Fiction
Ketika Dayu Memilih Cinta [1]

25 Feb 2012

“Bli tresna ngajak Dayu (kakak cinta pada Dayu).

Dharma menggenggam tangan Dayu.

Dayu tersipu malu. “Dayu juga tresna ngajak Bli.”

Dalam kawasan berarsitektur Bali yang sangat khas, Dharma menyatakan cintanya yang sudah lama terpendam pada Dayu. Di rumah bibinya yang tidak terlalu mewah itulah, saat ini Dharma tinggal. Dharma adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Karena itu, ia sering dipanggil dengan sebutan Ketut, yang berarti anak keempat. Nama lengkap Dharma adalah I Ketut Dharma Kusuma. Kakak ketiganya, laki-laki, meninggal pada umur 5 tahun. Sehingga, hanya Dharma anak laki-laki dalam keluarga.

Dua kakak perempuannya tinggal bersama ibunya di daerah Nusa Dua. Ayahnya meninggal sejak Dharma masih berada dalam kandungan ibunya. Karena Dharma menjadi anak laki-laki satu-satunya, secara otomatis Dharma dinobatkan menjadi pemimpin keluarga. Namun, sejak ayahnya meninggal, keluarga Dharma tak punya banyak uang untuk menyekolahkan Dharma dan saudara-saudaranya.

Kakak perempuan ayahnya tinggal di Banyuwangi, setelah menikah dengan laki-laki Banyuwangi. Karena itu, agar bisa terus bersekolah, Dharma diambil alih dari ibunya oleh adik perempuan ayahnya, yang berpendidikan tinggi dan lebih mampu membiayai pendidikan Dharma.

Komang Sri, nama bibinya. Ia belum menikah, walau sekarang sudah berusia empat puluh tahun. Komang Sri tinggal di Klungkung. Karena tinggal bersama bibinya itu, Dharma dan Dayu bisa saling kenal sejak mereka masih kecil, sampai akhirnya sekarang saling jatuh cinta.

Dayu dan Dharma besar bersama, karena tempat tinggal mereka bersebelahan. Mereka teman main sejak masih kecil. Namun, Dharma tidak diizinkan menginjakkan kaki di griya (rumah) Dayu, karena Dharma merupakan keturunan orang biasa, bukan bangsawan.

Nama lengkap Dayu adalah Ida Ayu Putu Astri Lestari, kasta tertinggi dari sudut religi dalam kebudayaan Bali, anak tunggal Ida Bagus Brama Satya. Selain berkasta tinggi, Dagus Brama memiliki banyak rumah kos di Denpasar dan banyak art shop di Kuta.

Dayu hanya boleh menikah dari kalangannya untuk memperta-hankan kastanya. Satu-satunya jodoh untuk Dayu hanyalah yang berkasta sama, yaitu Ida Bagus. Namun, satu kesalahan terbesar Dayu adalah mencintai Dharma, seorang pria dari kalangan biasa, walau Dharma adalah seorang yang berpendidikan tinggi. Dharma merupakan lulusan fakultas hukum jurusan perdata di Jakarta.

“Aduh, Dayu, jangan terlalu sering ke sini. Nanti Bibi dimarahi oleh Aji (Bapak) Dagus Brama.”

Komang Sri panik, saat melihat Dayu masih di rumahnya sejak sejam yang lalu.

Dayu tersenyum. “Tidak apa-apa, Bi. Titiang (saya) juga sudah mau pulang.”

“Bli, Bi, Dayu pamit dulu, ya?”

“Iya, Dayu, hati-hati, ya.”

Dharma berbasa-basi dengan kata ‘hati-hati’. Karena, sebenarnya griya Dayu hanya berjarak dua puluh meter dari rumahnya atau hanya dibatasi oleh dua rumah saja.

“Bagaimana ini?! Tut, kamu jangan terlalu dekat dengan tuan putri itu. Nanti kita dapat masalah dari bapaknya. Jangan gila, ya!” kata Komang Sri, setelah Dayu lumayan jauh berjalan dari rumahnya.

“Senang hatiku!” Dharma mengucapkannya tanpa sadar. Hatinya seakan memang sedang melayang.

“Perasaan Bibi mulai tidak enak, nih. Tut, ada yang ingin kamu katakan pada Bibi?”

Komang Sri masih memerhatikan wajah Dharma yang tampak bersinar-sinar itu.

Dharma membekap mulutnya yang baru saja keceplosan.

“Tidak ada, Bi,” sahutnya, berbohong. Kepalanya tertunduk.

Komang Sri menatap wajah Dharma lekat-lekat, berusaha mencari kejujuran di matanya. Dharma merasa tidak enak hati karena telah berbohong.

“Dayu itu pacarku, Bi.”

“Apa?! Aduh, Ketut, apa kata Bapak Dagus Brama nanti? Kita bisa dapat masalah besar karena cinta terlarang kalian ini.”

Komang Sri tambah panik.

“Tenang, Bi. Lagi pula, kami belum berpikir ke jenjang yang le-bih jauh, Dayu ingin menyelesaikan kuliahnya dulu.”
Saat ini Dayu sedang meneruskan kuliahnya di sekolah pariwisata di Denpasar. Komang Sri hanya bisa mengurut dadanya yang berdegup kencang, karena berita yang menurutnya sangat mengejutkan.

Sementara itu, di griya Dayu. “Gek (dari kata Jegeg, yang artinya cantik), dari mana?” Dagus Dharma menginterogasi anak semata wayangnya.

“Ah, Aji,” kata Dayu, setengah terkejut. “Dayu hanya jalan-jalan sepulang kuliah tadi. Bosan di griya saja.”

Dagus Brama menatap Dayu. “Dayu tidak bohong?”

Dayu tertunduk. “Mana berani Dayu berbohong pada Aji.”

Tapi, Dayu tidak berani melihat wajah Dagus Brama dan segera beranjak dari hadapan ayahnya tersebut.

“Lusa Dagus Mantra akan membawa anak semata wayangnya yang baru saja menyelesaikan program magisternya di Yogya. Dia adalah Ida Bagus Suamba,” kata Dagus Brama, sebelum Dayu masuk ke dalam kamarnya.

Langkah Dayu terhenti. Ia menatap ayahnya, tak mengerti. Jantungnya berdegup kencang. “Maksud Aji?”

Dagus Brama tersenyum, namun masih tampak berwibawa di mata siapa pun yang melihatnya.

“Aji dan Dagus Mantra bermaksud menjodohkanmu dengan Dagus Suamba.”

Dayu terkejut. “Tapi, Aji, Dayu hanya akan menikah dengan pria yang Dayu cintai.”

Dagus Brama langsung menunjukkan wajah gusar.

“Apa itu cinta?! Dagus Mantra itu orang berpengaruh, kedudukan jelas, dari kalangan berpendidikan. Jelas dia lebih kaya harta daripada kita. Bukan hanya rumah kos dan hotel, tapi perkebunannya pun berhektar-hektar. Dagus Suamba anak satu-satunya mereka! Dia keturunan murni Brahmana. Dia mengambil gelar master manajemen di Universitas Gajah Mada, bahkan sekarang ia sendiri yang menge-lola hotel milik Dagus Mantra. Kalau Dayu cari jodoh sendiri, belum tentu bisa dapat yang lebih baik dari Dagus Suamba.”

Dayu menangis. Ni Luh Sari, ibunya, merangkul pundaknya, membawanya masuk ke dalam kamar, sambil menenangkan anak semata wayangnya itu.

“Ini tak adil buat Dayu, Biang (ibu). Aji menikah dengan Biang karena cinta. Kenapa sekarang Aji menentukan calon pendamping hidup buat Dayu? Dayu benci terlahir sebagai seorang wanita.”

Ni Luh Sari memeluk anaknya.

“Ini semua salah Biang. Biang menikahi Aji yang seorang keturunan Brahmana, kasta tertinggi, padahal Biang hanyalah sudra dari Singaraja.” Ni Luh Sari ikut menangis.

“Tidak, Biang. Biang tidak salah.” Dayu mencium tangan Ni Luh Sari. “Maafkan Dayu yang telah membuat Biang sedih.”



Penulis: Tang Annisa Inocentia Husna