Trending Topic
Stigma, Buntut COVID-19 Yang Bisa Merugikan

4 Apr 2020

Foto: shutterstock

Salah satu hal negatif yang terjadi dalam masa pandemi COVID-19 ini adalah lahirnya stigma.  Stigma yang terjadi dalam masyarakat atau sering disebut stigma sosial terkait  penyakit bisa terjadi karena tekanan dan kecemasan. Apalagi COVID-19 merupakan penyakit baru yang belum banyak dipahami, sehingga membuat semua orang takut.

Kecemasan dan ketakutan tentang penyakit COVID-19 dapat menyebabkan stigma sosial dan diskriminasi. Stigma dan diskriminasi terjadi ketika orang mengaitkan risiko penyakit dengan orang atau kelompok tertentu, atau hal tertentu, meski tak ada bukti bahwa risikonya lebih besar pada keolompok itu daripada populasi umum. 

Terkait COVID-19 ada beberapa stigma yang meliputi antara lain ras asia (oleh ras kaukasia), suku Tionghoa, xenophobioa, orang yang baru kembali atau datang dari luar negeri, tenaga kesehatan yang bekerja dirumah sakit rujukan, orang yang sedang atau telah melalui masa karantina akibat COVID-19, bahkan jenazah orang yang diduga atau positif COVID-19. 

Akibat dari stigma sosial ini tidak sedikit. Ini mendorong orang untuk menyembunyikan penyakit untuk menghindari stigma dan diskriminasi. Ketakutan ini mencegah orang untuk segera mencari perawatan kesehatan saat dibutuhkan. Akibatnya, peningkatan risiko penyebaran virus dari orang yang menyembunyikan penyakitnya.

Pengucilan atau isolasi sosial terhadap orang yang mengalami stigma dapat memberi efek buruk pada mental. Perburukan psikologis dapat menurunkan kondisi fisik pasien, bisa memperburuk keadaan yang berakibat fatal atau memperlama masa penyembuhan. Stigma menciptakan ketakutan dan kemarahan terhadap orang lain, serta berpotensi menyakiti semua orang.  

Demi mencegah stigma WHO menetapkan nama COVID-19, agar masyarakat tidak mengidentikkan penyakit ini dengan ras Tionghoa dan kota Wuhan. Penyebutan ini sangat besar pengaruhnya. Karena itu Presiden Amerika Serikat, Donald Trump dikecam saat menyebut penyakti COVID-19 sebagai Chinese virus. Ini akan mengaburkan fakta bahwa setiap orang berisiko tertular dan menularkan penyakit ini. 

Untuk mengurangi stigma terkait COVID-19 di masyarakat, UNICEF, World Health Organization (WHO), dan International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC), memberikan panduan berikut: 

Advertisement
1/ Berikan dukungan dan dorongan pada orang atau tetangga yang baru kembali dari luar negeri selama mereka melakukan isolasi diri di rumah. 

2/ Berikan dukungan dan dorongan bagi tenaga kesehatan yang berada di garda terakhir dalam perjuangan melawan COVID-19.

3/ Tenaga medis harus merawat pasien COVID-19/penyakit lainnya berdasarkan prosedur, serta  tetap menjaga diri mereka, keluarga dan orang-orang terdekat agar tetap aman.

4/ Sementara pada orang yang sedang/telah melalui karantina COVID-19, berikan dukungan simpatik dan semangat positif. Jika memungkinkan berikan dukungan hal-hal yang dibutuhkan selama karantina misalnya bahan makanan, suplemen, dan perlengkapan kebersihan.

5/ Bekali diri dengan mengetahui fakta terkait COVID-19. Misalnya, memang benar virus masih bisa menular dari tubuh pasien yang baru meninggal dunia, karena itu petugas yang mengurus mengenakan APD, dan tubuh pasien dibungkus rapat menggunakan plastik dan diletakkan dalam peti yang tidak boleh dibuka. Namun menurut WHO virus akan mati di tubuh jenazah setelah beberapa waktu.  (f)

Baca Juga:

Supaya Stres Gara-gara COVID-19 Tak Bikin Berat Meningkat
Jurus Anti Pegal Saat Kerja di Rumah
Berkebun di Rumah Bantu Redam Stres Selama Social Distancing
 



Topic

#corona, #covid19, #stigma

 



polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?