Tak habis pikir, bagaimana aku bisa menikmati satu slot espresso dengan musik belly dance di De Oro, di utara Kepulauan Mindanao. Rumah kopi ini sungguh artistik. Kursi-kursinya ditemani bantal-bantal yang sarungnya dibuat dari malong berbahan kain tenun warna merah darah. Dindingnya dipenuhi lukisan burung pemakan ikan.
“Biji kopinya dari kebun-kebun organik di Davao, dari mereka yang percaya menanam kopi dapat menghentikan penjualan senjata,” tutur si barista saat kutanya asal muasal espresso racikannya.
Slot kopiku telah kering. Aku mulai menulis sebaris puisi pada tisu makan. Salah seorang pelayan yang mengenakan kostum penari perut naik ke panggung. Ia menari perut ala India, diiringi bunyi tabla dan kidung yang anggun. Belum usai puisi yang kutulis, pelayan yang lain menarikku ke panggung.
“Aku tak dapat menari,” tolakku.
“Bila Anda dapat menulis puisi, menari adalah saudara kandungnya,” ajaknya.
Tubuhku memanggil ingatan beberapa tahun silam. Gerakan-gerakan melangkah, menggoyangkan pinggul, leher, kepala. Menggerakkan satu bagian, membiarkan bagian yang lain mati suri, untuk memberi apresiasi pada bagian tubuh yang menari.
Pukul sepuluh malam aku tiba di penginapan. Petugas keamanan menyambutku dengan wajah cemas.
“Oh thank God, Miss, Anda sudah kembali. Mati lampu di seluruh kota selama dua jam. Anda di mana saat mati lampu?”
Aku kaget, tapi berusaha tetap tenang.
“Terima kasih. Maaf membuat Sir cemas. Saya diundang seorang kawan, makan malam di rumahnya tak jauh dari sini,” jawabku, berbohong.
“Senang mengetahuinya. Selama mati lampu kami menelepon tiap tamu yang tidak berada di tempat, dan Miss tidak mengangkat panggilan dari kami. Nah, kini aliran listrik sudah kembali, selamat beristirahat,” katanya.
Aku berpamitan dan sekali lagi berterima kasih atas perhatiannya yang menurutku agak berlebih.
Dari jendela kamar di lantai tujuh kulihat wajah Kota De Oro begitu senyap. Hampir kurebahkan tubuhku, saat kudengar raung sirene. Terlalu banyak pertanyaan di kepalaku, tapi tubuhku yang terlampau lelah menari mengajakku tenggelam ke dalam selimut.
Pukul sembilan pagi, di pesawat yang menerbangkanku ke Manila, pramugari memberiku koran. Halaman pertama begitu kelabu. Bom meledak di pusat perbelanjaan pada pukul delapan malam, 9 orang meninggal, 48 orang luka-luka. Waktu kuteliti, korban termasuk para pengunjung rumah kopi yang batal kukunjungi. (f)