Keterlambatan yang disinggung Bre Redana, wartawan dan editor seni harian Kompas, menjadi salah satu faktor penyebab masih banyak yang menonton pertunjukan seni hanya demi ‘eksis’ semata. Konsumerisme tingkat tinggi seperti yang terjadi di Jakarta juga ia nilai telah melalui pergeseran dalam waktu beberapa dekade terakhir dan berimbas pada dunia seni pertunjukan.
“Orang yang ‘gaul’ di tahun ’80-an kebanyakan hang out di klub yang remang-remang demi menjaga anonimitas. Sekarang, tempat-tempat gaul justru harus transparan dan strategis dilihat banyak orang,” kata Bre. Di sini ada keinginan untuk to see and to be seen. Inilah alasan mengapa tiket-tiket pertunjukan yang mahal selalu laris manis. Banyak orang yang ingin duduk di depan menonton dan ‘ditonton’ sebagai VIP.
Ditambah lagi, masyarakat sekarang hidup mengikuti ritme media sosial yang serba singkat dan cepat. Akibatnya, masyarakat cenderung lebih menikmati sesuatu, dalam hal ini pertunjukan seni, yang mudah dicerna dan tidak bertele-tele. Itulah sebabnya pertunjukan seni pop lebih laris manis ketimbang pertunjukan ‘berat’ yang perlu ditonton dengan mikir.
Toh, bukan berarti seni kontemporer lebih inferior dibandingkan seni murni. Bagaimana kita bisa membandingkan mana yang lebih baik, antara drama musikal berdurasi 1,5 jam dan pertunjukan wayang kulit yang semalam suntuk? “Biar bagaimanapun juga, yang ringan itulah yang disukai masyarakat dan menjual,” kata Bre.
Bre juga menilai, peningkatan minat terhadap dunia seni ini adalah sesuatu yang perlu dipertahankan, bila Jakarta ingin tetap menjadi kota yang berbudaya. Mengapa? Karena, penonton juga tidak akan selamanya puas dengan tontonan ‘ringan’.
Seiring dengan bertambahnya ‘jam terbang’, nantinya penonton pasti akan menginginkan tontonan yang lebih berkualitas atau ‘berat’. “Ketika ada permintaan untuk pertunjukan yang lebih berbobot, dunia seni Indonesia bisa menyanggupinya. Potensi ini sudah ada, karena Indonesia adalah ‘gudang’ seni dan seniman sejak dulu,” kata Bre, optimistis.
Hal yang sama juga diyakini Moza Pramita. Berdasarkan feedback dan komentar tentang Matah Ati dan Ariah, ia melihat ada banyak penonton muda yang baru pertama kali ‘tercolek’ budaya. “Pertunjukan budaya adalah alternatif untuk mereka yang malas membuka buku sejarah. Malah, dengan menonton mereka juga sekaligus menjadi saksi sejarah budaya Indonesia,” tutur Moza.
Renita pun melihat bahwa masyarakat makin paham akan adanya etika menonton pertunjukan seni. Berbeda dengan konser besar yang aturannya bisa longgar, pertunjukan seni butuh kedisiplinan tertentu. Misalnya, tidak boleh menyalakan telepon genggam atau memotret dengan lampu kilat. Di venue yang kecil dan pertunjukan yang memerlukan konsentrasi, penonton yang terlambat juga tidak bisa langsung masuk dan harus menunggu hingga babak berikutnya. “Seiring berjalannya waktu, makin sedikit yang datang terlambat. Penonton sudah mengerti bahwa pertunjukan akan mulai tanpa menunggu,” kata Renita.
Harapannya, dalam waktu mendatang kesenian bukan lagi hanya istilah ‘eksotis’ semata, yang kita baca di buku-buku sekolah tentang kekayaan bangsa, atau di brosur wisata yang ‘menjual’ Indonesia pada orang asing. Menonton pertunjukan seni karya anak bangsa juga bisa menjadi prioritas sebelum nonton film Hollywood terbaru atau konser band asing yang didewakan. Apa pun alasannya, entah hanya ingin mengikuti tren terbaru atau ingin mendukung industri seni tanah air, tontonlah pertunjukan seni sebanyak-banyaknya.