Fiction
Cerita Pendek: Beker

4 Aug 2019


Malam pertama tiba di rumah, Ari dan Toni segera menumpahkan rasa kangen. Malam itu Ari dan Toni begitu puas, begitu letih, begitu berkeringat. 

Di luar hujan mulai turun. Dari rintik-rintik menjadi super deras. Suasana kamar perlahan menjadi dingin dan meninabobokkan. Keduanya terpejam. 

“Hei, kamu tahu, enggak?” tanya Ari dengan suara serak. Matanya tetap merem.

“Hmm....” Toni hanya bergumam sebagai jawaban.

“Aku mencintaimu,” kata Ari. 

“Hmm...,” gumam Toni lagi sebagai jawaban. 

Keduanya tidur begitu pulas. Hujan turun selama berjam-jam. Mulai mereda saat menjelang subuh. Sisa air yang mengucur turun dari atap terdengar mulai melirih. Suasana pagi itu menjadi begitu tenang, begitu melenakan. 

Kriiingggg....! Kriiingggg...! Kringgggg...!

Ari tersentak. Ia tergeragap bangun. Dering mengganggu itu... dering beker sialan itu! 

Kriiingggg....! Kriiingggg...! Kringgggg...!

“Astagaaa.... Apa aku tidak punya hak menikmati pagi hari yang tenang!” teriak Ari jengkel. Suaranya masih serak. Tangannya bergerak-gerak mencari bantal. Tak menemukan apa yang diinginkannya, telapak tangan Ari malah menepuk wajah suaminya.

Toni tergeragap bangun. “Ada apa, Sayang?” tanyanya. 

“Dering berisik beker itu...!” Ari menemukan bantal. Ia tutupkan bantal itu rapat-rapat di kedua telinganya. 

Masih terdengar gumaman Toni. Suaranya serak dan tak jelas ia mengatakan apa. 

“Sayang, hei, Sayang....” Toni mencoba mengguncang-guncang tubuh istrinya. Ia juga menarik bantal yang dipegang erat Ari. “Hei, hei....”

Ari membuka mata. Kedua bantalnya masih ditekankan erat-erat di kedua telinganya. 

“Sayang, kau mendengar dering beker apa?” tanya Toni. 

Ari merengut. “Dering beker tetangga sebelah? Kamu bilang orang tua itu sedang sakit dan dirawat anak perempuannya. Kemarin di telepon, selama aku pergi dering alarm itu tak terdengar dari rumahnya, kan?”

Toni mengangguk. Tapi wajahnya masih bingung. 

“Sekarang aku sudah pulang. Dan, dering beker itu mulai ribut lagi!” lanjut Ari bersungut.

“Sayang, hei, Sayang.” Toni kembali mengguncang-guncang tubuh istrinya. “Kau mendengar dering beker apa? Dering beker yang mana?”

Ari mulai heran dengan pertanyaan suaminya. Perlahan ia menjauhkan bantal yang menutupi telinga. “Dering beker yang biasa kita dengar, yang mengganggu itu. Barusan aku mendengarnya berbunyi berisik.”

“Sayang.... Orang tua itu meninggal dunia tiga hari yang lalu,” kata Toni. “Anak perempuan dan keluarga besarnya yang mengurus jenazahnya. Aku datang melayat. Saat di rumahnya, cucu perempuan si tetangga sebelah tertarik dengan beker itu. Ia bilang pada ibunya, ‘Ma, aku mau beker antik milik kakek’.”

Ari tak percaya dengan cerita yang sedang didengarnya. 

“Ibunya sempat melarang. Si bocah perempuan berambut merah itu mulai merengek dan menangis. Salah seorang tantenya segera menenangkan, ‘Sudah, tidak apa-apa. Kau bawa saja bekernya. Mendiang kakek pasti akan senang kalau kau merawatnya dengan baik’.” Toni menatap Ari. “Kakek tua tetangga sebelah rumah kita sudah meninggal dunia, Sayang. Dan, bekernya sudah dibawa pergi oleh cucu perempuannya.”

Kedua bantal yang tadi menutupi telinga Ari, terjatuh ke sisi samping tempat tidur. Suasana pagi itu begitu hening. Begitu senyap. Hanya sesekali saja terdengar tetesan air sisa hujan. Tes. Tes. Tes.
 
*****
 
Desi Puspitasari

Advertisement

Cek koleksi fiksi femina lainnya di:

http://www.femina.co.id/fiction/

 



Topic

#cerpen, #fiksi, #ceritapendek

 



polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?