Foto: Stocksnap.io
Misalnya saja dalam hal kepemilikan rumah dan tanah. Diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) Pasal 21 Ayat (1) disebutkan bahwa hanya WNI yang dapat mempunyai hak milik. Namun, di Pasal 21 Ayat (3) secara singkat dijelaskan bahwa orang asing yang memperoleh hak milik karena perwarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan –dan WNI yang kehilangan kewarganegaraannya– wajib melepaskan hak tersebut dalam jangka waktu satu tahun. Sementara Pasal 36 Ayat (1) menyebutkan bahwa Hak Guna Bangunan (HGB) hanya dapat dimiliki oleh WNI dan badan hukum Indonesia.
Aturan tersebut dianggap diskriminatif, karena sebagai WNI, pelaku perkawinan campuran tidak dapat memiliki tanah dan properti di wilayah Indonesia. Jika membeli properti, maka status yang diberlakukan adalah sebagai penyewa.
Untuk menyiasati aturan tersebut, seakan sudah menjadi rahasia umum bahwa para WNI pelaku perkawinan campuran yang tidak memiliki perjanjian nikah pisah harta membeli properti dengan menggunakan nama orang lain atau istilahnya ‘pinjam nama’. Atau, bisa pula nantinya properti tersebut dihibahkan kepada WNI pelaku perkawinan campuran tersebut. Namun, cara hibah ini dinilai sangat memberatkan, karena biaya yang harus dikeluarkan untuk pajak tidak sedikit.
Bahkan, tak jarang tawaran ‘pinjam nama’ justru datang dari perusahaan pengembang yang menjual properti tersebut. “Tak sedikit juga pengembang yang menawari kami untuk menggunakan nama perusahaannya dengan alasan lebih aman,” ungkap Juliani.
Beberapa orang justru lebih nekat lagi dengan tidak mengubah status pernikahan dalam kartu identitasnya, walau secara resmi sudah menikah dengan WNA. Semua itu dilakukan demi mempertahankan status lajang dan tetap mendapatkan hak yang sama dengan warga negara lainnya.
“Bahkan, ada kasus, si A meminjam nama ibunya untuk sertifikat tanah. Namun, kemudian sang ibu meninggal, dan akhirnya hak waris tersebut harus dibagikan secara rata kepada anak-anak si ibu. Sementara si A, yang membeli properti tersebut, justru hanya mendapatkan sekian persen, karena secara hukum properti itu harus dibagi-bagi dengan saudara-saudara lainnya,” cerita Juliani.
Risiko besar juga muncul ketika menggunakan nama perusahaan properti yang dibeli, misalnya jika pembeli ingin menjual lagi propertinya namun pengembang menolak. Hal ini bisa saja terjadi karena sebenarnya sertifikat tersebut memang berdasarkan atas nama mereka
Menurut Diah Anggraini S.H., MHum, praktisi hukum, notaris dan PPTA, cara-cara instan itu sangat tidak dianjurkan. Karena, jika terjadi sesuatu hal ke depannya, secara hukum WNI pelaku perkawinan campuran tak bisa menuntut ke meja hijau.
Lain lagi bagi mereka yang memalsukan status dalam KTP, harus siap dengan ancaman hukuman pidana. “Membuat pernyataan tidak terikat pernikahan atau memberikan keterangan palsu atau pemalsuan identitas, menurut KUHP 242 ancamannya adalah pidana penjara 5 tahun,” tutur Diah.
Faktor keterpaksaan menjadi alasan para pelaku perkawinan campuran mengambil langkah tersebut. Seperti Siti, yang pernah membeli sebuah properti atas nama salah satu anggota keluarganya. “Kalau bukan karena terpaksa, kita tidak mungkin melakukan hal itu. Siapa, sih, yang ingin melanggar hukum dan harus mendekam di penjara jika ketahuan?” tutur wanita yang memutuskan untuk menjadi warga negara Amerika Serikat ini.
Meski demikian, PERCA selalu menggerakkan para pelaku kawin campur untuk lebih sadar hukum terkait perkawinan campuran yang berlaku di Indonesia dan memahaminya secara lebih mendalam. “Peran PERCA dalam hal ini membantu advokasi, sosialisasi hingga konsultasi anggota komunitas, dan berharap dapat memberdayakan para WNI yang melakukan perkawinan campuran,” kata Juliani.