Bedanya, pia Sabang ukurannya lebih besar dan gemuk. Kulitnya juga lebih tipis dan sedikit lebih basah. Kacang hijaunya juga terasa lebih basah ketimbang pia Yogya.

Satu kotak berisi 12 pia, dengan harga Rp11.000 – Rp12.000. Makan satu saja lumayan mengenyangkan. Lucunya, di pelabuhan saya menemukan beberapa penjual salak. Penasaran, saya pun mencicipi. Rasanya manis, dagingnya tak tebal, mengingatkan saya pada salak pondoh Yogya. Kata penjualnya, kebun salaknya ada di dekat pelabuhan. “Aneh…,” gumam saya. Serasa berada di Yogya! (f)



Tip
1. Untuk menyeberang ke Sabang, dari Pelabuhan Ulee Lheue di Banda Aceh menuju pelabuhan Balohan di Sabang, tersedia kapal cepat dan kapal feri. Harga tiket KM Express Bahari Rp55.000 - Rp85.000. Perjalanan memakan waktu sekitar satu jam. Kapal berangkat setiap hari dua kali, pagi dan sore saja. Harga tiket feri antara Rp11.500 – Rp36.000. Perjalanan memakan waktu dua kali lipat lebih lama.

2. Dari Pelabuhan Balohan menuju Sabang, Iboih, atau titik nol, Anda dapat menyewa kendaraan. Tarif berkisar Rp200.000 – Rp250.000. Menyewa kendaraan bersama beberapa teman bisa menghemat biaya. Jika ada sesama pelancong di kapal, coba tanyakan tujuannya, siapa tahu bisa berbagi kendaraan. Atau, jika ingin irit, Anda bisa menyewa sepeda motor dengan harga sewa Rp75.000 – Rp100.000 per hari, sudah termasuk bahan bakar.

3. Umumnya toko di Sabang buka dari pukul 8 pagi. Kecuali rumah makan, toko tutup pukul 1 siang, lalu buka lagi pukul 6-11 malam.

4. Di Sabang, wanita tak wajib memakai kerudung atau jilbab.

Nuri Fajriati (Kontributor - Jakarta)
Foto: dok.pribadi