Sex & Relationship
Beban Sosial Berat yang Ditanggung Suami yang Menganggur

29 Nov 2016


Foto: Pixabay
 
Berulang kali gagal mendapatkan pekerjaan tentu menjadi pukulan yang berat bagi siapa pun. Khusus bagi suami, menganggur adalah hal yang paling mereka takuti dalam hidup ini. .   
 
 Banyak hal yang bisa mengganjal usaha seorang pria untuk menafkahi keluarga. Salah satunya yang utama, karena menipisnya lapangan kerja, buntut  dari krisis ekonomi. Bagi banyak pasangan yang sama-sama mencari nafkah, masalah bisa muncul ketika ternyata suami ‘terpaksa’ menganggur dalam waktu lama hingga ia kehilangan gairah dalam berusaha.        
 
Suami yang gagal menafkahi keluarga, sebenarnya menanggung beban sosial yang amat besar. Karena nyatanya, suami yang menganggur akan langsung jadi sorotan masyarakat. Bahkan, tak jarang stigma pemalas dan parasit menempel pada suami yang tidak bekerja. Terus terang, dalam hal ini wanita lebih diuntungkan. Bukankah istri yang tidak bekerja tidak akan dianggap aneh oleh masyarakat?
 
Padahal, mentalitas pemalas ada pada pria maupun wanita. Salah satu tanda mereka yang kentara adalah nafsu yang tinggi untuk menjalani hidup enak tanpa bekerja. Mereka hanya mau menikmati hasil akhir, tanpa mau menjalani proses berusaha. Karena terjadi pada kedua gender, maka siapa pun yang jadi ‘korban’ pasangannya, perlu berhati-hati dalam menilai. Tidak semua suami yang menganggur adalah parasit dalam hidup istrinya. Sebaliknya, tidak semua wanita, dengan sukarela menjadi parasit dalam hidup pasangannya.

Masalah penghasilan adalah salah satu hal paling sensitif dalam perkawinan. Karenanya, ucapan bernada tuduhan terhadap suami bisa jadi bumerang.
Kita perlu mengakui, terkadang kondisi dan jalan hidup memang belum terbuka bagi seseorang, sehingga ia terus-terusan gagal mendapatkan uang. Tapi, jika misalnya suami memang sudah keterlaluan: bersikap masa bodoh terus-terusan, apalagi sudah melakukan kekerasan, baik secara finansial, verbal, maupun fisik terhadap istrinya, istri memang harus bersikap tegas. Kalau perlu, ceraikan saja.
 
Namun, tak ada satu pun suami atau istri di dunia ini yang mau dengan mudah bercerai. Masih ada jalan yang bisa diupayakan sebelum perkawinan benar-benar memburuk. Wanita, terutama, dianugerahi kesabaran yang lebih panjang ketimbang pria dalam menerima keadaan. Buahnya, banyak inisiatif rekonsiliasi datang dari istri. Sayangnya, karena panjang sabar itu pula, begitu kesabaran istri habis, maka kata-kata dan sikap yang keluar dari istri biasanya sangat keras, dan mengena pada suami secara telak.

Jika istri sampai hilang sabar, biasanya kerusakan hubungan sudah telanjur sulit diperbaiki. Karena, masing-masing ingin mempertahankan harga diri. Bagi suami, dirinya seolah dihukum ganda. Jadi sorotan masyarakat, ditambah istri yang tidak bersimpati. Jika ditambah dengan kebuntuan dialog,  kehancuran perkawinan pasti tinggal menunggu waktu saja.
 
Ya, dialog adalah kunci utama untuk mengurai masalah dalam perkawinan. Jika istri yang bekerja merasa tak mampu menjalankan peran ganda sendirian, tak ada cara lain kecuali membicarakannya terus terang dengan suami (yang menganggur).
Advertisement

Katakan dengan jelas kepada suami, karena Anda harus bekerja, maka harus ada orang yang mengisi posisi tugas mengurus rumah. Tawarkan langsung kepada suami untuk mengisi posisi itu. Ungkapkan  dengan empati, karena biasanya hati suami cukup sensitif dalam situasi seperti ini.   Apalagi, dalam kenyataannya, tak sedikit pria yang menikmati menjadi bapak rumah tangga.

Agar bencana seperti ini tidak terjadi, penting bagi istri untuk memulai dialog terbuka berdua dengan suami. Sejak awal, buatlah kesepakatan bersama. Jika suami dan istri sama-sama bekerja, maka keduanya punya kedudukan  setara dalam berbagi tugas dan tanggung jawab.

Ironisnya, banyak wanita yang sukses dalam berkarier, justru tidak menyadari bahwa ia punya posisi tawar sama besar dengan suaminya sendiri (yang menganggur). Mereka hanya menggerundel. Dengan alasan sudah menikah bertahun-tahun lamanya, mereka menuntut suami untuk tahu dengan sendirinya apa yang mereka mau. Nah, sikap ‘harusnya kamu sudah tahu tentang apa yang aku mau’ inilah yang sebenarnya paling berbahaya dalam perkawinan.

Pasalnya, jika suami yang menganggur tidak diberi tahu, bahwa istri ingin ia terus berusaha (bergaji kecil tidak masalah, asal ia bekerja), maka bisa jadi suami akan terus bersikap apatis. Atau, jika suami tak diberi tahu, bahwa istri ingin agar suami mengambil alih tugas domestik sementara ia bekerja, maka mungkin saja suami akan tetap ongkang-ongkang kaki seenaknya.

Ketika berdialog, masing-masing selalu memulai dengan kalimat: “Saya mau kamu begini...,” dan bukan langsung menuduh, “Kamu maunya apa, sih?” Dengan begitu, kedua belah pihak akan merasa nyaman serta membuka diri untuk berdialog.  

Para suami yang merasa terpojok karena terus-menerus menganggur, terkadang memang mencari pelampiasan dengan mencari masalah dengan istrinya. Namun, sebenarnya hanyalah reaksi yang bersifat pasif-agresif. Artinya,  ini merupakan cara agak kekanakan dari suami, untuk menunjukkan bahwa ‘bagaimanapun, saya ini tetap suamimu’. Kabar baiknya, dengan pendekatan yang asertif dan dialog terbuka berdua istri, suami yang bersikap seperti ini bisa dibantu untuk meraih kembali percaya dirinya.   

Selain itu, dialog sebenarnya harus dimulai jauh sebelum menikah, yaitu begitu hubungan asmara makin serius. Hal yang harus dibicarakan, terutama menyangkut pembagian peran dalam rumah tangga. Dengan membiasakan diri saling bercerita tentang keinginan masing-masing, maka pasangan akan lebih mudah untuk menyelesaikan masalah jika sudah menikah nantinya. 

Masa berpacaran sebaiknya juga digunakan untuk mendalami tabiat calon suami. Jika hal ini sungguh-sungguh dilakukan, hal-hal buruk akan bisa dideteksi sejak dini. Termasuk, potensi adanya mentalitas pemalas dan parasit dari calon suami. Kekasih yang terlihat tidak mandiri atau tidak serius dalam bekerja, misalnya, bisa dijadikan pertanda adanya sifat-sifat negatif yang seharusnya langsung mengangkat antena kewaspadaan wanita. Kalau tanda-tanda ini ada, sebaiknya segera pertimbangkan ulang untuk meneruskan hubungan, dan janganlah menjadi buta, misalnya oleh ketertarikan fisik semata.

Tapi, jika cinta Anda cukup besar untuk mempertahankan hubungan, ajaklah kekasih untuk membicarakannya. Perhatikan, apakah si dia mau menanggapi serius ajakan untuk berdialog. Beranilah berkata tidak pada pria yang menolak berdialog. Karena, pada dasarnya, tak ada cinta murni yang tidak dilandasi kemauan untuk memahami hal-hal yang disukai atau tidak disukai dari orang yang kita cintai. (f)
 
Angela Wahyuningsih



Topic

#MasalahKeluarga

 



polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?