Trending Topic
Memasuki 2022, Presiden Dorong Percepatan Pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual

4 Jan 2022


Foto: Freepik


Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa perlindungan terhadap korban kekerasan seksual perlu menjadi perhatian bersama, utamanya kekerasan seksual pada perempuan yang mendesak harus segera ditangani. Untuk itu, Presiden mendorong langkah-langkah percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang hingga kini masih berproses. Hal tersebut disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam keterangannya di Istana Merdeka, Jakarta, pada Selasa, 4 Januari 2022.

"Saya mencermati dengan saksama Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, sejak dalam proses pembentukan pada tahun 2016, hingga saat ini masih berproses di DPR. Karena itu saya memerintahkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk segera melakukan koordinasi dan konsultasi dengan DPR dalam pembahasan RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini agar ada langkah-langkah percepatan," ujar Presiden.

Di samping itu, Kepala Negara juga telah meminta kepada Gugus Tugas Pemerintah yang menangani RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk segera menyiapkan Daftar Inventarisasi Masalah terhadap draf RUU yang sedang disiapkan oleh DPR RI. Dengan demikian, proses pembahasan bersama nanti lebih cepat, masuk ke pokok-pokok substansi untuk memberikan kepastian hukum, serta menjamin perlindungan bagi korban kekerasan seksual.

"Saya berharap RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini segera disahkan sehingga dapat memberikan perlindungan secara maksimal bagi korban kekerasan seksual di Tanah Air," tandasnya.

Tarik Ulur RUU TPKS

Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) kembali menjadi sorotan jelang penutupan tahun 2021. Pasalnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) batal mengesahkan RUU TPKS pada Rapat Paripurna Penutupan Masa Sidang II, pada pertengahan Desember lalu. 

Pada agenda tersebut, RUU TPKS bahkan sama sekali tidak dibahas, padahal sudah sejak lama masyarakat Indonesia menantikan titik terang dari payung hukum untuk kasus-kasus kekerasan seksual. Apalagi belakangan, ada peningkatan kasus dan semakin banyak koraban yang membutuhkan kepastian payung hukum dan perlindungan. 

Padahal sebelumnya dalam sidang tanggal 25 November 2021, Ketua DPR Puan Maharani pernah berjanji akan memperjuangkan agar RUU TPKS segera selesai demi menjamin rasa aman bagi perempuan. 

Kegagal RUU TPKS menjadi bahasan di rapat paripurna akhir tahun lalu mendapat kecaman dari berbagai pihak. Sejumlah kelompok juga bersatu menggelar berbagai aksi guna meminta DPR segera mengesahkan RUU ini.  

Pasalnya, kasus-kasus kekerasan belakangan marak muncul ke publik, bahkan di Ranah digital. Dalam laporan Catatan Akhir Tahun (Catahu) LBH Apik Jakarta 2021, kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) tertinggi dalam 5 tahun, menggeser kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pengaduan KBGO sebanyak 489 kasus, KDRT 374 kasus, kekerasan dalam pacaran 73 kasus, kekerasan seksual dewasa 66 kasus, dan tindak pidana umum 81 kasus. Secara menyeluruh jumlah pengaduan tahun ini lebih tinggi daripada tahun lalu; total pengaduan tahun 2021 sebanyak 1.321 kasus dan tahun 2020 sebanyak 1.178 kasus.

Peneliti di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti seperti dikutip dari tempo.co, mengecam  langkah DPR yang tidak memasukkan RUU TPKS ke dalam agenda pembahasan dalan Rapat Paripurna. Menurutnya, ini adalah buktik tak adanya sense of crisis dari sejumlah anggota DPR terhadap darurat kekerasan seksual di Indonesia.

Advertisement

"Mereka memperlakukan RUU ini parameternya itu cuma parameter ekonomi politik. Sense of crisis nya tak ada sama sekali. Jadi akhirnya ada barter yang terjadi itu dalam konteks kepentingan politik," kata Bivitri yang membandingkannya dengan Undang-Undang Cipta Kerja, Revisi Undang-Undang KPK, hingga Undang-Undang Minerba yang punya nilai ekonomi-politik tinggi.

Point - Point yang Diperdebatkan

Sejak pertama kali diusulkan pada Januari 2016, hingga saat ini sudah lima tahun lebih RUU PKS malang melintang di DPR. Sempat masuk ke Prolegnas Prioritas pada 6 Juni 2016, namun RUU ini ditarik dari Prolegnas Prioritas 2020 pada tanggal 2 Juli 2020.

RUU PKS sendiri diharapkan dapat menjadi harapan menyelamatkan korban kekerasan seksual yang tidak terpayungi oleh hukum di KUHP. Namun, dalam perjalanannya, RUU PKS - yang pada September 2021 lalu berganti nama menjadi RUU TPKS, lewat usulan Badan Legislasi (Baleg) DPR - ini terus menuai perdebatan di dalam anggkta DPR itu sendiri, maupun kelompok masyarakat.

Perdebatan pertama soal judul yang ditulis. "Judul memang masih terjadi perdebatan apakah menggunakan istilah tindak pidana penghapusan kekerasan seksual, ada juga yang mengusulkan tindak pidana kejahatan seksual, ada yang mengusulkan undang-undang ketahanan keluarga. Itu semua tentu memiliki implikasi terhadap pasal-pasal turunannya," ungkap Ace Hasan Syadzily, Wakil Ketua Komisi VIII DPR. 

Kedua, terkait ketegorisasi bentuk kekerasan seksual. Dalam RUU PKS bentuk kekerasan seksual dikategorisasi menjadi 9 bentuk, sebagaimana tertuang dalam Bab V Pasal 11 ayat (2). Bentuk pelecehan seksual meliputi Pelecehan seksual, Eksploitasi seksual, Pemaksaan kontrasepsi, Pemaksaan aborsi,Perkosaan, Pemaksaan perkawinan, Pemaksaan pelacuran, Perbudakan seksual dan Penyiksaan seksual. 

Namun, dalam RUU TPKS bentuk kekerasan seksual hanya dibagi menjadi kekerasan secara fisik dan nonfisik. Terhadap perubahan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) menilai draft RUU TPKS hanya menetapkan bentuk kekerasan menjadi empat jenis, yaitu sebagai pelecehan seksual, pemaksaan alat kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, dan eksploitasi seksual. Hal ini dianggap sebagai bukti kemunduran dalam upaya perlindungan korban kekerasan seksual. Karena bentuk kekerasan seksual menjadi elemen kunci dalam penghapusan kekerasan seksual di Indonesia.

Ketiga, perdebatan terkait definisi kekerasan seksual. Kekerasan seksual didefinisikan sebagai aktivitas seksual yang dilakukan tanpa persetujuan korban. Bentuk kekerasan seksual dapat berupa pemerkosaan terhadap orang asing, pemerkosaan dalam pernikahan atau pacaran, pelecehan seksual secara mental atau fisik, aborsi paksa, dan pelecehan seksual terhadap anak.

Tahun 2022, perjuangan untuk segera mengesahkan RUU TPKS harus terus berlanjut. Karena keberadaan dari RUU TPKS masih menjadi harapan untuk melidungi korban kekerasan seksual. (f) 


Baca Juga: 
Trending Kasus NWR, Bukti Kekerasan Pada Perempuan di Indonesia Masih Rentan
Kekerasan Gender Berbasis Online Meningkat, Hati-Hati Manipulasi dalam Relasi
Pembahasan RUU PKS Ditunda Lagi, Kekerasan Seksual Pada Wanita dan Anak Justru Kian Marak Terjadi




Topic

#kekerasanseksual, #RUUTPKS

 



polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?