“Kita berlibur ke pantai?”
Mata Kimo memandang aneh diriku. Telah menduga ia bakal menolak.
“Genap tiga tahun tujuh bulan sembilan hari hubungan kita. Tiap bertemu, pembicaraan kita tidak lepas dari pekerjaan kantor. Ingin sebentar saja bebas dari semua itu.”
“Kita akan menikah akhir tahun ini. Menikah butuh biaya besar. Daripada berlibur ke tempat jauh, lebih baik kita gunakan waktu untuk bekerja. Pengganti liburan, kita bisa menonton film apa saja di rumah. Waktu itu berharga, Menda!”
Ada kemarahan di wajah Kimo. Aku duduk lemas di bangku halte, merasa jengah dinasihati seperti anak kecil.
“Bagaimana kalau kita berkemah di belakang rumahku.”
“Itu lelucon apa lagi?”
“Kalau begitu, pulanglah sendiri. Aku masih ada urusan dengan Rika.”
“Benar mau menjumpai Rika? Tidak lagi ngambek, ‘kan?
Aku menggeleng. Kimo pergi. Sikapnya kali ini membuatku makin yakin bahwa Kimo lelaki egois. Telah bersama selama tiga tahun tujuh bulan sembilan hari. Kimo tidak bisa membaca ekspresi wajahku. Tidak ada janji dengan Rika.
“Menangis bukan cara menyelesaikan masalah.”
Ada suara mengusikku. Lekas menghapus air mata. Seorang lelaki berambut keriting duduk di sebelahku. Ia memangku piring berisi kue nastar. Dada ditutupi apron merah hati berlumur tepung mengeluarkan aroma selai nanas.
“Mau? Rasa nastar bisa hilangkan kesedihan.”
Ia mengulurkan piring berisi nastar ke arahku.
“Ayo, diambil! Ini tidak beracun.”
Lelaki ‘beraroma’ selai nanas kembali mengulurkan piring. Tidak ada alasan untuk menolak.
“Tahu dari mana kalau nastar bisa menghilangkan kesedihan?” tanyaku, sebelum kue nastar memenuhi mulutku. Ahh… rasanya lebih lezat dari nastar buatan ibuku.
“Alasanku saja agar kamu mau makan.”
Lelaki ‘beraroma’ selai nanas itu tertawa renyah. Pada dirinya kutemukan sosok berbeda dengan Kimo. Tawanya lepas, menunjukkan ia lelaki merdeka.
“Toko kueku tidak jauh dari sini. Menikmati kue buatan sendiri jauh lebih nikmat dan seru. Mau coba?”
Tiba-tiba ia menarik tanganku. Anehnya, aku tidak marah atas tindakan spontannya. Justru tebersit rasa senang. Ya, kebahagiaan bisa muncul bukan dari sesuatu yang direncanakan, tapi tercipta dari hal kecil dan spontan.
Tanganku baru dilepasnya ketika kami tiba di dalam ruangan beraroma kue. Semerbak harum selai nanas, keju, vanilla, moka menyatu memenuhi ruangan. Membuatku ingin menarik napas dalam-dalam dan perlahan… menikmatinya.
Oven berukuran besar berdesing mengeluarkan uap. Ada meja di tengah ruangan yang dipenuhi tepung dan bahan pembuat kue lain.
“Kamu suka kue apa? Biar kita membuatnya.”
Tampak kebahagiaan terpancar dari bola matanya yang jenaka.
“Boleh kita membuat kue nastar?”
Lelaki itu berkedip tanda setuju. Ia memilih bahan di atas meja. Tangannya begitu cekatan mulai mencampur adonan dalam baskom besar.
“Boleh membantuku mengupas nanas itu?”
Telunjuknya mengarah ke sudut ruangan. Aku dan lelaki ‘beraroma’ selai nanas sibuk dengan tugas masing-masing. Sambil mencampur adonan, lelaki itu bercerita tentang kesukaannya pada kue. Ia batal masuk fakultas kedokteran demi mendalami dunia kue.
“Kamu sendiri, mengapa suka masak kue?”
Pandangannya beralih sebentar ke arahku.
“Tiap tanganku bersatu dengan tepung, ada kebahagiaan tersendiri yang tidak bisa aku jabarkan lewat kata-kata. Begitu kue buatanku masak, aku seperti seorang ibu yang baru saja melahirkan. Bahagia tak terkira.”
Tawa pecah menyadari perkataanku yang sedikit konyol itu. Kue nastar buatan kami selesai juga dicetak. Aku memasukkannya ke dalam oven.
“Terlalu sibuk membuat kue hingga tak sempat berkenalan. Namaku Rimenda. Panggil saja Menda.”
Lelaki ‘beraroma’ selai nanas itu sedang membersihkan tangan di wastafel. Ia menyambut uluran tanganku.
“Namaku Nastar, seperti nama kue yang baru saja kita buat.”
Mataku melotot tak percaya. Apakah lelaki ‘beraroma’ selai nanas ini bercanda? Tidak. Matanya mengisyaratkan keseriusan.
“Nama yang unik.”
Handphone-ku berdering. Buru-buru aku mengeluarkannya dari tas. SMS dari Kimo.
“SMS dari pacar?”
Bibirku tersenyum. Kumasukkan handphone ke dalam tas tanpa membalas pesan Kimo.
“Kelak, bila istrimu tidak suka masak kue, apakah kamu akan memaksa untuk menyukainya?”
Pertanyaanku terlalu maju.
“Bukankah tiap manusia itu berbeda? Memaksakan kehendak kepada pasangan justru membuat ia merasa terkungkung. Mungkin aku tidak akan sebahagia ini bila tetap memaksa diri masuk ke kedokteran. Masak kue adalah passion-ku.”
Kimo selalu melarangku membaca buku fiksi, masak kue, dan jalan-jalan. Ia lupa, tiap manusia punya cara berbeda mendapatkan kebahagiaan. Oven berdesing, pertanda kue nastar telah matang. Cowok ‘beraroma’ selai nanas itu mengeluarkannya dari oven. Aroma selai nanas dan keju parut yang ditabur di permukaan kue menguar memenuhi sudut ruang. Tidak sabar untuk mencicipi. Ia mengambil kue dan meniupnya agar segera dingin, lalu menyuapkannya ke mulutku. Kue terasa legit, pecah di langit-langit mulut. Selai nanasnya meluber di permukaan lidah. Sungguh lezat!
Kami duduk berhadapan menatap tumpukan tepung di atas meja yang bagai gumpalan salju. Kami bercerita tentang apa saja sembari menikmati kue. Bahagia menemukan kembali diriku yang telah hilang selama tiga tahun tujuh bulan sembilan hari. Bermain-main dengan tepung seakan membawaku kembali ke masa kecil. Mencampur adonan bersama Ibu di dapur kami yang mungil.
“Sudah waktunya aku pulang.”
“Kue nastarnya milikmu.”
Senang sekali bisa membawa satu stoples kue nastar. Lelaki ‘beraroma’ selai nanas mengantarku sampai ke depan tokonya.
“Ada yang marah bila aku datang lagi?”
Ia menggeleng.
“Nanti pacarmu marah karena mengganggu pekerjaanmu.”
“Gadis mana yang mau pada lelaki ‘beraroma’ selai.”
Aroma selai nanas pada tubuh lelaki bernama Nastar tersimpan rapi dalam pikiranku. Handphone-ku berdering. Kimo sudah puluhan kali menelepon. Kubiarkan panggilannya berhenti sendiri. Saatnya mengakhiri semua ini. Tak mau lagi terperangkap dalam dunia orang lain. Sudah cukup tiga tahun tujuh bulan sembilan hari memaksa diri mencintai buku aritmatika dan calculus yang membosankan itu.
Tanganku mengetik sebaris kalimat, lalu menekan tombol send. Besok akan kembali ke toko kue itu. Aku rindu mencium aroma selai nanas yang menguar dari tubuh lelaki berambut keriting bernama Nastar itu. Sepertinya, aku telah jatuh cinta! (f)
Dody Wardy Manalu – Tapanuli
Baca Juga:
Cerita Pendek: Rusmi
Cerpen: Erica Masih Di Soerabaja
Topic
#cerpen, #fiksi