Pada dasarnya seseorang memang butuh perhatian dan pengakuan dari orang lain. Dahulu, tempat untuk menunjukkan siapa diri mereka, hanya bisa terjadi di acara kumpul-kumpul seperti arisan atau pertemuan keluarga. Di zaman media sosial dan internet yang mudah diakses sekarang ini, makin membuka peluang bagi orang-orang yang ingin eksis dengan cara apa pun. Dari cara berbahasa, penampilan, hingga perilaku hidup yang ekstrem. Sekadar ingin dikatakan keren atau justru untuk menutupi sesuatu?
Tentu Anda masih ingat Vicky Prasetyo. Ia membuat kehebohan setelah video wawancara dengan wartawan acara infotainment usai pesta pertunangannya dengan pedangdut Zaskia Gotik dipunggah ke YouTube. Dalam rekaman berdurasi 0:59 detik itu, Vicky menggunakan beberapa kosakata yang tidak benar, bahkan kata-kata yang benar pun digunakan tidak pada tempatnya. Sebut saja, kontroversi hati, statusisasi kemakmuran, kudeta, mempertakut, dan labil ekonomi. Sebentar saja, video berjudul Wawancara Kocak Zaskia Gotik & Vicky Prasetyo yg sok memakai bahasa INTELEK ini sudah ditonton puluhan ribu orang. Anda termasuk salah seorang yang menontonnya dan ... merasa terhibur?
Mungkin Anda termasuk yang ikut tertawa. Tapi, coba Anda lihat sekitar atau justru berkaca, jangan-jangan tanpa disadari kita pernah berlaku serupa: berlebihan dan tidak sesuai konteks. Seperti dilakukan seorang penyanyi fenomenal, Syahrini, yang menirukan gaya bahasa Vicky saat diwawancara infotainment.
Menggunakan kata-kata yang diucapkan Vicky, ia mungkin bermaksud mengolok-olok. Padahal, terus terang selama ini ucapan dan tingkah lakunya juga dianggap sama ’lucunya’ dengan Vicky. Bahkan bukan ucapannya, segala tingkah polah dan gaya dandanannya juga sering kali berlebihan.
Astri Nurdin, aktris yang pernah tampil dalam film Merah Putih dan Java Heat menolak kalau gaya berlebihan ini hanya terjadi di kalangan selebritas. ”Orang-orang yang suka menggunakan bahasa tinggi, membual dan over confidence juga banyak dari kalangan pekerja kantoran atau di lingkungan sekolah. Itu semua tergantung dari individunya, bukan profesi tertentu,” ujarnya.
Alasan lain, menurut Amalia E. Maulana, Ph.D, brand consultant & ethnographer, karena mereka ingin mempunyai label yang sama dengan label orang lain yang ia tahu memiliki intelektualitas lebih tinggi. “Sayangnya, ia sendiri tidak mempunyai kapabilitas, serta tidak menguasai makna, kapan, dan di mana ia bisa menggunakan kata-kata itu,” kata Amalia. Akhirnya, kesan yang diperoleh justru sebaliknya. Bukannya jadi terlihat bagus, malah negatif.
Dengan memaksakan diri untuk menggunakan bahasa yang kita sendiri tidak terlalu menguasainya, sebetulnya justru akan membuat diri kita canggung, aneh, dan terlihat jauh dari kesan pintar, kesan yang ingin diekspresikan. Apalagi jika lawan bicaranya tidak cocok, maka kejanggalan dalam gaya bahasa ini membuat seseorang akan dinilai berlebihan dan tidak pada tempatnya.
“Bisa kita lihat dari kasus Vicky dan kasus banyak orang yang menggunakan istilah-istilah yang berlebihan, tetapi setelah didengarkan ternyata tidak punya makna apa-apa atau bahkan keluar dari konteks. Pada akhirnya, ini malah akan menjadi bumerang,” ujar Amalia. Penggunaan kata-kata sulit dan rumit yang semula bertujuan untuk menunjukkan ‘intelektualitas’ yang tinggi malah membuat ia tampak bodoh.
Menurut Bagus, munculnya orang-orang yang menggunakan bahasa Inggris yang asal-asalan atau menggunakan istilah-istilah rumit, sedikit banyak dipengaruhi oleh masyarakat kita sendiri. Saat mendengar seseorang berbahasa Inggris dan menggunakan istilah-istilah rumit, masyarakat cenderung menilai orang itu keren, intelek, berwibawa, dan lain sebagainya. Yang bicara pun merasa tujuannya tercapai. Jadi, jangan heran kalau orang semacam itu makin menjadi-jadi dan jumlahnya terus bertambah.