Foto: dok. femina
Ia membuka misteri Bali lewat buku yang membahas resep yang tidak diperhalus bumbunya agar autentik, dan disertai omong-omong soal budaya makan. Foto-foto makanan dan potret keseharian masyarakat Bali ditangkap lewat bidikan yang indah. Semua foto di buku adalah bidikan Heinz. Untungnya tak asal jepret, karena ia telah mendalami fotografi sejak pertama kali datang dan terkesan pada panorama tanah Bali.
Langkah giat Janet de Neefe sebagai pionir pendemo masak Bali di Casa Luna Cooking School, Ubud, Bali, juga membuat banyak turis mengikutsertakan sesi kelas masaknya ke dalam agenda pelesir mereka. Gaya belajar wanita berlatar pendidikan mengajar dan seni ini sangat rumahan, seperti mengulek sambal dan mencincang kecombrang. Suasana kelasnya akrab dan mengalir tanpa beban.
Program Wet Market Tour rancangannya menjadi favorit. Di Pasar Ubud, ia memperlihatkan potret pasar basah Indonesia sesungguhnya yang seru: lantai becek dan aneka daging potong segar tanpa pendingin yang bagi sebagian peserta ekspatriat dianggap sangat bizarre!
Sejak dimulai di tahun 1992, Janet boleh berbangga karena kelasnya kerap overbooked di musim-musim kunjungan turis. Turis pun happy karena pilihan mereka tak sebatas berjemur di pantai indah Bali atau ikutan nonton seremoni rakyat setempat. Di Bali, Janet tidak lagi sendiri karena popularitasnya mengilhami beberapa tempat kursus masak sejenis lainnya.
Satu nama yang lebih populer di kancah kuliner luar negeri ketimbang di dalam negeri adalah Chris Salans. Jika Anda beruntung mendapatkan Miele Guide, sebuah panduan makan perdana keluaran Miele (perangkat masak Jerman), Anda akan tersenyum melihat bahwa salah satu dari 20 restoran terbaik di Asia Tenggara terletak di Ubud, Bali! Dan, resto ini adalah Mozaic, milik Chris Salans.
Lalu, apakah berarti Salans lebih cakap membakar satai daripada kita? Chris mengakui bahwa hidangannya bukanlah masakan autentik Indonesia. Tidak pula ia menyatakan bahwa gaya masaknya adalah fusion Indonesia-Barat. Lho? Salans rupanya menciptakan hidangan yang terhitung baru. Dalam piring kreasinya, ia memperkenalkan cita rasa bahan-bahan khas Indonesia. “Tak ada definisi untuk signature dish saya. Cara kerja saya adalah mengeksplorasi bahan-bahan.
Salah satu contoh adalah saat membayangkan sajian gulai. Saya memasukkan 2 jenis bumbunya ke dalam saus, Dua bumbu lainnya ke dalam daging, dan mengolah sisa bahan lainnya ke dalam bentuk foam. Saat penyajian, yang paham gulai akan melihat visual yang bukan gulai. Namun, ketika dikulum, rasanya secara kilat mengingatkan pada gulai. Ini yang pasti bukan fusion karena fusion diandaikan seperti menaruh saus gulai di atas daging kobe. Saya tidak melakukannya mentah-mentah seperti itu. Saya sering dikritik karena pandangan saya mengenai fusion. Tapi, ya, sudahlah. Fusion is confusion, anyway,” tutur Chris, berapi-api.
Kreasi Salans berupa Wagyu Beef Tenderloin Carpaccio Marinated in Sumatranese Rendang Oil menjelaskan segalanya. Sebagai basic, Salans meracik bumbu rendang yang cukup nendang. Setelah dimasak lama, ia lalu mengeruk bagian minyak yang legit, dan tidak memakai bumbu kasar rendang sama sekali. Ia lalu merendam irisan tipis-tipis daging mentah (istilahnya carpaccio) jenis wagyu di dalam minyak bening tadi, dan menyaringnya setelahnya. Visual sajiannya jelas tidak menunjukkan masakan Indonesia dari belahan pulau mana pun. Namun, saat didekati, aroma rendangnya menyeruak. Saat dilahap, daging-daging sapi tipis ini ‘bercerita’ mengenai cita rasa rendang, namun dalam versi yang ringan dan segar. Mengagumkan!
Salans juga khas mengantar bahan makanan mentah ke meja tamu. Bahan yang akan dimasaknya nanti ini diperlihatkan dalam bentuk mentah agar tamu mengenali cita rasa dan bentuk aslinya. Banyak tamu yang tersenyum geli saat mencoba mengenali cita rasa asli nangka muda maupun belimbing wuluh dalam racikan kreatif Salans.
Ada satu Chris lagi, dengan misi yang berbeda. Dia adalah Chris Janssens, konseptor di balik Harum Manis, resto Indonesia premium di Jakarta. Di antara segelintir konseptor resto Indonesia berkelas sejenis, cukup unik melihat nama asing ini sebagai salah satu pelakunya. Dengan pengalaman di hotel-hotel berbintang yang mengedepankan hospitality, Chris menelurkan resto pengantar menu Jawa autentik, namun dibarengi standar pelayanan gaya Barat yang ketat.
Mengunjungi resto dengan masterplan Chris seperti menjenguk sebuah restoran Indonesia dengan wajah baru. Walau interiornya memegang filosofi Jawa, penampilannya modern. Furniture-nya elegan dan didesain dengan motif batik kawung. Pikat fine dining ini terbukti ampuh dan menarik 80% tamunya untuk datang kembali. (f)
Trifitria Nuragustina