Celebrity
Titik Balik Kehidupan Edward Gunawan

7 Apr 2012

Aktingnya sebagai Tom, dokter yang membantu penyembuhan Meimei (Cut Mini) dalam film Arisan! 2, langsung mencuri perhatian banyak penonton. Postur tubuh yang atletis, senyum tak pernah lepas dari wajahnya, seakan-akan mengesahkan bahwa sangatlah mudah untuk jatuh hati padanya. Ternyata, pria ganteng ini bukanlah orang baru di dunia film. Di situsnya, www.edwardgunawan.com, tertulis 5 profesi yang dijalani Edward. Aktor, penulis, produser, sutradara, model profesional. Jadi, apa, sih, yang tidak bisa dilakukan oleh seorang Edward Gunawan? “Banyak sekali! Suara saya pas-pasan, jadi saya tidak akan mencoba menyanyi,” katanya, tertawa. 

Hilang Arah

Harus diakui, lima profesi tadi bagi Edward bukanlah sekadar gaya-gayaan, melainkan bisa ‘dipertanggungjawabkan’. Terbukti, sederet penghargaan diterima Edward dalam perjalanan kariernya: Best Asian Short Film Award di Screen Singapore (Payung Merah), Audience Award untuk Best Short Film (Laundromat) di 18th ReelPride: Fresno LGBT Film Festival (AS), Jury Award untuk Best Director of Short Film (Laundromat) pada 19th Clip di Tampa LGBT Film Festival (AS), dan Best Feature Screenplay (Nona Indonesia, bersama sutradara Lucky Kuswandi) di Jakarta International Film Festival 2006.      

Keterbatasan hiburan dan permainan di masa kecil membuat Edward memilih membaca buku sebagai kegiatan sehari-hari. “Favorit saya adalah buku-buku karya Roald Dahl (penulis Inggris yang terkenal dengan cerita-cerita fantasi). Dari situ, saya mulai menyukai dunia penulisan. Rasanya, ingin sekali membawa teman-teman terbang ke dunia lain yang penuh imajinasi. Dulu, sih, saya banyak menulis kisah tentang dunia sihir,” sambungnya, sambil tersenyum. Makin dewasa, Edward mengaku tidak pernah serius memikirkan dunia tulis-menulis dan tak pernah juga diarahkan oleh keluarga untuk bergerak di bidang kreatif itu. 

“Semasa kuliah, saya menyukai karya sastra Inggris, seperti Shakespeare. Sejak itu, saya makin suka menulis, dan dari sana pula saya mulai ngeh kalau 'hubungan' saya dengan kata-kata cukup bagus. Tetapi, saya juga tidak langsung mengambil kuliah penulisan, walaupun bercita-cita menjadi novelis. Teman-teman dan keluarga mengatakan, saya pintar ngomong dan menulis. Lebih baik saya ambil bidang hukum. Itu pun setelah sempat ‘tersesat’ lebih dulu, karena, di tahun pertama kuliah, saya mengambil jurusan teknik,” katanya, lagi-lagi sambil tergelak.

Diakuinya, ‘kehilangan arah’ di masa lalu ternyata membawa gairah tersendiri saat membuat film pendek. “Sewaktu belajar ilmu hukum, saya terpanggil untuk menggarap sejumlah masalah sosial. Semangat itu lantas masuk dalam sisi kreatif saya. Misalnya, di Garis Bawah, film pendek yang saya produseri sekarang. Isinya mengisahkan penduduk Jakarta yang hidupnya berada di bawah garis kemiskinan. Keprihatinan terhadap peristiwa yang saya lihat itulah yang kemudian saya angkat dalam film,” ungkap Edward. Ia mengambil workshop teater, akting, dan mulai menulis naskah drama untuk teater sejak di masa kuliah.

Saat menuangkan ide ke dalam film, produser yang sedang mempersiapkan film pendeknya, Payung Merah, menjadi versi film panjang ini tidak membawa misi tertentu. Baginya, memotret satu masalah yang menggambarkan relasi antarmanusia --termasuk emosi-- sudahlah cukup. “Tentu saja, sebagai pembuat film, ada harapan agar  penonton bisa mengingat karya saya. Sewaktu melakukan screening keliling, misalnya, penonton menyampaikan kesan atau perasaan mereka. Buat saya, itulah bagian terbaiknya. Beda interpretasi, tidak masalah,” jelas Edward, lugas.  

Nyaris Menyerah

Ketika disinggung mengenai keterlibatannya di dunia akting, Edward berkisah, bakatnya sudah muncul saat dia masih duduk di bangku TK. “Saat ada perayaan Natal di sekolah, saya sudah manggung di sana. Bisa dibilang, saya suka tampil juga (tertawa keras). Makanya, ketika masuk ke dunia model, saya tidak terlalu canggung lagi,” tambah pria, yang telah memulai kariernya sebagai model saat masih kuliah di Amerika Serikat (AS), ini. 

Advertisement
Bermodal wajah oriental, dengan tinggi badan 185 cm, proses casting yang dilalui Edward tergolong lancar. Tidak sampai seminggu, sebuah agen  model mengontraknya untuk pekerjaan pertama, hingga akhirnya menjadi model iklan. “Sebelumnya saya tidak pernah bergaya di depan kamera. Dan saya merasa, sepertinya perlu belajar lebih, jika ingin lebih maksimal. Dari sana, timbul keinginan saya untuk belajar akting.” 

Memilih untuk banting setir,  terjun total di dunia seni (sebagai aktor dan filmmaker di AS), sekaligus menjauh dari dunia akademis, menjadi titik balik untuk Edward. “Heard of the term struggling actor? That's me! Saya bekerja di kafe selama musim dingin. Kedinginan, karena tidak ada pemanas di kamar, tidur pun menggunakan air mattress selama beberapa bulan. Penghasilan saya dipakai untuk mengikuti kursus ini-itu, ikut casting sana-sini. Industri ini memang sangat kompetitif di AS,” ujarnya. 

“Ada masanya saya ingin menyerah, karena saya tidak tahu lagi apakah saya sanggup bertahan atau mungkin saya memang tidak mampu. Bersyukur, bahwa perjalanan itu akhirnya menghasilkan satu big break. Sedikit demi sedikit saya merasa lebih stabil dan bisa mulai bernapas. Saat itulah saya baru mengerti, all the broken road has led me to here. All the struggles and all the lessons are worth it. Tanpa melewati masa-masa terendah itu, saya tidak akan menjadi siapa saya sekarang. I feel grateful but always hungry,” cerita Edward, yang kemudian sempat dikontrak oleh Next Model Management, salah satu agen  model ternama di AS. 

Kerja kerasnya terbayar sudah. Berbagai penghargaan telah diraihnya. Begitu pula kesempatan untuk berkarier di dunia film dan seni peran yang makin terbuka lebar. “Tapi jujur, ketika tahu bahwa film saya tidak berhasil dalam festival film pendek tertentu, saya  kecewa. Mulai muncul perasaan-perasaan negatif, apakah filmnya kurang bagus, atau jangan-jangan saya memang tidak berbakat. Malam-malam, saya curhat nggak jelas (tertawa lagi). Tetapi, saya tidak memaksakan diri untuk buru-buru bangkit. Saya bahkan menamakannya sebagai grieving time. You have to grieve the lost. Karena, itu kan seperti kehilangan kesempatan,” tambah pria penyuka film-film klasik Hollywood ini. 

Edward pun mengaku enggan berlama-lama terpuruk dalam kesedihan. Walau tidak mematok satu waktu tertentu untuk mengurung diri, Edward dengan jujur mengakui jika dia sedang sedih dan kecewa. Menurutnya, dengan cara itu, akan cepat pula untuk ‘melepaskannya’. “Jangan dipendam. Pura-pura tegar dan tidak kecewa, padahal yang dirasakan sebaliknya. Itu benar-benar bakal lebih menyesakkan (hati)!” 

Kesibukannya  makin padat, selain aktif di dunia film, Edward juga terlibat dalam bisnis keluarga di bidang trading (alat berat di industri perminyakan). Pria kelahiran 28 Juli 1982 ini kini mengaku lebih santai dalam menjalani hidupnya.  “Dulu saya mematok rencana panjang, pasang target tinggi. Tapi sekarang, saya belajar untuk lebih menahan diri, soalnya bisa stres sendiri jika tidak tercapai!” ujar pria yang hobi berenang ini. 

Dari sekian banyak profesi yang dijalani, Edward merasa menulis adalah yang paling ‘juara’. “Tapi, waktu yang tersedia untuk itu justru paling sedikit. Saya kangen… banget menulis. Ini tantangan. Soalnya, jika akan menulis, saya harus sendirian.  ‘Bertapa’ dulu, mengurung diri. Hanya ada saya dan laptop. Saya bisa, tuh, terjaga hingga pukul 2 dini hari untuk menulis. Saya sangat menikmatinya. Tetapi, dengan kesibukan saya sekarang ini, rasanya belum bisa,” tambah Edward, yang berencana mengurangi aktivitasnya di bidang modeling. “Sadar umur!” canda pria, yang tidak mau disuruh memilih di antara sekian banyak profesi yang dijalaninya ini.  

Rully Larasati




 



polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?