Jakarta, masih dengan hawa panas, lalu lintas yang sesak, wajah-wajah cemas dan terburu-buru, rintihan pengemis dan gelandangan di sepanjang peron stasiun dan dendang pilu para pengamen. Ah, hari ini hari terakhir ke kantor. Aku sudah buru-buru ingin meninggalkan kota ini dan berlebaran di kampung. Kota yang sukses membuatku merasa kesepian di tengah keramaian, kekosongan di tengah keserbaadaan.
Tahun ini, dan sudah ritual tahun-tahun sebelumnya, aku mudik ke kampung menjelang liburan. Pengalamanku mudik tahun lalu, memang ada yang baru, tapi tak pernah penting. Keluarga. Apa yang lebih penting dari keluarga? Tidak ada. “Keluarga adalah hal terpenting di dunia,” itulah selalu yang ditanamkan oleh ibuku, yang tanpa perlawanan selalu aku iyakan.
Selalu ada yang baru dengan keluargaku. Tahun lalu, tepat di hari pertama Lebaran, kami kedatangan adik kandung nenekku, yang sudah 15 tahun tak pernah ditemuinya, dan belum pernah kulihat seumur hidupku. Nenekku sesenggukan di pelukan adik bungsunya. Kodrat, namanya. Saat itulah, aku baru menyadari, nenekku bukan cuma milik keluarga kami. Ia punya keluarga lain. Ibuku pasti tahu tentang itu, tapi mungkin karena aku tak pernah punya waktu untuk bercakap-cakap panjang lebar dengan ibuku, cerita itu tak pernah sampai ke telingaku.
Eyang Kodrat ini usianya lebih muda dari ibuku. Dia seperti menghilang dari radar keluarga, setelah ia menjalin hubungan dengan pembantu rumah tangga keluarga kakak nenekku, Eyang Henry. Eyang Henry amat murka dan merasa terhina. Tidak pantas trah terhormat seperti dirinya, punya adik yang menjalin asmara dengan pembantunya. Tapi, Eyang Kodrat nekat, bahkan menikahi wanita itu, dan membangun hidup baru, di kota yang tak siapa pun tahu.
Masih soal Lebaran tahun lalu. Masih soal nenekku. Ia harus menghadapi kejutan yang lain. Anak lelakinya, pamanku, Paman Gembul, aku menyebutnya demikian, digelandang ke kantor polisi karena tuduhan penipuan.
Tentang Paman Gembul, memang aku begitu membencinya. Setiap Lebaran tiba, dan keluarga besar kami berkumpul, aku selalu menahan diri untuk tidak melabraknya. Dia adalah penjahat yang pernah melakukan pelecehan seksual, pada keponakannya sendiri yang saat itu baru berusia 7 tahun! Sampai sekarang, tak seorang pun yang tahu tentang masa laluku yang kelam itu. Aku bahkan tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya pada ibuku. Hanya blog-ku yang mampu menampung unek-unek, kerusakan otak dan kepribadian yang diakibatkan oleh ulah Paman Gembul. Luka yang membuatku tak pernah berani mengikatkan komitmen pada satu lelaki pun.
Ada pula kabar tentang tanteku yang sudah lama menjanda, yang akan segera mengakhiri masa jandanya. Kemudian, tentang anak-anak bude-ku, alias sepupuku, yang masih saja meributkan warisan rumah. Ya, mereka adalah keluarga, orang-orang yang tidak pernah kupilih, tapi akan selalu menjadi bagian dariku.
Aku menyukai aroma Stasiun Gambir siang hari pada bulan puasa terakhir. Aroma ribuan pemudik dengan wajah-wajah sumringah dan baju-baju gaya, dengan kardus-kardus bawaan mereka, tengah menyongsong detik-detik waktu keberangkatannya ke kampung halaman mereka. Seolah tak peduli panas teriknya siang itu. Untuk bisa mendapatkan tiket pada hari itu, perjuangan mereka sudah dimulai sejak 40 hari sebelumnya.
Aku sudah siap dengan amunisiku, MP3 player dan earphone. Jakarta- Pekalongan dengan kereta eksekutif hanya perlu waktu 5 jam. Benakku diliputi penasaran, ada kabar baru apa kira-kira di keluargaku tahun ini? Aku sendiri sudah kebal dengan serentet pertanyaan yang seperti kaset usang diputar-putar, “Kapan nikah? Kok, nggak pernah ngenalin calonnya?” Pertanyaan yang segera kutangkis dengan pertanyaan yang sama derajat membosankannya, “Kok, anaknya baru satu, Tante?’ Lebaran kali ini, aku berharap menemukan kejutan-kejutan, apa pun itu.
*****
“Tempat duduknya kosong, Mbak?” Seorang lelaki dengan ramah meminta izin untuk duduk di bangku kereta di sampingku. Sudah sampai mana ini? Aku terlalu hanyut dalam lamunan, sambil mataku menerawang di jendela kereta api.
“Ya, tiket Anda nomor dan gerbong berapa?” jawabku ketus, setengah kesal karena lamunanku terganggu. Lagi-lagi, pria berjaket ini mengusikku dengan basa-basinya.
“Turun di mana? Pekalongan atau Semarang?”
“Pekalongan.”
“Oh, kita sama. Kenalkan, saya Imung,” ujarnya, mengulurkan tangan.
“Menik,” kataku, pendek.
“Dulu saya pernah punya teman namanya Menik. Rumahnya di pantai. Anaknya Pak Iskandar,” ujarnya, nyerocos.
Heh? Aku menoleh kaget. Ayahku memang bernama Iskandar. Dan rumahku memang di dekat pantai. Atau, ada Menik lain yang ciri-cirinya mirip aku, di kotaku? Aku bergumam dalam hati. Segera saja mataku menatap pria itu tajam.
“Ya, saya Menik, anak Pak Iskandar. Anda siapa?” ucapku, berharap ia seseorang yang pernah aku kenal, tapi pikiranku blank. Aku tidak pernah punya teman seperti pria yang kira-kira usianya 40-an, di kursi sampingku ini.
“Oalah, Nduk. Sudah kuduga. Ini aku, Imung. Guru ngaji di Langgar Wali.”
“Imung? Siapa? Oh, Mas Imung, Kramat Sari? No waaay!” ucapku, spontan.
Mas Imung ini dulu adalah guru mengajiku di langgar, dekat tambak di kampungku. Ngaji bukan dalam arti mengajar iqra alif ba ta. Tapi, lebih dari itu, mengkaji ayat-ayat Alquran. Dia yang selalu memberikan siraman rohani pada kami, mengajarkan pada kami untuk berendah hati dan mengagumi keagungan Tuhan lewat dongeng-dongengnya.
Ah, Mas Imung adalah pendongeng yang jago. Ia berhasil mengambil hati aku dan teman-temanku, anak-anak kampung pantai, untuk selalu ke langgar, untuk mendengar dongeng-dongengnya. Yang aku ingat, ia pernah mendongeng tentang Nabi Khidhir yang berdakwah dengan caranya yang sulit dicerna nalar orang biasa. Pernah juga, ia mendongeng tentang lakon wayang Jimat Kalimasada, ajaran Kanjeng Sunan Kalijaga, yang sebenarnya berarti kalimat syahadat. Tapi, kami, yang masih anak-anak ini, pernah juga didongenginya tentang kisah cinta Ratna dan Galih, yang waktu itu sedang ngetop di bioskop.
“Kirain udah jadi orang kosmopolitan, terus lupa padaku. Sudah berapa lama kita nggak ketemu, ya? Sepuluh, 20, atau 25 tahun? Lama, ya?”
“Wah, berabad-abad, Mas. Nuwun sewu, nggih. Bukannya saya lupa, saya pangling sama Mas. Sekarang tambah putih,” godaku, senang menemukan teman dari masa kecilku.
“Njenengan (Anda) tinggal di Jakarta, Mas? Sejak kapan?”
“Kamu piye, Nduk? Kabarnya sudah jadi wanita karier yang kantornya di gedung tinggi di Sudirman? Sudah kuduga dari dulu, kamu akan jadi orang hebat.”
“Ah, saya kan cuma karyawan, Mas. Njenengan yang hebat, sekarang jadi saudagar batik yang sukses.”
Seingatku, Mas Imung muda adalah orang yang tidak pernah punya ambisi pada harta dan kekayaan. Ia tidak kuliah, walaupun sebenarnya orang tuanya bisa membiayainya. Pada siang hari, ia bekerja serabutan, kadang mengajar, kadang jadi juru ketik, kadang menjadi staf TI di kantor-kantor. Sore harinya, ia sudah stand by di langgar, menunggu anak-anak tiba. Aku tak menyangka, guru yang kukenal dulu, sekarang menjadi pengusaha. Tentu tidak salah, tapi diam-diam aku penasaran apa yang membuatnya bisa berubah.
“Aku sudah lama nggak ke pantai, Nduk. Piye kabar teman-temanmu dulu itu? Si Joko, Fitri, Liana, Ririn, Han, siapa lagi temanmu yang badannya gede itu, Anto?” Masih berhubungan sama mereka?” tanyanya, hafal satu per satu nama murid-muridnya.
“Cuma ketemu Joko saja, Mas. Sama yang lain nggak pernah. Oh, paling Fitri, suka comment di facebook. Sekilas saja. Tapi, juga belum pernah ketemuan.”
Yang disebut Mas Imung adalah teman-teman kecilku. Kami adalah anak-anak pantai yang dibesarkan di sekitar tambak. Orang tua kami adalah nelayan, buruh tambak, dan ayahku sendiri adalah pegawai negeri di kantor kelurahan. Kami tumbuh bersama, bermain, belajar ngaji, mandi di pantai, juga aktivitas menunggui tambak bersama.
Namun, sejak pesisir utara mengalami rob tinggi, tambak-tambak itu mulai tidak menghasilkan. Para investor tambak mulai menjuali tanahnya. Kawasan rumah permukiman juga kerap banjir, dari yang tadinya sebulan sekali, lama-kelamaan makin sering dan makin tinggi banjirnya. Satu demi satu warga pun mengungsi. Beruntung, orang tuaku masih punya sepetak tanah warisan di daerah Kabupaten. Tapi, sejak itu, kami, tujuh sahabat, jadi tercerai-berai. Aku lalu bercerita panjang lebar pada Mas Imung tentang kabar teman-temanku, yang hanya kudengar selintas dari ibuku, ataupun dari tetangga pantai yang dulu.
“Joko sekarang mengajar di SD Muhammadiyah. Sudah punya anak satu sekarang. Fitri jadi ibu rumah tangga, ikut suaminya di Jakarta. Ririn, kata ibuku, sudah menikah dengan anak pemilik pondok pesantren di Solo. Sudah jadi bu haji, lho. Kalau Liana, dia masih tinggal di pantai. Sepertinya dia sibuk dengan keluarga, anaknya sudah dua,” ujarku, nyerocos.
Tiba-tiba saja, aku menyadari, aku sudah terlalu lama tidak bertemu dan berkomunikasi dengan teman-teman kecilku itu. Mereka pernah menjadi keluargaku. Keluarga yang aku pilih. Segigih apa pun usahaku untuk mencari teman-teman baru, sebanyak apa pun friend di facebook-ku, tak ada yang bisa menggantikan mereka. Adakah mereka juga merindukanku? Masa kecilku terbuat dari kesetiakawanan mereka. Ilmuku terbangun dari kegigihan mereka menyeretku ke langgar, ketika aku lebih senang menonton serial teve di rumah. Kebahagiaanku adalah campuran dari remah-remah keriangan dan kepolosan kami dulu. Aku pun bertekad ‘memanggil’ kembali mereka ke dalam hidupku.
“Apa kabarnya temanmu, Mas Yudi, Mbak Isti, dan Mbak Vida?” tanyaku, tentang teman-temannya, yang sering ia ajak untuk mengajar kami di langgar.
“Yudi jadi PNS di Yogya. Katanya dia pernah ketemu kamu di Jombor. Kalau Isti, jadi aktivis LSM. Mbak Vida, jadi istriku. Kamu nggak datang, sih, di acara perkawinanku dulu,” kata Imung, lalu mengeluarkan ponselnya, dan memperlihatkan foto tiga anaknya di screen ponselnya.
Kenyataan bahwa dia menikahi Mbak Vida, cukup mengejutkanku. Setahuku, Mbak Vida usianya sepuluh tahun lebih tua daripada Mas Imung. Lagi pula, menurutku, mereka bukan pasangan serasi. Aku membayangkan, pasti banyak wanita cantik yang mudah jatuh hati pada Mas Imung. Sudah ganteng, pintar, cakap agama lagi. Dulu saja, sewaktu jadi murid Mas Imung, aku selalu membayangkan bisa menemukan lelaki seperti Mas Imung.
“Sudah pada berkeluarga, ya. Kamu sendiri gimana? Berapa anakmu sekarang?” Lagi-lagi Mas Imung mengejutkanku dari lamunan tentang aku yang pernah mengaguminya dulu, cinta monyet bisa dibilang.
“Belum, Mas. Belum ketemu yang seperti Njenengan, sih!” godaku.
“Itu karena kamu terlalu pemilih, Nduk. Coba, deh, kamu mau membuka hatimu. Kamu tidak perlu mencari. Dia sebenarnya ada di dekatmu,” katanya, bergaya peramal.
“Mas sendiri, bagaimana ceritanya jadi pengusaha? Aku pikir, orang seperti Mas menolak untuk kaya. Dulu, Mas pernah bilang, harta adalah cobaan. Aku kagum sama Njenengan, percaya sepenuhnya bahwa rezeki di tangan Tuhan dan sepertinya memang tidak pernah kekurangan. Tidak seperti aku, setiap tahun naik gaji, berapa pun gajiku, rasanya, kok, kurang terus, ya?”
“Masa rezeki ditolak, Nduk?”
“Dulu Mas bekerja serabutan, tapi hidup senang. Sekarang harus perhitungan, dong, namanya pengusaha?” ujarku, iseng.
Dia lalu diam sesaat, menarik napas panjang.
“Justru itu, dulu aku orang yang tidak bertanggung jawab pada hidupku sendiri. Aku pikir, jika aku sudah merasa cukup, kenapa harus mencari lebih? Dengan sedikit saja aku bahagia, kok. Tapi, lalu, sejak ibuku sakit-sakitan, semua dijual untuk biaya Ibu. Siang malam aku berdoa di masjid untuk kesembuhan ibuku. Lalu, suatu kali, seorang tetanggaku bersedia membiayai pengobatan Ibu di Jakarta, tanpa pamrih. Mungkin Tuhan mau menunjukkan padaku, orang seperti tetanggaku itu yang akan dipilih Tuhan untuk masuk surga. Aku bertekad, harus membalas kebaikannya. Aku harus jadi orang seperti dia, bisa menolong tetangga yang kesusahan. Akhirnya, aku bantu-bantu membesarkan bisnis batik milik pamanku. Sampai akhirnya, sekarang aku yang meneruskan bisnisnya ini.”
*****
Tak terasa, kereta sudah sampai di stasiun kotaku. Hari menjelang sore. Adikku sudah melambai-lambaikan tangannya dari kejauhan.
“Nduk, kalau liburmu panjang, kita ketemuan dan ngobrol lagi di warung kopi Tahlil, ya?” ajak Mas Imung, dan sekejap kemudian ia sudah berlalu.
****
Ficky Yusrini