Suka atau tidak, selebritas Hollywood sering menjadi semacam corong dan penggerak massa untuk berbagai isu. Salah satunya adalah feminisme, label dan istilah yang kini citranya sedang tercoreng, akibat banyaknya ‘pembela’ wanita yang dianggap sering main serang atau mem-bully di internet. Di sisi lain, ada yang justru menolak label itu karena dianggap terlalu keras.
Melawan Stigma
Ketika akan dianugerahi penghargaan Vanguard yang paling bergengsi di MTV Video Music Awards 2014, Beyoncé memasang tulisan FEMINIST besar-besar sebagai latar belakang panggungnya. Belakangan, ia memang dijuluki the most powerful feminist in pop culture.
Terlepas dari apakah ia bisa disebut sebagai feminis sejati, atau apakah langkah itu hanyalah marketing gimmick, faktanya Beyoncé tepat sasaran karena kontroversi ini sukses menimbulkan diskusi. Terlebih lagi, belakangan ini feminis sedang menjadi salah satu momok di internet. Majalah TIME bahkan sempat meletakkan feminist dalam daftar kata yang sebaiknya di-ban saja pada sebuah polling. Apa sebabnya?
Dalam perkembangannya dari dulu hingga sekarang, feminis sering kali diasosiasikan dengan sekumpulan wanita agresif, pemarah, maskulin, yang tidak mau mengikuti standar kecantikan wanita dan menolak berdandan apalagi mengikuti tren fashion. Kualitas-kualitas yang sesungguhnya sepele ini sering kali mengaburkan niat mulia feminisme yang sesungguhnya, yaitu kesetaraan sosial, politik, dan ekonomi antara pria dan wanita.
Salah satu puncak dari gunung esnya adalah komentar yang dilontarkan aktris Shailene Woodley. “Saya bukan feminis, karena saya menyukai pria,” katanya, dengan polos. Ya, feminis juga sering diidentikkan dengan lesbi dan/atau pembenci pria.
Dalam wawancara dengan majalah TIME itu, Shailene juga mengungkapkan bahwa dirinya bukan feminis karena, menurutnya, feminisme adalah upaya wanita mengambil alih kekuatan pria. Sementara ia percaya bahwa pria dan wanita harus setara, dan keduanya sama-sama memiliki kualitas feminin dan maskulin yang harus dihargai.
Selain itu, bisa jadi para aktivis feminisme ini juga terluka karena melihat kenyataan bahwa suara Shailene sedikit banyak mewakili suara kaum millennial, yang ternyata masih memiliki pandangan yang tidak jelas soal feminisme. Namun, beberapa feminis yang lebih berkepala dingin justru menjadikan peristiwa ini sebagai bahan pembelajaran. Bahwa masih banyak PR yang harus mereka kerjakan untuk menjangkau generasi sulit fokus dan acuh tak acuh itu.
Ada kejadian lain lagi baru-baru ini yang juga memperburuk citra feminis di khalayak internet. Seorang ilmuwan antariksa Inggris harus menelan pil pahit justru di saat yang paling membanggakan dalam hidupnya, ‘hanya’ karena salah kostum. November lalu, Dr. Matt Taylor dan sejumlah ilmuwan lainnya sukses mendaratkan robot yang telah bepergian di luar angkasa hingga sejauh 6,4 miliar kilometer selama 10 tahun, pada sebuah komet.
Namun, pada saat diwawancara televisi, Matt terlihat memakai kemeja dengan gambar kartun banyak wanita berbusana bondage. Kontan, ia pun menjadi sasaran kecaman di media sosial karena dinilai seksis dan merendahkan wanita. Banyak orang berkata, mereka tidak peduli ia berhasil mendaratkan robot di luar angkasa. “Pilihan kemeja Anda tidak membawa kemajuan apa-apa bagi umat manusia di bumi ini,” tulis seseorang di Twitter. Tak lama kemudian Matt mengeluarkan permintaan maaf sambil berurai air mata di depan publik.
Meski begitu, tak sedikit pula yang membela Matt. Kebanyakan dari mereka menuduh feminis bersikap bully dan merusak momen yang harusnya membanggakan itu. Banyak dari mereka yang mengaku feminis juga, tapi mereka tidak merasa terhina atau direndahkan sebagai wanita akibat kemeja itu.
Situs 9gag.com yang begitu populer dan menjadi ‘santapan’ sehari-hari para geek di seluruh dunia juga membandingkan kasus yang menimpa Matt ini dengan Kim Kardashian yang memamerkan bokongnya secara frontal di sampul sebuah majalah. Mereka heran, mengapa dunia menganggap Matt seksis, sementara Kim tidak.
Kesalahan persepsi dan stigma negatif adalah satu dari sekian banyak hal yang masih menjadi tantangan bagi gerakan ini sampai sekarang. Namun, Dr. Kristi Poerwandari, Ketua Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia, lebih melihat persoalan nama buruk feminis ini dari masalah label. Pertama, masyarakat sudah keburu membenci istilah feminis karena citranya yang buruk tadi. Akibatnya, wanita pemarah yang berbicara soal seksisme pasti langsung dicap sebagai feminis, yang kemudian mengakibatkan citra dari gerakan makin terpuruk.
Kedua, komentar dan kecaman dalam bentuk sarkasme dan kata-kata kasar ini memang menutupi tujuan mulia dari gerakan feminisme, yaitu kesetaraan sosial antara pria dan wanita. Menurut Kristi, semua orang --feminis atau bukan-- memang harus berhati-hati dalam berkomentar di media sosial. Di satu sisi, ia mengerti bahwa bagi banyak wanita feminis atau orang yang melihat dunia dalam perspektif gender, segala bentuk seksisme yang merugikan wanita itu memang ada di mana-mana. Dari yang biasa seperti gambar di kemeja, sampai yang luar biasa seperti tes keperawanan untuk calon polwan.
“Marah itu wajar. Tapi, bagaimana kita menyalurkan kemarahan ini yang menjadi persoalan. Karena, tanpa strategi yang baik, kemarahan ini justru bisa menjadi bumerang dan tidak akan membuahkan hasil apa-apa,” ujarnya.(PRIMARITA S.SMITA)