F (Femina): Menurut Anda, apa yang paling menarik dari jajanan kaki lima di Indonesia?
WM (Will Meyrick): Seperti jajanan kaki lima pada umumnya, ini merupakan alat untuk mengenal budaya dan orang-orang sekitarnya. Khususnya di Indonesia, perpaduan cita rasa asli lokal dengan pengaruh budaya Belanda, Tiongkok, dan Arab menunjukkan secara jelas kekayaan dan popularitas Indonesia sebagai jalur perdagangan rempah di masa lalu.
F: Bila dibandingkan dengan negara Asia Tenggara yang lain, apa perbedaan dan juga persamaan jajanan kaki lima Indonesia?
WM: Agama dan sejarah memiliki pengaruh yang besar dalam kecenderungan makanan seseorang. Di Vietnam, Kamboja, atau Thailand menggunakan lebih banyak tanaman herbal di dalam makanannya yang memiliki pengaruh agama Buddha, sementara makanan Indonesia banyak dipengaruhi oleh budaya Muslim dan masakan Arab. Perbedaannya dapat dilihat dari bumbu. Masakan Indonesia tidak memiliki banyak pengaruh bumbu seperti kecap ikan bila dibandingkan dengan negara asia yang lain.
F: Apa jajanan kaki lima Indonesia favorit Anda?
F: Apa yang bisa dilakukan oleh penjaja makanan kaki lima untuk menarik minat turis asing untuk mencoba makanan kaki lima?
WM: Menurut saya, tidak banyak dari pedagang kaki lima mampu menjajakannya langsung kepada turis asing. Oleh karena itu, lembaga pemerintahan dan pencinta street food seperti sayalah yang harus mengambil bagian dalam memperkenalkan makanan dengan berbagi pengalaman, kisah orang yang membuatnya, budaya yang mempengaruhinya, dan bahan yang ada di dalamnya melalui media yang ada.
F: Jajanan kaki lima yang paling aneh yang pernah dicoba? Dan yang tidak akan pernah Anda coba?
WM: Di Manado, saya pernah makan tikus sawah dan kelelawar, yang kelihatannya tidak terlalu menyenangkan untuk dimakan. Akan tetapi untuk saya sendiri, ini merupakan cara saya berkomunikasi dan mengenal orang-orang sekitar makanan tersebut. Sejauh ini, belum ada makanan yang secara khusus tidak akan saya coba.
Theofilia Bangun
Foto: Dok. Femina Group