Profile
Susi Pudjiastuti: Kebentur Tembok!

28 Oct 2014

Susi Pudjiastuti, anak sulung dari tiga bersaudara, kelahiran Pangandaran, 15 Januari 1965. “Ayah-Ibu asal Jawa Tengah yang sudah lima generasi lahir dan hidup di Pangandaran. Menurut cerita, kakek buyut saya saudagar sapi dan kerbau, yang biasa membawa ratusan ternak dari Jawa Tengah untuk diperdagangkan di kawasan Jawa Barat ini. Saya sendiri tak tahu bagaimana ceritanya sampai beliau menetap di Pangandaran. Yang pasti, Haji Ireng, kakek buyut saya, lantas dikenal sebagai tuan tanah,” kisah Susi.

Sebagai keturunan Haji Ireng, ayah Susi, Haji Karlan, juga termasuk tuan tanah di kampungnya.  Tanah milik ayahnya banyak, antara lain berupa kolam-kolam ikan dan kebun kelapa untuk dipanen dan dijual kopranya. Sang ayah juga mengusahakan beberapa buah perahu untuk digunakan para nelayan mencari ikan dengan sistem bagi hasil. Di tengah keluarga berkecukupan itu Susi tumbuh dan besar.

Pangandaran sekarang memang sudah berbeda dengan saat masa kecilnya. Pangandaran kini menjelma menjadi kawasan wisata yang amat ramai. Sebagai objek wisata primadona Jawa Barat, keramaian turis yang datang  tak cuma di hari Sabtu-Minggu ataupun saat-saat ada upacara labuh laut, tetapi juga di hari-hari biasa. Kampung di pesisir pantai itu pun kini sudah menjadi kota, bahkan sedang digadang-gadang untuk menjadi ibu kota Ciamis Selatan.

Dulu, meskipun sudah dikenal sebagai salah satu objek wisata, Pantai  Pangandaran masih saja sepi pengunjung. Di hari Sabtu-Minggu atau hari libur pun amat  jarang ada wisatawan yang datang.

Karena itu, meski terlahir dari keluarga berada, Susi kecil tetap saja Susi anak kampung yang sepi. Ajang gaul-nya pun sebatas pada anak kampung, anak desa. Pasar di dekat rumahnya, dulu cuma ramai hingga pukul sembilan pagi. Sekolah dasar cuma satu, dengan bangunan setengah tembok dan selebihnya berdinding bilik bambu berlantai tanah. Di situ, mau tak mau Susi bersekolah. SMP pun cuma satu. Susi tak ingat, apakah SMP negeri atau swasta, yang pasti ke sekolah itu Susi belajar, setelah lulus SD.

Karena itu, jangan ngomong soal dokumentasi foto masa kecil Susi. “Boro-boro studio foto, pemotret keliling yang berbekal perangkat tustel polaroid pun belum ada waktu saya kecil. Bahkan, sampai saya remaja pun, namanya urusan foto, masih terasa sebagai sesuatu yang mahal bagi saya. Pernah, sih, beberapa kali saya minta dijepret oleh tukang foto keliling saat main-main bersama teman di pantai. Tetapi, entah ke mana lembar foto elek itu sekarang,” katanya, sambil terpingkal-pingkal.

Sebenarnya, pernah juga Susi melihat ‘dunia’ di luar kampungnya saat-saat piknik dengan sekolah, atau diajak oleh orang tuanya melihat keramaian Kota Ciamis atau Tasikmalaya. “Tetapi, saya benar-benar baru ‘melihat’ dunia luar setelah lulus SMP,” ungkap Susi. Tak jelas, apakah saat itu di Pangandaran sudah ada SMA atau sekolah lanjutan setara, yang pasti orang tuanya mengirim Susi bersekolah di Yogyakarta.
Advertisement

Lagi-lagi Susi tak menjelaskan (mungkin ia menganggap itu tak penting!), di SMA mana ia bersekolah di Yogyakarta. Dia tak mau pula menjelaskan,  di mana dan di tempat siapa ia kos saat di Kota Gudeg itu. Dia hanya membuka sedikit rahasia,  “Saya teman sekelas Iwan Qodar, suaminya Uni Lubis (wakil pemimpin redaksi ANTV sekaligus pemandu beberapa talk show -Red),” ungkap Susi, seolah hendak menegaskan bahwa ia benar-benar pernah mencicipi bangku sekolah lanjutan atas.

Ya, di SMA, Susi memang tak tuntas belajar. Ia drop out di kelas dua. Apa dan kenapa? Lagi-lagi Susi enggan menjelaskan pernak-pernik remeh-temeh itu. Tapi, pastinya ia putus sekolah bukan karena ia malas belajar. “Saya amat suka belajar, dan amat suka membaca buku-buku teks berbahasa Inggris,” ungkap wanita berambut ikal yang memang fasih berbahasa Inggris ini.

Tetapi, ya, itu tadi.  Meski punya otak encer dan dana cukup, Susi terbentur tembok juga. “Terbentur tembok dalam arti sebenarnya,” kenang Susi. Ia pun berkisah tentang bagaimana suatu kali ia tergelincir di tangga, lalu tubuhnya menggelinding ke bawah dan baru berhenti ketika kepalanya terbentur tembok dinding sekolahnya.

Sakit? Tentu saja! Paling tidak ia sampai harus terbaring di tempat kosnya beberapa hari. Sakit berkepanjangan yang membuat bapak-ibunya memintanya balik ke kampung halaman di Pangandaran, dan dia kemudian memutuskan untuk tak balik lagi ke sekolah. Malas, begitu alasannya. Bahkan,  ibu dan bapaknya sempat melongo ketika tahu Susi tak mau melanjutkan sekolah. “Tetapi, mau bilang apa lagi, Susi maunya begitu…,” ungkap sang ibu.

Orang tua boleh kesel saat itu. Tetapi, dipikir-pikir lagi, bisa jadi itu memang jalan hidup yang harus ia jalani.  “Rasanya begitulah kehendak Gusti Allah untuk saya. Kalau saja saya terus sekolah, lulus SMA, lalu kuliah di perguruan tinggi, pastilah cerita hidup saya akan berbeda,” katanya, tertawa, sembari mengusap-usap bagian depan kepalanya, yang bisa jadi merupakan titik benturan semasa SMA. “Apa karena terbentur itu, ya, ’pikiran’ saya lantas jadi aneh…?” lanjutnya, lagi-lagi sembari tertawa. (f)


HERYUS SAPUTRO




 



polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?