Foto: Rizka Azizah
Jepang sebagai salah satu destinasi wisata favorit bagi orang Indonesia menawarkan banyak pilihan untuk semua tipe wisatawan, dari kelas backpacker hingga lux traveler, dari pencinta alam hingga penikmat urban. Kali ini saya berkunjung ke area Tohoku, sedikit di utara Jepang, yang namanya belum banyak dikenal oleh pelancong internasional. Salah satu prefekturnya, yaitu Miyagi yang berada di tengah jantung Tohoku, membuktikan bahwa Jepang memang lebih dari sekadar Tokyo, Osaka, atau Hokkaido. Di sana, saya menjumpai kekayaan kuliner, kebudayaan tradisional, keindahan alam, dan keramahtamahan khas Jepang yang membuat negara ini begitu mengagumkan.
Mencari Kehangatan Miyagi
Dari kota Aomori, saya naik kereta Shinkansen menuju Miyagi. Perjalanannya tidak terlalu lama, hanya memakan waktu 1,5 jam. Ketika menginjakkan kaki di Siroishi Station Miyagi, saya begitu terkejut melihat suasana stasiun yang sangat sepi. Saat itu, hanya ada saya, pemandu, teman-teman jurnalis, dan beberapa penjual makanan.
Rupanya, daerah ini memang termasuk rural area yang jauh dari keramaian kota. Suasana jalanannya pun sepi, transportasi umum seperti bus atau taksi jarang melintas. Penduduk Siroishi lebih banyak menggunakan kendaraan pribadi seperti mobil, motor, dan sepeda.
Saya memulai perjalanan dengan makan siang di restoran Yamaboushi. Memang benar bahwa Jepang adalah surganya makanan. Di sini, saya mencicipi lezatnya hidangan khas Miyagi, yaitu duck kamameshi. Kamameshi adalah nasi yang dimasak dan disajikan dengan periuk tradisional Jepang, yang memiliki pemanas di bagian bawahnya. Nasi periuk ini dapat dinikmati dengan berbagai macam topping. Konon, kamameshi di tiap wilayah di Jepang memiliki topping masing-masing. Kamameshi di Miyagi memiliki rasa yang mirip nasi hainan, dengan bumbu jahe yang meresap kuat dalam daging bebek. Sungguh lezat dan mengenyangkan untuk makan siang.
Dengan perut kenyang, saya beralih mengeksplorasi kebudayaan ikonis di Miyagi dengan mengunjungi Kokeshi Doll Museum. Kokeshi merupakan mainan tradisional yang terbuat dari kayu dan sudah ada sejak 150 tahun lalu. Awalnya, boneka ini adalah mainan anak sederhana yang juga bagian dari kesenian rakyat Jepang. Kokeshi kini telah berevolusi menjadi cendera mata khas Jepang.
Di museum yang terletak di Kota Miyagi Zao ini, saya bisa melihat perkembangan kokeshi dari masa ke masa. Mayoritas boneka kokeshi berupa gadis Jepang yang mengenakan kimono dengan berbagai motif. Kayu untuk membuat boneka ini dibentuk menggunakan mesin manual yang dioperasikan dengan kaki. Saya menyaksikan sendiri salah satu pembuat boneka kayu yang dengan luwes menggerakkan kakinya membentuk bagian kepala kokeshi. Kayu yang sudah berbentuk kepala dan badan kemudian dilukis dengan tangan menggunakan cat aneka warna.
Yang berkesan dalam kunjungan ini, saya berkesempatan mengkreasikan boneka kokeshi menggunakan cat warna. Seorang pembuat boneka mengajari saya teknik dasar melukisnya, dimulai dari bagian mata, hidung, rambut, hingga motif kimono. Alangkah senangnya ketika boneka hasil buatan saya itu boleh dibawa pulang sebagai suvenir. Meski hasilnya belum sempurna, saya bangga bisa ikut merasakan pengalaman mengkreasikan salah satu kesenian tradisional andalan Miyagi ini.
Bukan hanya beragam kebudayaan dan kuliner lezat, prefektur Miyagi juga memiliki destinasi wisata alam yang indah dan eksotis. Salah satunya adalah Okama Crater, danau kawah yang terletak di Zao National Park, Zao-machi. Dikelilingi tiga pegunungan: Zao Mountain Range, Kumanodake, dan Goshikidake, kawah ini memiliki warna hijau zamrud yang menakjubkan. Kedalamannya mencapai 27,6 m. Tampilan yang mirip ketel membuat kawah tersebut dinamakan Okama, yang secara harfiah berarti ketel. Lokasi ini saya capai menggunakan bus dengan lama perjalanan 1 jam 50 menit dari Siroishi. Jalanan untuk mencapai kawasan Okama Crater berkelok-kelok. Sepanjang perjalanan, saya sibuk mengamati dan memotret snow wall yang tersebar merata di kanan-kiri jalan.
Masuk di pintu gerbang utama Okama Crater, udaranya begitu dingin hingga menusuk tulang. Suhunya saat itu mencapai 5 derajat Celsius. Dua lapis baju yang saya kenakan ditambah jaket kulit pun tidak mampu mengusir dingin. Saya akhirnya mengenakan coat tebal supaya lebih nyaman.
Sayangnya, kabut tebal menutupi kawah. Niat untuk memotret keindahannya pun terpaksa batal. Dinginnya udara membuat badan saya menggigil, gigi juga sampai bergemeletuk. Tidak mengherankan bila tempat ini ditutup saat musim dingin karena cuacanya yang cukup ekstrem disertai salju tebal. Musim semi dan musim panas adalah saat yang tepat mengunjungi Okama Crater, mengingat cuacanya yang sejuk dan hangat.
Saya lalu bergegas menuju ke gedung pusat informasi Okama Crater. Di situ, telah berkumpul sekelompok orang yang sibuk menghangatkan badan. Cuaca yang kurang bersahabat itu membuat saya akhirnya hanya bisa menikmati keindahan kawah Okama lewat foto dan brosur yang ada di sana. Ah, mungkin lain kali saya bisa lebih beruntung.
Hiruk Pikuk Sendai
Sampai di Kota Sendai, saya cukup antusias. Sebab, suasana di ibu kota Miyagi ini terbilang lebih ramai ketimbang Kota Aomori dan Zao yang saya singgahi sebelumnya. Atmosfer kehidupan perkotaan modern pun terasa kuat di sini, meski tak semegah atau seglamor Tokyo. Kabar baiknya, kota bermobilitas penduduk tinggi ini memiliki banyak kafe, bar, restoran Barat, dan kedai kopi modern. Saya yang sebelumya terpaksa mengistirahatkan hobi minum kopi karena minimnya coffee shop di area Aomori dan Zao, akhirnya merasa lega bisa kembali menikmati kafein di kafe modern.
Hari itu, saya sengaja bangun lebih pagi untuk berjalan-jalan di sekitar area ANA Holiday inn Hotel, tempat saya menginap. Ditemani secangkir cafe latte hangat di tangan, saya menikmati cuaca Sendai pagi itu yang sangat sejuk. Udara yang bersih membuat saya bisa menikmati suasana perkotaan Sendai di pagi hari yang cukup sibuk.
Saya pun asyik mengamati corak kehidupan di kota terbesar di Tohoku ini. Banyak orang berlalu-lalang di pusat kota yang dipadati gedung pencakar langit. Mulai dari pegawai kantoran, anak sekolah, pekerja proyek, wanita paruh baya, hingga anak kecil. Mereka berjalan dengan langkah cepat penuh semangat. Beberapa pria berbusana kantor mengendarai city car. Di saat yang sama, sekelompok remaja terlihat bersenda gurau sambil mengayuh sepeda keranjang. Pemandangan menyenangkan ini tidak luput saya abadikan dalam jepretan kamera.
Malam harinya, suasana Kota Sendai makin meriah. Area penyeberangan di tiap sudut kota ramai oleh orang-orang yang baru pulang dari kantor. Malam itu saya berniat mencicipi kuliner di Kota Sendai yang kabarnya sangat lezat. Pilihan saya jatuh pada restoran fresh seafood: Tsuda Sengyoten. Tempat tersebut berada di area Kokubun-cho, sebuah gang yang dipenuhi aneka restoran, kafe, spa, bar, dan tempat hiburan.
Area restoran ini memang tidak begitu luas. Namun, desain interiornya terbilang unik dan menarik. Dinding restoran dihiasi aneka poster beruliskan huruf kanji. Meja dan kursinya terbuat dari kayu. Lampu-lampu kertas berwarna kuning membuat suasana restoran ini terlihat sangat meriah di malam hari.
Tempat ini rupanya memang jagonya seafood. Sebagai menu pembuka, saya menyantap cumi dan udang segar, yang dimasak menggunakan kompor kayu tradisional yang tersedia di tiap meja pengunjung. Udang dan cumi yang sudah matang dinikmati bersama saus khas Jepang.
Menu berikutnya makin mengundang selera. Satu nampan besar berisi aneka makanan laut segar, seperti tuna, salmon, hingga octopus dalam bentuk sashimi hadir di depan mata. Menu tersebut bisa langsung dimakan dengan saus yang ditaburi wijen dan dibubuhi wasabi. Awalnya, saya agak ragu menyantapnya karena tidak biasa makan makanan mentah. Namun, sekali mencoba, saya langsung ketagihan!
Konon, berwisata ke Miyagi belum lengkap bila belum merasakan kelezatan oysters atau tiram segar yang dinikmati bersama kuah sup miso. Sepaket seafood segar dengan teh hijau atau jus segar dijual dengan harga di bawah 5.000 yen. Harga yang terbilang bersahabat untuk sebuah pengalaman santap malam yang lezat. Suasana restoran makin meriah dengan diadakannya pelelangan dua ikan segar yang akhirnya dimenangkan oleh seorang pria muda pegawai kantor pemerintahan Tohoku.
Terpukau Pulau Matsushima
Sendai menyiratkan corak kehidupan yang harmonis. Kegagahan dan kemegahan gedung-gedung pencakar langit di pusat kota tidak lantas mengintimidasi keberadaan sejumlah bangunan tradisional, seperti kastil, museum, dan monumen bersejarah yang terdapat di area yang sama. Bangunan tradisional tersebut masih terjaga dengan sangat baik. Rupanya, dinas pariwisata Tohoku memang sangat mengupayakan pelestarian bangunan bersejarah Jepang di wilayah ini.
Sendai Castle misalnya. Walau bangunan aslinya sudah hancur karena guncangan gempa beberapa kali, area di sekitar kastil ini dilestarikan dengan baik. Beberapa dinding batu dan menara bersejarah tetap ada di sini. Area Sendai Castle, menurut saya, tidak tampak terlalu kuno. Sebab, kastil yang dibangun oleh Date Masmune pada periode Edo (1603-1868) ini kini telah dilengkapi dengan berbagai bangunan modern, seperti kafe, toko suvenir, dan museum digital. Di area ini terdapat pula patung Date, yang juga bapak pendiri Kota Sendai.
Sendai Castle berada di puncak bukit, sehingga saya bisa menyaksikan Kota Sendai yang membentang luas di bawah langit biru dari ketinggian. Lukisan alam seperti pegunungan, pepohonan hijau, bunga kemboja yang bermekaran, serta gedung-gedung pencakar langit, jelas terlihat sangat indah.
Di hari yang sama, saya juga singgah di Matsushima Bay, sebuah destinasi wisata yang terdiri dari 260 buah pulau kecil di tengah kota. Pulau-pulau tersebut tersebar di Teluk Matsushima. Saking indahnya pemandangan, objek wisata ini serasa seperti Raja Ampat-nya Jepang. Matsushima ini termasuk dalam tiga pemandangan terindah di Jepang, bersama dengan Amanohashidate di Kyoto dan Itsukushima di Hiroshima.
Keindahan pemandangan pulau-pulau di Matsushima saya nikmati dari atas perahu pesiar, yang membawa saya mengelilingi pulau-pulau kecil yang tersebar, seperti Katura-jima, Hourai-jima, Koma-jima, Niou-Jima, dan O-mone-jima. Walau kawasan ini pernah tersapu gelombang tsunami akibat peristiwa gempa Sendai pada tahun 2011, keindahannya sama sekali tidak hilang.
Insiden terjadinya gempa bumi berkekuatan 8,9 skala Richter pada tahun 2011 lalu memang menjadi mimpi buruk bagi Kota Sendai. Gelombang tsunami setinggi sepuluh meter menyapu beberapa kawasan kota, termasuk bandara dan sekitarnya. Meski begitu, bukan Jepang namanya bila tidak segera berbenah. Empat tahun kemudian, Kota Sendai telah melakukan perbaikan total di daerah-daerah yang rusak tersapu tsunami. Kini, keelokan kota yang dijuluki City of Trees ini pun telah kembali memesona siapa pun yang menghampirinya.
Aomori, Surganya Sakura
Datangnya musim semi ditandai dengan tumbuhnya bunga sakura di berbagai area di Jepang. Di pertengahan Januari hingga Februari, bunga sakura tumbuh lebat di daerah Okinawa. Pertengahan Maret sampai awal April, bunga sakura mekar sempurna di daerah Kyushu. Akhir Maret, bunga sakura bermekaran di daerah Kansai, Kyoto, Osaka, dan Tokyo. Sedangkan pada pertengahan April hingga awal Mei, bunga sakura tumbuh sempurna di daerah Aomori dan Miyagi.
Beruntung, saya bisa menyaksikan keindahan bunga sakura di Hirosaki Park, Aomori. Untuk memasuki area ini, pengunjung harus membayar 510 yen (sekitar Rp630.000). Namun, bila hanya ingin menyusuri area luar taman tanpa melihat kastil, gratis.
Di dalam taman, terdapat bangunan kastil kuno yang tampak gagah. Taman ini memiliki 2.500 batang pohon ceri dengan 80 lebih varian bunga sakura yang tersebar di tiap sudut. Saya asyik menikmati pemandangan di Hirosaki Park, sambil menyusuri jembatan berwarna merah menyala, Shunyo Bridge. Di akhir April, kawasan ini berubah menjadi pink wonderland. Di bulan itulah cherry blossoms tumbuh bermekaran dengan indahnya.
TIP
- Tohoku bisa dicapai dengan maskapai All Nippon Airways (ANA) melalui bandara Narita atau Haneda di Tokyo. Dari sini, tersedia rute penerbangan ke semua prefektur di Tohoku.
- Kereta maupun bus dari Kota Tokyo menuju semua prefektur di Tohoku.
- Harga tiket Shinkansen ditentukan oleh rute. Dari Tokyo Station menuju Shin-Aomori Station, misalnya, harga tiketnya 12.280 yen (sekitar Rp1,6 juta) sekali jalan. Lama perjalanan Tokyo-Aomori sekitar 2,5 jam.
- Bila ingin mengambil uang dari mesin ATM, kunjungi ATM Seven Bank di gerai 7-Eleven. Di seluruh area di Jepang, ATM tersebut dapat digunakan 24 jam nonstop sepanjang tahun.
- Pilihan akomodasi: Hotel Aomori, Eastern Tsugaru; Miyagi Zao Royal Hotel, Zao-machi; ANA Holiday Inn, Sendai. (f)
Topic
#TravelingJepang