Travel
Bertandang ke Negeri Revolusi

28 Oct 2011

Angin sejuk dari Teluk Florida bertiup di sepanjang Pantai Maleçon, ketika saya, Veronika Kusumaryati, memasuki Havana di awal bulan Desember. Matahari bersinar menghangatkan awal musim dingin yang datang agak terlambat. Di beberapa sudut jalan, tampak berbagai poster dan graffiti bergambar Fidel Castro ataupun Che Guevara. Dua ikon revolusi Kuba ini terpampang di depan gedung-gedung tua di ibu kota negara tercantik di Karibia ini.
 
Gedung Tua di Old Havana

Bagi banyak orang, Kuba identik dengan kata revolusioner, rezim komunis, dan Fidel Castro. Namun, banyak orang tak sadar bahwa Kuba merupakan salah satu kota di Amerika Latin yang sangat Barat, yang akan selalu mengingatkan kita pada kota-kota maju di Eropa, semacam Paris atau London. Selain mewarisi tata kota Eropa, Havana merupakan salah satu kota yang kaya dengan arsitektur klasik. Perkembangan kebudayaan, terutama seni, sangat pesat. Setiap tahun, berbagai festival seni, mulai dari seni tari, biennale seni rupa, festival film, seni musik (seperti festival gitar, hip hop, hingga disko) dan teater digelar di sini.

Salah satu yang menarik perhatian saya dari kota ini adalah arsitektur. Di kawasan La Habana Vieja atau Old Havana, selain gedung-gedung yang menyimpan sejarah gerakan revolusi Kuba tahun 1959, seperti Plaza de la Revolucion, ada pula gedung buatan abad ke-16 hingga ke-20. Saya berhenti di Katedral de San Christobal yang dibangun pada abad ke-18 dengan gaya barok. Katedral ini dibangun oleh para Jesuit pada tahun 1748 dan didedikasikan untuk Santo Christobal.

Tak jauh dari situ, terlihat gedung Capitolio yang dibangun pemerintah kolonial Amerika Serikat pada 1926-1929. Arsitekturnya tampak meniru gaya neo-klasik Capitol Hill di Washington DC dan juga Panthéon di Paris. Rasanya, belum lengkap menginjakkan kaki di Havana, jika tidak singgah di gedung yang hingga  tahun 1950 menjadi bangunan tertinggi dan menjadi salah satu ikon lanskap Kota Havana ini. “Oh, begini rupanya istana presiden hingga tahun 1959 ketika terjadi revolusi komunis,” gumam saya.

Di sebelah Capitol Hill, saya menemukan sebuah hotel bernama Inglaterra, yang berarsitektur barok. Hotel ini dibangun tahun 1875 dan merupakan hotel paling tua di Kuba. Dengan jendela-jendela kaca yang besar, mozaik warna-warni, dihias tulisan dan lambang Spanyol, serta detail ukir-ukiran yang rumit, hotel ini dipenuhi beberapa pelancong yang menginginkan akses ke dekat kota. Di sekitar hotel ini, banyak kafe yang dipenuhi turis dan Habaneros yang ingin hang out.

Tempat lain yang menjadi daftar wajib untuk dikunjungi adalah Hotel Nacional de Cuba yang sangat bersejarah. Dibuka tahun 1930, Hotel Nacional menjadi tempat penginapan tokoh-tokoh politik terkenal, salah satunya Winston Churcill. Bahkan, tokoh-tokoh mafia pun pernah menyinggahinya. Saya teringat film The Godfather II yang pernah saya tonton, salah satu lokasi syutingnya berada di hotel ini. Memasuki hotel yang bangunannya menyerupai istana yang telah ditinggalkan bertahun-tahun ini, membuat saya serasa berada di setting film klasik era ‘hitam-putih’.

Kala senja menjelang, tampak para Habaneros (sebutan untuk warga Havana) menuju ke arah pantai timur Havana. Mereka mengarah ke Benteng El Morro. Karena tak tahu apa yang akan mereka lakukan, saya pun tak mau ketinggalan dan segera mengikuti arus.

El Morro dirancang oleh Juan Bautista Antonelli dan dibangun tahun  1589-1630 oleh para budak. Strukturnya yang langsung menghadap laut, dengan ceruk-ceruk tempat bersembunyi dan kamar-kamar untuk para tentara, merupakan tempat yang tepat untuk menghadapi serangan tentara luar. Kini, dengan perawatan yang luar biasa mengagumkan, benteng dan menara cahaya El Morro menjadi tempat persinggahan Habaneros yang ingin bermain sepak bola, berpiknik, atau sekadar menikmati sunset. (f)
 

Seni Kontemporer

Meski tidak bisa dikatakan sebagai negeri kaya (pendapatan per kapita hanya 996 dolar AS), orang Kuba, terutama Habaneros, merupakan orang-orang yang berpendidikan baik, dengan tingkat apresiasi seni yang sangat bagus. Sistem pendidikan di Kuba memungkinkan semua orang belajar di sekolah bahkan hingga tingkat doktoral, tanpa harus membayar sepeser pun!

Menilik sejarahnya, Kuba merupakan percampuran antara warga kulit putih dari Eropa (Spanyol) yang datang pada masa awal penjelajahan samudra, dan mantan-mantan budak yang diperdagangkan pada abad ke-15. Tak heran, Kuba memiliki percampuran kebudayaan yang sangat khas dan menarik.

Salah satu agenda wajib saya adalah wisata seni. Havana memiliki banyak museum dan galeri seni yang cukup besar. Museo de Bellas Artes, misalnya, memiliki dua kompleks besar yang didedikasikan untuk seni modern dan kontemporer Kuba maupun internasional. Jumlah koleksinya hampir 100.000, baik dari seniman Kuba maupun dari Amerika Latin dan bahkan Eropa. Sungguh sebuah pengalaman yang memperkaya batin bisa menyaksikan karya seni yang dipajang di sini.



Terlihat, museum ini dikelola negara dengan cukup profesional, dengan standar display dan estetika yang tak kalah dari museum-museum besar di Amerika Utara dan Eropa.

Seni kontemporer cukup berkembang di Kuba. Hal ini terlihat dengan adanya biennale dan galeri-galeri komersial yang jumlahnya mencapai puluhan. Salah satu yang menarik adalah Centro de Arte Contemporãneo Wilfredo Lam, yang didirikan oleh artis terkenal Kuba, Wilfredo Lam. Berlokasi tak jauh dari Plaza de la Catedral, galeri ini berupa bangunan dari abad ke-18 yang konon pernah menjadi kediaman bangsawan Counts of Peñalver. (f)



Dari bioskop ke bioskop

Selain ke museum, saya juga sempat datang ke festival film. Saya beruntung menyaksikan hajatan film terbesar di Amerika Latin, Festival Internaciona del Nuevo Cine Latinoamericano. Ratusan film dari berbagai negara beradu kualitas untuk memperebutkan penghargaan Coral dan tentu saja, berebut perhatian masyarakat Kuba yang sangat cinta film.

Selama 10 hari penyelenggaraan festival, seluruh bioskop di Havana berpartisipasi dengan memutar 110 film dari 17 negara. Festival juga memutar 170 film dari kawasan Amerika Latin, di antaranya, Kuba, Brasil, Argentina, Meksiko, dan Colombia.

Berbeda dari mitos-mitos yang selama ini beredar, film-film Kuba sebenarnya sangat beragam, tidak hanya film seni yang serius atau film yang menggambarkan perjuangan khas negeri komunis. Saya banyak menonton film Kuba, yang umumnya bergenre komedi atau film melodrama keluarga ala telenovela. Ada juga film horor. Dan, film yang saya tonton tanpa subtitel bahasa Inggris!

Advertisement
Dibanding film Indonesia, film Kuba secara teknis terlihat lebih berkualitas, dengan standar gambar dan suara yang bagus. Namun, dari segi cerita, sebenarnya tidak jauh beda. Hal yang paling menyenangkan dari dunia film Kuba adalah penontonnya yang sangat apresiatif. Mereka sangat mencintai film dan bioskop. Tak heran, festival film tetap disambut dengan sukacita.

Selama festival, hampir semua bioskop di Havana dipenuhi penonton. Bahkan, tak sedikit orang rela meliburkan hari kerjanya selama seminggu hanya untuk menonton festival! Mereka yang ingin menonton, rela antre hingga sepanjang 1 km. Seluruh kegiatan kebudayaan terpusat di bioskop. Gedung-gedung teater sepi. Pertunjukan-pertunjukan musik berhenti. Bar-bar tak banyak diisi orang.

Yang unik, bioskop-bioskop di Havana biasanya berukuran raksasa, dengan jumlah kursi minimum 500. Saya datang ke bioskop terbaik di Havana bernama Chaplin (Cinemateca de Cuba) yang terletak di Vedado, yang kapasitas tempat duduknya lebih dari 700 kursi. Hari berikutnya, saya datang ke bioskop Payret di kawasan La Habana Vieja. Saya tercengang dengan statistik tempat duduk yang mencapai 1.000 kursi!



Tak ada istilah sinepleks di perfilman Kuba. Setiap bioskop berdiri sendiri dan terdiri dari satu studio. Tidak seperti di Jakarta, satu bioskop ada yang sampai punya lebih dari 10 studio. Meski demikian, di Vedado terdapat deretan bioskop yang berada dalam satu jalan. Hal lain yang berbeda dari Jakarta, walaupun ada shopping mall, gedung bioskop di sini selalu terpisah dari pusat perbelanjaan atau bahkan kafe.

Di bioskop-bioskop yang saya singgahi, tak ada satu pun resto fast food. Yang ada, penjual pop corn, kacang, dan kerupuk dengan kios ‘berjalan’ yang mangkal seenaknya di depan pintu masuk bioskop. Harga satu bungkus makanan, rata-rata kurang dari 1 CUC (Rp7200). Selain sebagai tempat hiburan, warga juga menganggap bioskop sebagai tempat berkumpul. Tak ada istilah malu untuk makan dan minum, ngobrol, berteriak, tepuk tangan, menangis atau tertawa selama menonton film di dalam bioskop. Berada di dalam bioskop di Havana benar-benar pengalaman yang seru! (f)



Manjúas, Cokelat & Mojito

Tak ketinggalan, saya menyantap manjúas, jenis ikan yang ada di Kuba. Restoran El Templete di Avenida del Puerto yang saya datangi ini merupakan salah satu restoran fancy yang terbaik di Kuba, selain La Divina Pastora yang merupakan salah satu spot paling romantis di Havana. Resto ini terletak di dekat pelabuhan. Pastikan Anda duduk di samping jendela, sehingga bisa melihat hiruk pikuk pemandangan pelabuhan, kapal, dan debur ombak pantai. El Templete terkenal karena sajian seafood segarnya.

Sebagai penggila cokelat, saya bisa katakan, tak ada kue dan minuman berkandungan cokelat selezat di Museo del Chocolate. Tak heran, tempat ini menjadi tempat tujuan para penggila cokelat. Sebenarnya, tempat ini lebih tepat dibilang kafe ketimbang museum. Walaupun untuk menikmati itu semua harus antre di kasir selama 15 menit, kerepotan terbayar dengan secangkir cokelat panas dan kue-kuenya yang lezat. Serasa berada di pabrik cokelat. Yummy!

Karena tak punya banyak waktu, saya tidak sempat mampir ke El Floridita yang terletak di La Habana Vieja. Sebuah bar dengan pelanggan setia, penulis besar Ernest Hemingway. Tapi, tentunya saya tak melewatkan kesempatan untuk mengabadikan tempat ini lewat foto dari depan. Kabarnya, Ernest merayakan pernikahannya juga di bar tersebut.



Bagi Anda penyuka minuman mojito dan rum, akan menemukan surga di Havana. Salah satu jenis rum yang pertama diproduksi di dunia, bacardi, pernah sangat populer di Kuba. Kini, rum favorit di Kuba adalah Havana Club, yang bisa ditemui di mana saja. Jika penasaran ingin melihat sejarah pengolahan rum tradisional, sekaligus membeli rum yang bagus, Museo del Ron Havana Club merupakan tempat yang tepat.

Untuk belanja pernak-pernik khas Kuba, saya pergi ke Plaza de Armas, semacam alun-alun atau taman kota. Ternyata, di tempat ini banyak terdapat lapak-lapak yang menjual buku lama dan langka. Ada pula lapak yang menjual pin-pin zaman revolusi, beragam merchandise bergambar Che Guevara ataupun Fidel Castro. Tak lupa, saya pergi ke toko Centro Cultural Cinematogrãfico di Vedado untuk membeli poster-poster film Kuba yang sangat artistik. Kebetulan saya memang hobi mengoleksi poster film dari seluruh dunia. (f)





Tip


1. Masyarakat Kuba menggunakan bahasa Spanyol untuk berkomunikasi.

2. Mata uang yang berlaku adalah CUC dan peso (1 CUC =24 peso, 1 CUC = 0,8 dolar AS = Rp7.200). Untuk wisatawan asing biasanya menggunakan CUC.

3. Havana bisa dicapai dengan penerbangan langsung dari Paris atau Amsterdam. Karena embargo ekonomi yang masih diterapkan Amerika Serikat, penerbangan dari kota-kota di Amerika Utara hanya bisa dilakukan via Kanada, Meksiko, atau Kepulauan Bahama.

Veronika Kusumaryati (Kontributor - Jakarta)
Foto: Dok. pribadi




 



polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?