Foto: Dok. Pribadi
Kampung di Atas Bukit
Menurut buku Kebudayaan Sumba Barat yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sumba Barat, penganut Marapu Sumba Barat umumnya membangun perkampungan mereka di puncak-puncak bukit. Hal ini dilandasi dua alasan utama, yaitu secara praktis dan religius. Di masa lalu, karena sering terjadi peperangan antarsuku yang memperebutkan daerah kekuasaan, tempat yang tinggi dianggap lebih praktis untuk dijadikan benteng pertahanan.
Dari sisi religius, hal ini mengacu pada konsep prasejarah yang menganggap bahwa makin tinggi tempat tinggal, maka makin dekat penghuninya dengan arwah leluhur dan dewa-dewa. Posisi kampung yang berada di puncak bukit yang pasti memberikan pemandangan yang indah.
Hal ini saya buktikan ketika berkunjung ke Kampung Dikita, yang terletak di Kecamatan Tanah Righu, sekitar 18 kilometer dari pusat kota. Untuk mencapai kampung ini, saya menempuh jalanan berliku, yang sebagian di antaranya jalanan rusak penuh lubang. Namun, pemandangan alam sekitar khas Sumba, yang berupa padang rumput, membuat perjalanan tidak membosankan.
Ketika mobil sampai di sebuah tikungan bukit dan mata saya menangkap deretan puncak rumah adat, saya pun tahu bahwa tempat tujuan sudah hampir sampai. Ah, ternyata saya salah. Karena puncak atap rumah adat itu begitu tinggi, maka dari kejauhan pun sudah terlihat. Saya masih butuh beberapa menit lagi untuk sampai ke Dikita.
Foto: Pribadi
Karena letak Dikita jauh dari pusat kota, tak banyak wisatawan yang datang. Memang ada, tapi tentu saja tak sebanyak di kampung-kampung yang terletak di kota. Suasana kampung tak jauh berbeda dengan kampung adat yang sebelumnya saya datangi. Warga kampung yang sebagian besar bekerja sebagai peladang, siang itu banyak yang sudah berada di rumah. Mereka melemparkan senyum ketika saya mengangguk hormat ketika lewat. Di kampung ini, saya tidak menemukan satu pun warga yang menjual kain tenun maupun suvenir yang lain.
Salah satu kampung yang juga terletak di tanah yang tinggi adalah Kampung Waigali di Kecamatan Wanokaka. Kampung ini terkenal dengan ritual pasola yang sudah dikenal hingga mancanegara. Pasola adalah tradisi perang adat, yaitu dua kelompok penunggang kuda saling berhadapan, kejar-mengejar, dan saling melempar tombak ke arah lawan. Pasola biasanya dilakukan menjelang musim tanam, pada Februari-Maret. Tanggal pasti pasola akan ditentukan oleh penghitungan rato dengan melihat tanda-tanda alam, seperti bentuk bulan, mekarnya bunga katina, pasang surutnya air laut, dan lain sebagainya.
Di Waigali, selain melihat banyak kuda sumba yang gagah dan liat ditambatkan di kandang mereka yang terletak di bawah rumah-rumah, saya juga melihat tugu menhir yang sudah berusia ratusan tahun. Menurut Rato Hengu Kaka, banyak orang yang ingin membeli batu itu dengan harga miliaran rupiah. Yang menawar kebanyakan orang dari luar negeri. Rato mengakui, salah satu tantangan kampung adat adalah menjaga koleksi benda-benda pusaka dari tawaran para kolektor atau dealer benda-benda antik.
Di natara podhu yang terletak di tanah yang lebih tinggi dari lahan yang digunakan untuk membangun deretan rumah, tak jauh dari batu menhir itu, saya melihat satu tiang dari kayu dengan diameter satu genggaman tangan yang dipancangkan di atas tanah. Terlupakan oleh excitement melihat pemandangan pucuk-pucuk pohon nyiur dan asam di sekitar kampung dari ketinggian, saya pun terlupa untuk berhati-hati menyentuh apa pun yang ada di kampung adat.
Benar saja, ketika tangan saya mencoba mengelus untuk merasakan tekstur kayu yang tampak tua itu, saya diberi tahu Rato bahwa itu adalah tiang adung. Apa gunanya? “Dulu, tiang itu untuk menggantung kepala musuh yang kalah perang,” jawab Rato, kalem. Ya, Tuhanku…. (f)
Baca Juga:
- Jalan-jalan Sumba Barat: Tanah Seribu Kampung (Bagian 1)
- Jalan-jalan Aceh: Menyesap Kopi di Takengon
- 5 Rekomendasi Hotel di Bali: Bisa untuk Glamping – Sensasi Menginap di Rumah Lebah
Topic
#travelingindonesia