Trending Topic
Antara Academy Awards dan Golden Globe

4 Feb 2016

Advertisement
 
“Jujur  saja, saya enggak begitu peduli sama Oscar, selera juri sering payah!” ujar seorang editor film senior. Kalimat ini berulang kali ia katakan di  tiap pesta sinema terbesar di Amerika Serikat itu digelar. Ia mengungkap pendapatnya di aneka media sosial jangkauannya untuk menunjukkan betapa Oscar baginya bukanlah sebuah ajang festival film yang sesungguhnya. Di satu sisi ia benar, karena Academy Awards, suka tak suka, dipilih berdasarkan selera para anggota akademi yang jumlahnya ribuan dan sifatnya nyaris selalu subjektif.
 
Tiap festival selalu memiliki rohnya sendiri, demikian juga Academy Awards atau Oscar yang digelar pertama kali pada tahun 1927. Ia adalah gambaran situasi terkini resepsi masyarakat Amerika Serikat terhadap sinema yang beredar di negeri mereka. Para anggota Academy sendiri dipilih dari nama-nama yang disegani di bidangnya masing-masing. Mulai dari para cendekia, seniman, bahkan ilmuwan bisa duduk di kursi anggota. Ini yang konon membuat situasi pemilihan menjadi selalu ketat dan kompetitif.
 
Usia dewasa yang dimiliki oleh pergelaran itu sendiri membuat situasi menjadi menarik. Para unggulan, dengan segala cara yang diperbolehkan, selalu berusaha ‘memengaruhi’ para juri yang praktis mereka sendiri belum tentu tahu siapa-siapa saja tepatnya anggotanya.
 
Misalnya, media-media besar di musim Oscar akan dibanjiri oleh invasi para unggulan. Rumah produksi dan produser akan menyediakan dana khusus untuk membanjiri segala dimensi media untuk memberi kesan produk yang mereka buat jadi sangat populer. Aneka produk akan menjejalkan pula banner-banner raksasa yang memuat wajah para aktor, aktris, film itu sendiri, atau bahkan sutradara ternama yang tengah bersaing.
 
Rumah mode akan dengan ‘sukarela’ bekerja sama dengan rumah produksi untuk mendandani segala nama pada daftar unggulan --elemen apa pun-- dengan produk terkini mereka. Pemunculan para seniman lakon dan sineas ini di publik pun menjadi sedap dipandang mata dan menjadi bagian dari tontonan di musim Oscar. Lalu kita, para penggemar film, akan bersama-sama meramalkan siapa yang akan memenangkan elemen kategori apa pada ajang Oscar terkini itu, bahkan walau kita belum menonton film tersebut atau lebih jauh lagi, tidak mengenal nama dari pelaku sinema itu sebelumnya.
 
Film adalah industri nomor 2 di Amerika Serikat. Popularitas serta nilai investasi yang dilakukan bahkan bisa melampaui apa yang ditanamkan dan kerjakan oleh industri telekomunikasi di negara tersebut. Membandingkannya dengan Indonesia seperti membandingkan batas nirwana dengan ujung sumur gelap di belakang rumah bapak petani penggarap. 
 
Pada sebuah film blockbuster, seperti Star Wars, The Force Awakens (2015) mereka bisa mengeluarkan dana sebesar 200 juta  dolar AS atau   sekitar 2,6 triliun rupiah pada kurs mata uang kita saat ini. Sementara kita mungkin sudah berhasil membangun 3 sampai 5 atau bahkan 20 jembatan antarpulau kecil di Kabupaten Penajam dengan dana sebesar itu ketimbang dipakai untuk memproduksi film.
 
Dengan sikap dan kekuatan sebesar ini, jangan heran jika American Beauty (1999) yang mungkin ‘hanya’ berdana produksi sebesar 15 juta dolar AS, tapi memiliki dana promosi khusus yang bisa lebih besar dari angka produksi  di kala peluang mereka memenangkan berbagai penghargaan di ajang Oscar tahun itu sangat besar. Berlabel pemenang Oscar jelas menjadikan film memiliki daya jual lebih besar, pasar lokal Amerika Serikat yang praktis kuat siap menyerap sebuah film pemenang. Jadi, jika pun American Beauty tidak mampu mencetak hit di luar negeri Paman Sam, ia sudah meraup angka kotor 356,3 juta dolar AS.
 
Para pelakunya pun demikian. Tak banyak yang mengenal Stephen Gaghan sebelum ia secara telak mampu memenangkan Oscar kategori Penulisan Cerita pada tahun 2000 lewat Traffic. Film yang kemudian mendadak diperhatikan oleh pasar dan industri itu sendiri melontarkan Stephen menjadi salah satu penulis skenario termahal di Amerika Serikat saat itu. Juga dengan banyak nama lain yang sering secara tak terduga bisa memenangkan penghargaan. Halle Berry lewat Monster’s Ball (2001), misalnya.
 
Namun, industri sinema di Amerika Serikat praktis sadar bahwa The Academy Awards tak boleh dibiarkan berjalan sendirian. Ia butuh sekondan yang sesuai, ia tak mesti menjadi kompetitor dalam aspek apa pun, karena dengan sebuah pembanding, maka Academy Awards akan bisa  makin kuat.(f)
 



 



polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?