Motivasi apa yang membuat Anda mencintai alat musik tak populer?
MW: Karena saya punya mimpi menjadi violinis solo. Dan, impian tidak akan tercapai kalau tidak direalisasikan. Untuk merealisasikan mimpi, butuh kedisiplinan, kerja keras, dan keberanian untuk bertanggung jawab. Tanpa ketiganya, semua tinggal wacana. Impian kosong. Itu memotivasi saya. Kalau tidak gigih memperjuangkan tiga faktor di atas, I am not gonna make it. Apalagi, di tahun-tahun pertama menjalani profesi violinis, saya ‘ditampar’ dengan komentar miring dan kritik pedas, karena konsep bermusik yang melawan mainstream.
MA: Chemistry dan cinta yang dikemas dengan penantian panjang. Di usia 9 tahun, saat membeli album Mozart dan mendengar suara petikan harpa yang dreamy, saya langsung terbius dan jatuh hati. Namun, karena harga harpa dan latihannya sangat mahal, saya tahu diri dan belajar mencintainya dari jauh. Saya menanti dan ‘memupuk’ cinta selama 10 tahun, hingga akhirnya dibelikan harpa oleh orang tua. Hebatnya, dari petikan pertama, saya langsung klik dan mendapat feel-nya. Relasi saya dan harpa lebih dari sekadar duet. Dia belahan hati dan juga lidah penyambung mimpi saya untuk memasukkan musik klasik ke program pendidikan sekolah. Saya yakin, musik klasik berkontribusi besar membangun kedisiplinan, kreativitas, kerja keras, fokus, dan intelektualitas pribadi.
Bagaimana Anda menularkan kecintaan Anda bermusik kepada lingkungan?
MW: Menulis pandangan saya tentang musik dan aktif meng-update show dan foto-foto di blog pribadi, situs musik seperti langitmusik.com, dan social media seperti twitter dan facebook. Semua itu saya lakukan untuk meningkatkan awareness masyarakat akan musik, tanpa bermaksud menggurui. Puji syukur, animo publik terhadap musik, terutama karya saya, makin tinggi. Terbukti dari respons mereka membalas blog, dan excitement mereka berinteraksi dengan saya di social media.
MA: Terinspirasi film Music of Heart, saya yang baru diangkat menjadi duta Yayasan Musik Sastra Indonesia, Mei 2011, mengusulkan program pendidikan musik klasik gratis bagi anak kurang mampu. Sebelum program ini berjalan, saya, Ananda Sukarlan, dan rekan lainnya akan ‘ngamen’ berkeliling sekolah dasar. Memainkan medley klasik hasil adaptasi lagu-lagu karya AT Machmud sampai Doraemon, yang sudah akrab di telinga mereka. Kami juga akan meminta bantuan pihak sekolah untuk menyalakan lagu klasik di jam istirahat atau saat belajar, karena musik klasik sudah terbukti meningkatkan konsentrasi. Saya tahu, progress dari program ini butuh waktu lama, ketekunan, dan komitmen tinggi. But I will do my best.
Joy Roesma | foto: dok.femina