Lee Kuan Yew, founding father Singapura, pernah mengatakan, keluarga yang sehat adalah tiang utama kemajuan suatu bangsa. Ia meyakini, hanya melalui keluargalah nilai-nilai budi pekerti, kerja keras, kejujuran, diwariskan dalam keluarga. Bagaimana dengan di Indonesia?
Media massa, khususnya televisi, di Indonesia hampir semua menayangkan acara infotainment dan sinetron. Dalam kedua tayangan tersebut, kabar atau cerita tentang pasangan bercerai adalah hal yang sangat wajar. “Orang terlihat biasa-biasa saja, tidak stres, meski telah bercerai. Tidak ada tekanan sosial dari lingkungan sekitarnya,” ungkap Devie Rachmawati, S.SoS, M.Hum, Pengamat Sosial dan Pengajar Komunikasi Vokasi Universitas Indonesia. Masyarakat menjadi lebih permisif ketika terjadi perceraian.
Tantangan lain dalam pernikahan modern adalah, budaya materialisme. Bukan gaya hidup, tetapi hidup yang tampak ‘gaya’ dan penuh mimpi, membombardir masyarakat melalui aneka acara televisi. “Dampak jauhnya, suami yang tidak bisa memenuhi hidup yang ‘gaya’ akan digugat cerai oleh istrinya,” jelas Devie.
Devie menegaskan, negara perlu memainkan perannya dalam mengatur tayangan-tayangan televisi sekarang ini. “Bangun saja modelnya, tampilkan keluarga harmonis, hidup sederhana, maka masyarakat akan mengikuti,” ujar Devie.
Berbeda dengan zaman dulu, orang tidak mudah memutuskan bercerai. Adanya mahar yang mahal menjadi pertimbangan sebelum menikah, begitu pula orang akan berpikir ulang ketika akan bercerai. “Dulu, ada tekanan sosial yang diterima bagi pasangan yang bercerai. Sekarang ada, namun tidak seberat zaman dulu,” ungkap Devie.
Hal lain yang berbeda, tujuan orang menikah di masa lalu adalah untuk memiliki keturunan. Saat ini orang menikah hanya mencari kebahagiaan. Bahkan, untuk memiliki anak tidak perlu menikah, karena anak bisa dihasilkan melalui donor sperma.
Di Amerika Serikat, muncul istilah casual marriage, pria dan wanita menikah, namun tidak memiliki komitmen untuk setia. Bahkan, ada situs online dating bernama Ashley Madison yang dibuat khusus untuk pasangan berselingkuh. Didirikan sejak tahun 2002, saat ini jumlah anggotanya mencapai 39 juta orang di 53 negara. Meski menimbulkan kritik dari banyak pihak, situs ini masih bertahan hingga sekarang. “Di Indonesia mungkin ada, namun tidak terang-terangan karena masih terbentur norma-norma agama dan negara,”ungkap Nessi.
Hal lain yang menjadi tantangan adalah karakter masyarakat Indonesia yang komunal. Orang sangat memperhatikan orang lain, mulai dari pakaian, rumah, hingga mobil. Dengan adanya media sosial, problem ini makin berat karena ada fasilitas untuk ‘memamerkan’ apa yang mereka banggakan. Wajah cantik, anak lucu, keluarga bahagia, atau liburan ke luar negeri.
“Melihat akun media sosial orang lain akan menyebabkan kecemburuan, stres, dan pada akhirnya berpengaruh pada ketidakharmonisan keluarga,” jelas Devie.
Dengan melihat hujan eksistensi di media sosial, Nessi mengingatkan bahwa tiap orang cenderung memperlihatkan semua hal indah di media sosial. Padahal, belum tentu hidup mereka seindah di media sosial, karena tiap orang punya problem masing-masing.
“Ada orang yang memang ingin berbagi kebahagiaan, namun tak sedikit yang sekadar pamer. Yakin saja, kita memiliki kualitas hidup yang tak kalah hebat dari orang lain,” ungkap psikolog Nessi Purnomo.
Nessi menegaskan, orang dulu bisa bertahan dengan pasangannya hingga dapat merayakan pesta emas pernikahan, bukan karena orang dulu tidak sibuk membuka Instagram, chatting di Facebook, atau rajin mem-posting foto di Path. Mereka menerima dan mengerti pasangannya, mereka menyediakan waktu lebih banyak untuk keluarga, dan tidak sibuk melihat kehidupan orang lain.
Di zaman modern, karena tuntutan pekerjaan lebih banyak, tiap orang perlu memprioritaskan waktu yang dimiliki. “Selesaikan pekerjaan di kantor. Ketika sampai di rumah, lepaskan diri dari gadget, nikmati kebersamaan dengan pasangan. Cara ini bisa dipakai untuk melanggengkan hubungan,” pungkas Nessi. (f)
Baca Juga:
Ranjau Pernikahan Masa Kini