Hidup di perkotaan yang sibuk mendorong orang mencari pemenuhan kebutuhan pangan sepraktis mungkin. Jika dulu orang masih sempat menyiapkan masakan sendiri yang bahan-bahannya mungkin diambil dari kebun sendiri, kini banyak yang bergantung pada makanan yang dibeli di restoran, katering, atau makanan siap saji.
KIAN BERKEMBANG
Data The Centers for Disease Control and Prevention tahun 2010 menunjukkan, 48 juta orang di Amerika keracunan makanan, 128.000 dirawat di rumah sakit, dan 3.000 orang meninggal tiap tahunnya akibat kandungan berbahaya dalam makanan yang mereka konsumsi.
Jika di negara maju seperti Amerika saja angka kasus keracunan makanan begitu tinggi, apalagi di negara berkembang yang standar keamanan makanannya lebih rendah. Sejauh ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencatat, di tahun 2011 ada 18.000 lebih kasus keracunan makanan di Indonesia, membuat 7.000 orang dirawat di rumah sakit dan 11 meninggal dunia. Angka aktual pastinya jauh lebih tinggi lagi karena masih banyak kasus yang tak tercatat.
Yang menyedihkan, sebanyak 35% kasus keracunan makanan menimpa anak usia SD. Sepanjang tahun 2006-2010, BPOM menemukan 44% jajanan anak sekolah tidak memenuhi syarat keamanan pangan. Industri rumah tangga pembuat jajanan anak sering mencampurkan formalin, boraks, dan zat pewarna tekstil pada produk mereka. Dalam jangka panjang, tumpukan zat kimia dalam tubuh dapat menyebabkan kanker.
Selain kontaminasi bahan kimia, keracunan makanan juga bisa disebabkan oleh pengolahan yang tak higienis sehingga pangan tercemar mikroba yang bisa mengakibatkan sakit perut, muntah, pusing, atau diare akut. Kontaminasi akibat faktor biologi menyumbang 90% kasus keracunan makanan. Sisanya karena faktor kimia dan fisika.
Jika ahli pangan menguasai seluruh pengetahuan terkait pangan mulai dari pengetahuan tentang bahan baku pangan, proses pengolahan, penyimpanan, nutrisi, hingga keamanan makanan, maka cakupan food safety specialist lebih sempit. “Biasanya, tanggung jawab mereka sebatas keamanan bahan mentah saat diterima hingga tersaji di meja makan,” kata food safety specialist Wida Winarno Ahnan. Walau demikian, pengetahuan bahan makanan mulai dari pembibitan hingga saat packing atau tersaji di meja makan wajib diketahui seorang food safety specialist.
Profesi ini mulai ‘naik daun’ di dunia sejak ditetapkannya kebijakan peraturan pengamanan keamanan tahun ‘80-an. Di Indonesia, kesadaran untuk menerapkan sistem keamanan makanan baru tumbuh tahun 2005.
“Hanya, titel profesi food safety specialist di Indonesia baru eksis di dunia kerja sejak 2-3 tahun belakangan saja. Sebelumnya, keamanan makanan dikontrol oleh orang-orang yang menyandang titel sebagai auditor, assessor, atau di hotel istilahnya hygiene sanitation manager. Nah, food safety specialist merupakan gabungan seluruh keahlian ini,” jelas Wida.
Kebutuhan tenaga food safety specialist pastinya akan meningkat seiring dengan pesatnya pertumbuhan penduduk. Diperkirakan pada tahun 2020 nanti penduduk Indonesia akan melonjak hingga mencapai 260 juta jiwa. “Masyarakat makin cerdas dan mereka menuntut pangan yang memadai, baik dilihat dari segi harga, kualitas, maupun keamanan,” ujar Wida.
Karier di bidang keamanan pangan juga dipastikan akan makin terbuka luas di tahun-tahun mendatang, mengingat tahun 2015 nanti akan diberlakukan ASEAN Free Trade (AFTA) dan ASEAN Economic Community (AEC).
“Akan ada banyak peraturan mengenai keamanan makanan sebagai barrier perdagangan yang diberlakukan di seluruh Asia. Tentunya pelaku usaha tak mau kehilangan kesempatan dalam perdagangan lintas negara dengan mengupayakan standar keamanan produksi pangannya memenuhi persyaratan internasional,” tambah Wida. Jadi, peran food safety specialist amatlah penting dalam memasok produk pangan yang dapat bersaing di pasar global. (Reynette Fausto)