Namanya tercatat sebagai wanita pertama yang menjabat sebagai Walikota Surabaya. Gaya bicaranya lugas, penampilannya tidak semarak, tapi karya nyatanya mampu mengubah wajah dan citra kota Surabaya, tak hanya di tataran nasional, tapi juga dunia.
Seperti umumnya seorang ibu, ia banyak bicara, menilai, tapi juga ikut bekerja, melakukan apa yang menjadi keyakinannya. Integritas, demikian dunia profesional mendefinisikannya. Sesuatu yang sangat langka ditemukan di jajaran pemimpin rakyat yang dewasa ini lebih sering membuat orang mencibir dan pesimistis.
Wajarnya seorang ratu rumah tangga, ia ingin membuat rumahnya seindah istana. Spirit ini membuat wanita yang akrab disapa Risma ini turun ke jalan, menyisir jalanan becek dan kotor di pasar-pasar, berdialog dengan para pedagang liar, memberikan mereka ruang baru yang lebih tertata. Ia membenahi taman-taman kota, sehingga Surabaya semarak dengan warna-warni bunga, dan hijau pepohonan yang memberi napas di kota yang mendenyutkan nadi tak kurang dari tiga juta jiwa warganya.
“Membersihkan got atau saluran air,” kata lulusan Arsitektur dan paskasarjana Manajemen Pembangunan Kota Institut Teknologi Sepuluh Nopember itu saat ditanyai tentang ‘me time’ favoritnya. Jadi, ketika kebanyakan wanita memilih untuk pijat di spa, maka di waktu luangnya Risma akan terlihat menyusur saluran air untuk memastikan kebersihannya. Sepertinya, beberes sudah mendarah daging dengan dirinya. Bahkan, selarut apapun ia tiba di rumah, Risma akan bersih-bersih rumah dahulu. Ia menyebutnya sebagai hobi. Sangat ibu-ibu.
Di bawah asuhan tangan keibuannya ini Surabaya berhasil memboyong pulang tiga piala Adipura kategori kota metropolitan, berturut-turut di tahun 2011, 2012, dan 2013. Taman Bungkul yang berkonsep all-in-one entertainment park diapresiasi oleh PBB lewat penghargaan Asian Townscape Sector Awards (2013).
Integritas dan keteladanannya sebagai seorang pemimpin membuat warga dengan sukarela ikut mengusung dan bekerja untuk visi yang sama. Dalam hal pengelolaan lingkungan misalnya, kolaborasi harmonis antara pemerintah dan warga membuat organisasi internasional Citynet menggelari Surabaya sebagai kota dengan tingkat partisipasi terbaik se-Asia Pasifik (2012).
Surabaya juga berhasil menyisihkan 800 kota di seluruh Asia-Pasifik dan meraih penghargaan Future Government Awards 2013 sebagai kota dengan pengelolaan pusat data yang terbaik, di mana warganya telah melek komputer dan mampu memanfaatkan teknologi internet secara maksimal (inklusi digital). Deretan penghargaan ini masih panjang.
Namun, di tengah ketegarannya sebagai seorang pemimpin, Risma tetaplah seorang wanita. Ia tidak gengsi memperlihatkan sisi rapuhnya, seperti ketika ia menangis di Mata Najwa saat ditanyai seputar isu pengunduran dirinya sebagai “Emaknya Surabaya”. Banyak memang kebijakannya yang kontroversial bagi segelintir orang yang ‘ladangnya’ jadi berkurang.
Ia memberlakukan pajak yang tinggi bagi iklan baliho untuk menjaga agar kota Surabaya tidak berubah menjadi rimba iklan. Gara-gara ini, belum setahun menjabat, yaitu pada 31 Januari 2011, Ketua DPRD Surabaya Whisnu Wardhana menurunkan Risma lewat hak angketnya. Upaya ini dipatahkan melalui penegasan Mendagri Gamawan Fauzi. Risma tetap menjadi walikota Surabaya!
Belakangan ini wanita yang pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) dan Kepala Badan Perencanaan Kota Surabaya ini juga diserang oleh banyak pihak atas keberaniannya menutup lokalisasi-lokalisasi di Surabaya yang menjajakan kehormatan wanita - bahkan mereka yang masih di bawah umur - kepada pria hidung belang. Di salah satu event femina di Surabaya belum lama ini, dengan lantang Risma berkata, “Saya tidak takut dengan ancaman itu. Saya akan menghadapinya dengan memimpin barisan di paling depan.”
Teringat salah satu cuplikan wawancaranya bersama majalah Pesona, tentang terpilihnya ia sebagai walikota Surabaya. “Berat sekali risikonya. Tanggung jawab tidak hanya ke masyarakat tapi juga kepada Tuhan. Masyarakat bisa saja saya tipu, tapi apa saya bisa menipu Tuhan? Tapi ini sudah takdir saya, saya harus menjalaninya. Sudah saya tolak, tapi saya tetap dipilih. Saya ini pelayan masyarakat, disumpah untuk melayani masyarakat Surabaya, karena itu masyarakat Surabaya harus puas,” ungkap Risma.
Selasa, 18 Februari 2014, layar televisi kembali menampilkan wajahnya. Sebaris kalimat berita mengulang isu serupa: Risma telah mengosongkan ruang kerjanya. Dukungan terhadap wanita 'besi' ini terus mengalir, terutama melalui media sosial, seperti #SaveRisma di twitter. Apakah Anda salah satunya?
Naomi Jayalaksana