Fiction
Pulung [6]

4 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

“Mengapa diam, Rintan?” Pulung menepuk punggungku.

“Mengapa tidak kau bawa ibumu ke rumah sakit?”

“Ia tidak mau.”

“Kau harus memaksanya!”

“Ya. Biasanya, kalau ia demam hanya satu dua hari saja.”

Aku mengangguk, lalu mengalihkan pandang pada dinding-dinding kamar. Ruang tidur ini sangat sederhana, namun rapi. Tak ada perabotan mewah. Hanya ada satu almari yang pada tutupnya terpasang cermin. Lalu di sudut ruang terletak sepasang meja dan kursi. Pada dinding sebelah kiri ada beberapa foto tertempel di sana. Ketika aku mendekat untuk melihat koleksi foto itu, alangkah terkejutnya aku, ketika melihat seorang laki-laki yang menggendong bayi itu sangat mirip dengan laki-laki yang menggendong bayi kakak-kakakku ketika lahir.

“Ada apa, Rintan?” Pulung bertanya saat melihatku mematung.

“Ah, tidak. Aku hanya ingin melihat foto-foto ini.”

“Itu ayahku. Yang digendong itu aku,” katanya, seraya menunjuk satu foto dalam pigura kayu.

“Yang ini?”

“Itu adikku.”

Aku menoleh ke arahnya sebentar. Ada yang aneh dari nada suaranya. Dan, entah karena ada kekuatan apa, hatiku memerintahkan tangan untuk mencuri foto itu. Aku memasukkan ke dalam tas, ketika Pulung kembali ke pembaringan ibunya, lalu mengusap peluh pada dahi kusut itu. Benakku terus terisi berbagai macam pertanyaan. Kuharap Pulung tak tahu bahwa salah satu foto keluarganya hilang.

Selepas hari itu, pada waktu istirahat aku suka memandangi lama foto curian itu, lalu membanding-bandingkan dengan foto kelahiran kakak-kakakku. Aku tak mengerti, bagaimana bisa Pulung mengatakan bahwa ini adalah foto adiknya. Bukankah ia anak semata wayang? Belum pernah sekali pun ia menceritakan tentang saudaranya. Begitu kuat pertanyaan itu, sehingga aku ingin menghubungi dan menanyakannya.

“Bagaimana kabar Ibu, Pulung? Sudah baik?”

“Lumayan. Sudah mau makan dan duduk, meski cuma sebentar.”

“Syukurlah, aku senang mendengarnya.”

“Kau baik, Rintan. Kau begitu peduli pada ibuku.”

“Oh, iya. Sekalian aku mau bertanya tentang foto yang ada di kamar ibumu. Hmm....”

“Mengapa kau peduli pada foto itu? Adakah yang menarik?”

“Aku hanya ingin tahu cerita tentang adikmu yang kau sebut, ketika aku bertanya tentang foto kelahiran kemarin. Karena, rasanya kamu tak pernah menceritakannya bahwa kau punya adik. Di mana dia? Kau tak ingin mengenalkannya padaku?”

“Oh, itu. Kemarin ibuku kebingungan, mengapa salah satu fotonya ada yang hilang. Ia mencari dan bertanya padaku apakah aku memindahkan foto itu. Asal tahu saja, ibuku sering berlama-lama memandangi foto itu.”
Aku kaget bukan main. Dihantui rasa bersalah dan malu karena kelakuanku.

“Pulung, maaf. Maaf, aku... aku... aku telah mencuri foto itu.”

“Ha...ha... ha... kamu lucu sekali. Apa gunanya foto itu. Kau ini!! Ibuku senewen mencari, ternyata kau yang mengambil. Untuk apa?”

“Ah, tidak. Ya, baiklah, aku akan kembalikan. Tetapi....”

“Tetapi apa?”

“Tetapi, kamu tak pernah cerita di mana adikmu berada.”

“Ia ikut ayahku.”

“Oh... itukah sebabnya kamu terus mencari ayahmu?”

“Ya. Atas permintaan ibuku, aku harus mencarinya. Supaya ia bisa melihat anaknya, meski hanya sebentar saja. Ibu merindukannya.”

“Oh, kalau begitu aku maklum mengapa foto ini sangat berarti bagi ibumu, maafkan aku!”

“Ha... ha... ha... kau selalu menyenangkan, Rintan. Kau wanita aneh, tetapi menarik. Tak heran kekasihmu sangat sayang padamu.”

Malam itu aku tak bisa tidur. Tindakan mencuri foto itu membuatku malu. Dan, cerita Pulung tentang keluarganya, membuatku risau. Tentu aku tak akan risau, andai pria yang ada di foto ini tidak sama dengan pria yang menggendong Mas Wisnu dan Mas Indra. Tentu aku tak akan risau, andai saja foto kelahiranku ada di dalam kumpulan foto-foto masa kecilku.

Sore ini aku begitu sibuk di rumah batik. Naning, orang kepercayaan yang kuserahi mengelola dan memimpin para pramuniaga, sedang menghadiri pesta pernikahan kerabatnya. Aku sendiri yang kemudian turun mengatur semuanya.

Pukul setengah delapan, aku baru pulang. Mbok Yekti sedang duduk terkantuk-kantuk di dapur. Melihatku datang, wajahnya tampak lega dan senang. Ia memegang gelas teh sebentar, lalu menoleh ke arahku, “Belum menjadi dingin, Mbak Rintan.”

“Terima kasih, Mbok. Capai menunggu saya?”

Advertisement
“Ah, Simbok khawatir mengapa Mbak Rintan belum pulang.”

“Banyak pekerjaan, Mbok.”

“Berarti, Mbak Rintan lebih capai daripada Simbok. Lekaslah mandi dan istirahat!”

Aku mengangguk mengiyakan. Usai mandi dan beberes, aku rebahan di kasur. Kembali kegelisahan tentang Pulung dan Bagas menggerogotiku. Kembali foto yang kucuri itu mengganggu benak. Besok aku berencana ke rumah Pulung di Yogya untuk mengembalikan foto itu. Tetapi....

Ketukan Mbok Yekti yang menyuruhku segera makan, tak kuperhatikan. Hingga akhirnya ketika ketukannya tak ada jawaban, Mbok Yekti nekat membuka pintu dan melongo mendapati aku yang diam sambil memandangi foto. Aku menolehnya.

“Maaf, Mbak. Simbok kira....”

“Tak apa. Masuklah, Mbok.”

“Ah, tidak. Simbok hanya memastikan Mbak Rintan baik-baik saja dan sekarang sudah waktunya makan malam.”

“Baik saya akan makan, tetapi boleh saya bertanya, Mbok?”

“Apa, Mbak?”

“Kemarilah!”

“Mbok, maukah besok Simbok menemani saya pergi?”

“Ke mana, Mbak?”

“Ke Yogya. Ke rumah Pulung. Lelaki yang telah membuat saya jatuh hati. Saya kemarin ke sana. Menengok ibunya yang sedang sakit.”

“Astaga!”

“Kenapa, Mbok?”

Tiba-tiba ia murung. Lalu beranjak hendak pergi. Aku menahannya.

“Mbok! Kenapa, Mbok?”

“Mbak Rintan sudah mengingkari permintaan Simbok. Ternyata Mbak Rintan nekat jatuh cinta lagi. Simbok akan bersiap pulang ke desa saja.”

“Jangan, Mbok! Dengar dulu cerita saya!”

“Tidak, Mbak. Simbok tetap akan pergi....”

Mbok Yekti berjalan cepat. Ia meninggalkan kamarku dengan tergesa. Sejenak aku termangu. Aku merasa dungu dan kalah. Tak mungkin aku menyalahkan dia yang sudah telanjur sayang pada Bagas, sehingga tidak sanggup melihat Bagas tertolak olehku. Tetapi, sungguh mati, aku tak bisa pungkiri bahwa hatiku benar-benar terpaut pada Pulung. Dan, foto itu... sungguh membingungkanku.

Aku duduk lunglai di kasur, tak tahu harus berbuat apa. Pipiku tanpa terasa basah oleh air mata. Air mata untuk Bagas, untuk Pulung, untuk Mbok Yekti, dan untuk diriku sendiri. Foto di tanganku tampak buram oleh air mata. Seburam hatiku.

Aku keluar kamar dan berjalan ke meja makan. Tak ada nafsu. Teh yang terhidang sudah dingin. Sedingin hatiku. Sayup-sayup kudengar suara mobil masuk pekarangan. Aku tahu, itu pasti mobil Bagas. Aku malas menyambut sehingga tetap diam menghadapi meja makan. Kulihat jam dinding menunjuk pukul setengah sembilan.
Ia masuk dengan wajah ceria. Namun, tiba-tiba kaget saat melihatku berantakan. Ia mendekat dan membelai rambutku.

“Ada apa, Rintan?”

“Bagas, Mbok Yekti memutuskan pulang ke desa selamanya.”

“Oh! Mengapa begitu? Apa sebabnya? Bukankah ia sudah memutuskan untuk tetap tinggal di sini?”

“Karena... karena....”

“Karena apa?” Ia tampak tak sabar.

“Karena aku melanggar persyaratannya.”

“Persyaratan apa? Aneh-aneh saja!”

“Aku... aku... dilarang jatuh cinta lagi. Tetapi, aku nekat.”

“Apa?! Rintan, kau?”

“Maafkan aku, Bagas.”

Ia jatuh terduduk di hadapanku. Wajahnya yang tadi ceria kini berubah muram dan tegang. Aku tahu, ada marah di wajahnya. Mendung segera menyelimuti dan mendung itu, akulah yang mendatangkan.


Penulis: Indah Darmastuti




 



polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?