Rizka Halida, dosen psikologi sosial Universitas Indonesia, menyebutkan, berbagai sifat dan kondisi menyebabkan flaming di online bisa menjadi sangat seru, namun juga mudah expired dan dilupakan orang. Karena itu, perlu ada latihan dan dukungan juga dari lingkungan agar kita bisa membedakan mana ruang privat dan mana ruang publik, dan bertingkah laku sesuai dengan ruang di mana kita berada.
“Karena sebagian besar tempat kita beraktivitas dan sumber daya yang kita gunakan adalah milik publik, maka latihan tersebut menjadi penting. Berada di ruang publik memerlukan kontrol diri, yang berbasis kepentingan publik tentunya, bukan hanya karena takut dihukum atau terkena sanksi dari komunitas saja,’ kata Rizka.
Akun dan smartphone kita mungkin milik kita pribadi, tapi internet kan milik publik. Karena itu, sekali kita mengunggah sesuatu, maka akan terbaca oleh publik yang sangat beragam, dan berefek pada mereka. “Di sinilah perlu kematangan untuk menyadari hal itu,’ jelas Rizka.
Meski masih banyak kritik, undang-undang juga menjamin seseorang untuk mengajukan tuntutan hukum bila merasa diperlakukan tidak baik di ranah online. “Memang perlu adanya hukum yang digunakan untuk menjaga, meski harus diakui bahwa hukum yang sekarang berlaku (UU ITE-red) masih sangat general mengaturnya sehingga bisa disalahgunakan untuk menjebak seseorang berdasarkan like dan dislike,” ujar Abang Edwin Syarif Agustin, konsultan media sosial.
Namun, karena UU tersebut berlaku, para haters juga harus sadar bahwa apa pun tindakannya bisa menyeretnya ke penjara. Kalau sudah sampai begini, ketikanmu pun akan menjadi penjaramu, bukan?