Parade Topeng
Bus yang saya tumpangi berhenti di lapangan luas Piazalle Roma. Semua orang, kecuali saya, turun dengan yakin dan berhamburan ke segala arah. Ratusan orang berbondong-bondong berjalan menuju jembatan melengkung yang menanjak dan menjulang. Biasanya, ke mana orang paling banyak pergi, ke sanalah kita harus pergi, karena biasanya di sanalah pusat hal yang menarik.
Saya merapatkan mantel dan mulai berjalan mengikuti orang-orang dan menaiki jembatan melengkung raksasa tersebut. Sisa-sisa es putih banyak bertaburan di aspal. Di lengkungan jembatan yang paling tinggi, saya menganga takjub melepas pandang. Sebuah kanal besar yang ramai dengan gondola, vaporetto (water bus), serta kubah hijau raksasa dari Gereja San Simeone Piccolo di kejauhan, terhampar di depan mata.
Di balik jembatan itu, terhampar lapangan luas yang penuh dengan perias wajah karnaval menanti. Mereka mengenakan kostum bangsawan abad pertengahan dengan rias wajah yang fantastis, dan menggelar meja yang penuh dengan peralatan rias. Sambil berdiri menunjukkan album foto yang terbuka, dengan berbagai ide riasan wajah, mereka menegur para pendatang. Saya hanya tersenyum menjawab tegur sapa mereka dan segera menuju ke pusat informasi.
Ketika malam tiba, walaupun gerimis dan udara membeku, saya memaksakan diri mengunjungi lagi Piazza San Marco. Benar saja, Piazza San Marco bermandikan sinar malam itu. Ini adalah Jumat Malam dan orang-orang mulai memenuhi lapangan luas memamerkan kostumnya di depan kemegahan Bassilica di San Marco.
Panggung musik didirikan di lapangan luas, di depan gereja katedral dengan arsitektur Italo-Byzantine itu. Tapi, mereka tampak tidak terlalu memedulikan musiknya. Mereka lebih tertarik untuk memamerkan kostum dan membiarkan orang-orang memotret dengan berbagai pose. Menelusuri gang-gang di sekitar Piazza San Marco, sering kali saya tanpa sengaja berpapasan dengan putri-putri dan pangeran-pangeran abad pertengahan yang sedang berdiri menikmati es krim di udara dingin itu.
Tradisi Carnavale di Venezia dimulai setelah tahun 1162. Waktu itu Republik Venesia mengalahkan Ulrich II von Treven dari Aquileia dan penduduk Venesia merayakannya dengan memotong sapi dan 12 ekor babi di sekitar Piazza San Marco. Tahun 1930, karnaval ini sempat dilarang oleh Benito Mussolini, tapi mulai diselenggarakan lagi tahun 1979.
Kini, acara yang berakhir sekitar 40 hari sebelum Paskah ini dinanti-nantikan para seniman dari seluruh dunia untuk menebarkan pesona, sembari memamerkan hasil kreasi kostum dan topengnya. Orang yang mengenakan kostum yang dihentikan di jalan oleh para fotografer akan merasa bangga dan dengan senang hati berpose dan bergaya sebaik-baiknya.
Tempat penyeberangan Vaporetti juga tampak penuh dengan orang yang memakai kostum aneka rupa. Suasana di sekitar Piazza San Marco jadi lebih meriah. Kios-kios berjajar di sepanjang jalan menjajakan kreasi topeng yang indah-indah. Rasanya hanya ada tiga jenis orang di sana saat itu: mereka yang mengenakan kostum lengkap plus topeng, turis-turis yang merasa berdosa karena tidak mengenakan kostum lalu membeli topeng di pinggir jalan, dan para pehobi foto dengan kamera berlensa besar-besar tergantung di dada.
Diam-diam saya memperhatikan seorang pemuda yang asyik mencoba model topeng Medico della Peste (dokter penyakit menular) yang memiliki paruh panjang, mengikuti bentuk masker dokter abad ke-17. Masker itu diciptakan oleh dokter Prancis, Charles de Lorme, untuk dipakai ketika mengobati pasien-pasien penyakit menular. Dipercaya, kuman penyakit akan lebih susah masuk dari lubang yang kecil dan jauh dari hidung.
Jembatan Saksi Bisu
Cara yang paling baik menyusuri Venesia sebenarnya adalah dengan berjalan kaki. Ingin menjauhi keramaian turis, saya menyusuri kanal-kanal yang sepi dan duduk bersama penduduk lokal dan menikmati matahari sore di pantai yang tenang.
Venesia di luar jalur turis mengingatkan saya pada kampung nelayan pada umumnya. Bangunan tua kuning kusam bertingkat begitu mepet dengan tepi kanal tanpa halaman dan tanaman hijau. Gang-gang sempit berbatu-batu yang sepi dihiasi bunga-bunga merah menjuntai dari pagar dan balkon berukir. Berbeda dengan kampung nelayan di Indonesia, suasana Venesia terasa sepi. Mungkin karena udara yang dingin di musim dingin memaksa penduduk bersembunyi mencari kehangatan di dalam rumah.
Dari Ponte dell’Accademia, salah satu jembatan populer di sana, saya berjalan menuju Squero di San Trovaso, satu dari tiga tempat yang tersisa untuk pembuatan dan perbaikan gondola. Dulu ada 10.000 gondola, dan saat ini hanya tersisa 350 buah. Konon, desain gondola dulu makin lama makin norak, sehingga pada abad ke-16 keluarlah peraturan bahwa gondola-gondola tersebut harus dicat hitam dengan sedikit ornamen keemasan.
Di San Polo Sestiere dekat gereja tua nan megah mata saya tertumbuk pada suatu bangunan yang bertuliskan: Museo della Musica atau Museum Musik. Italia memang terkenal dengan biola Cremona. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya saya berkesempatan menjenguk museum tempat pembuatan alat-alat musik yang memiliki peran penting dalam sejarah musik klasik. Di sana, terdapat juga berbagai informasi mengenai kehidupan Antonio Vivaldi, komponis besar pencipta komposisi Four Seasons. Gereja sekaligus rumah yatim piatu tempat Vivaldi bekerja menciptakan komposisi-komposisinya juga masih ada di Venesia.
Museum ini berinterior hangat dan ramah. Yang bukan pencinta musik klasik rata-rata hanya melihat ke kanan-kiri, berputar cepat mengelilingi museum dan segera keluar. Tapi, para pemusik dan pencinta musik akan membaca tiap display dengan saksama, terlibat diskusi dengan penjaga atau sesama musikus atau pencinta musik klasik lainnya. Suasananya seperti sedang rehat di antara konser. Di sini para pemusik dari seluruh penjuru dunia menemukan surganya.
Selain ‘surga’ musik, Venesia juga memiliki surga belanja, yaitu Ponte di Rialto. Harga suvenir di jembatan kayu ini lebih murah daripada di pusat turis San Marco. Di atas Jembatan Rialto terdapat 3 jalan. Satu jalan di tengah yang dipenuhi toko-toko, dan dua jalan di sisi-sisi jembatan tersebut. Di sisi timur jembatan terdapat toko dan restoran, sedangkan di sisi barat terdapat kedai hasil tanaman para petani.
Jembatan Rialto selalu penuh dengan turis yang berdiri menikmati pemandangan Canal Grande. Di sini, selalu saja ada pasangan turis yang berusaha keras menembus kerumunan untuk mendeklarasikan cintanya. Ketika berhasil mencapai tengah jembatan, mereka terlihat lega, memandang lepas ke kejauhan, lalu berpelukan dan berciuman merayakan cinta mereka di kota indah Venesia.
Di Balik Topeng Venesia
Topeng yang dipakai dalam Carnavale di Venezia bermacam jenisnya. Dulu, orang memakai jenis topeng tertentu sesuai dengan profesinya. Kini, semua topeng bisa dipakai siapa saja.
- Bauta: Topeng berhidung runcing yang dulu harus dipakai rakyat ketika bermusyawarah.
- Columbina: Topeng separuh wajah dengan tongkat atau pita pengikat. Ada yang bilang ini versi wanita dari bauta.
- Medico della peste: Topeng berparuh panjang yang dulu dipakai para dokter untuk menghindari penyakit menular.
- Moretta: Topeng berlubang mata besar tanpa lubang hidung dan mulut, yang dulu dipakai para wanita aristokrat.
- Volto: Topeng dengan warna putih serta lekukan hidung dan mulut. Topeng ini adalah yang paling populer di zaman modern.
Makan Pasta sambil Berdiri
Satu hidangan yang tidak boleh dilewatkan saat berkunjung ke Venesia adalah nero di sepia (pasta cumi-cumi hitam). Harga sepiring nero di seppia rata-rata 12 - 22 euro. Hidangan khas ini punya berbagai nama, antara lain nella sepia (dalam cumi-cumi) atau alla sepia (dalam gaya cumi-cumi). Tinta cumi-cumi yang hitam itu diolah menjadi saus untuk nasi, pasta, atau polenta (jagung). Meskipun penampakannya hitam mengerikan, rasanya enak sekali!
Warga Venesia biasanya makan siang di restoran sambil berdiri. Jika kita ingin duduk, kita akan diminta untuk membeli minuman yang biasanya tidak murah. Makin murah makanannya, biasanya makin mahal harga minumannya. Minum di kafe sambil berdiri juga adalah cara para turis untuk bisa mempergunakan toilet, karena tarif toilet umum adalah 1,5 euro, sedangkan segelas kopi bisa hanya 1 euro saja.
TIP
1. Hindari Venesia di bulan Oktober-Januari karena kemungkinan banjir lebih besar dibanding bulan-bulan lain.
2. Tarif toilet umum adalah 1,5 euro (sekitar Rp20.000) sekali masuk. Lebih baik masuk ke kafe dan membeli kopi di sana sambil menghangatkan badan untuk meminjam toiletnya.
3. Jika kita menginap di sekitar Canal Grande, kita harus naik vaporetto untuk ke stasiun bus menuju bandara. Biasanya kita harus mengantre vaporetto jika turis terlalu banyak. Menginap di area Venesia Mestre lebih murah dan lebih mudah jika kita terburu-buru ke bandara.
4. Agar bebas menjelajahi pulau-pulau di Venesia, belilah pass atau tiket terusan, sehingga kita bisa keliling Venesia dengan vaporetto, tram, dan bus sepuasnya tanpa harus membayar lagi. Pass yang ada terdiri dari tiket 24 jam (20 euro), 48 jam (30 euro), 72 jam (35 euro), dan 7 hari (50 euro). Pass tersebut dapat dibeli online di www.veneziaunica.it.
5. Jika kita juga ingin masuk ke museum-museumnya, kita bisa membeli Venezia Card yang pilihannya bermacam-macam dan bisa dilihat di www.hellovenezia.it.(f)