Apakah Anda sudah berkeluarga namun masih harus membiayai kehidupan anggota keluarga lain seperti orang tua dan saudara? Jika iya, Anda termasuk generasi sandwich yang terhimpit di antara dua generasi. Ada keuntungan sekaligus tantangan sebagai generasi sandwich. Di satu sisi generasi ini memiliki support system yang baik, namun di sisi lain mereka harus pandai menangani konflik dan masalah keuangan yang rentan terjadi.
Istilah generasi sandwich pertama kali diperkenalkan pada tahun 1981 oleh Dorothy A. Miller, Profesor sekaligus direktur praktikum Universitas Kentucky, Lexington, Amerika Serikat (AS). Ia memperkenalkan istilah tersebut dalam jurnal berjudul "The Sandwich Generation: Adult Children Of The Aging”. Dorothy mendeskripsikan generasi sandwich sebagai generasi orang dewasa yang harus menanggung hidup orang tua sekaligus anak-anaknya. Generasi ini “terhimpit” di antara biaya kehidupan orang tua dan kebutuhan anak-anaknya. Karena itulah disebut generasi sandwich.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, rasio ketergantungan lansia terhadap penduduk produktif adalah sebesar 15,01. Artinya setiap 100 penduduk usia produktif Indonesia harus menanggung 15 penduduk lansia. Sayangnya, tren rasio ketergantungan lansia ini terus meningkat.
BPS menyebutkan apabila jumlah penduduk lansia semakin meningkat, maka tuntutan biaya perawatan lansia cukup besar. Sebaliknya apabila penduduk lansia dalam kondisi sehat, aktif, dan produktif maka besarnya jumlah penduduk lansia akan berdampak positif terhadap angka rasio ketergantungan dan kondisi sosial ekonomi keluarga, masyarakat, dan negara.
Ada ragam pendapat mengenai pemicu timbulnya generasi sandwich. Menurut Daisy Indira, sosiolog dari Universitas Indonesia, terdapat dua faktor yang mendorong lahirnya generasi sandwich di Indonesia. Pertama, secara struktural negara kita tidak mempersiapkan masa depan warga ketika sudah lansia, kecuali untuk pegawai negeri sipil (PNS).
“Negara kita tak mempunyai sistem kesejahteraan sosial yang lengkap. Bagi masyarakat umum di luar PNS, tabungan jaminan hari tua merupakan keputusan individual. Generasi terdahulu yang tak berpikir tentang masa depan keuangan akhirnya hidup bergantung pada anak,” jelasnya. Hal ini berbeda dengan welfare state yang memiliki kesejahteran sosial yang baik. Di sana setiap warga negara mendapat jaminan kesejahteraan yang lebih baik, termasuk untuk masa tua. “Sehingga orang yang lanjut usia bisa punya kehidupan sendiri, begitupun anak-anaknya,” ujar Daisy.
Kedua, Indonesia memiliki nilai budaya Asia, di mana setiap orang dikenakan tanggung jawab untuk merawat orang tua sebagai bentuk bakti dan balas budi. Pada akhirnya ketika anak sudah dewasa, ia menghidupi orang tuanya. “Jadi dua faktor itu yang menyebabkan di Indonesia muncul generasi sandwich,” katanya.
Menurut Daisy, generasi usia produktif yang berusia antara 30 hingga 50 tahun cukup rentan pada beban dua keluarga sekaligus. Namun belum tentu keadaan ini akhirnya menjadi kendala bagi generasi sandwich. “Variasinya berbeda antara kelas sosial dan bagaimana perencanaan keuangan rumah tangga tersebut,” ungkapnya.
Generasi sandwich dari kelas menengah bawah akan lebih rentan terhadap tantangan hidup dibandingkan generasi sandwich dari keluarga mapan. Di samping itu, kelompok rumah tangga yang sudah mempersiapkan keuangan dengan baik sejak generasi terdahulu, tak akan menghadapi masalah finansial. “Jadi bisa saja seseorang berasal dari keluarga berkecukupan, namun akhirnya timbul masalah di saat ini karena tak ada persiapan finansial,” tuturnya.(f)
BACA JUGA:
Ini Hal yang Tidak Cukup Diajarkan pada Anak-Anak Zaman Sekarang
Cara Mengajar Anak Disleksia
Memulai Women Empowerment Dari Rumah
Topic
#generasisandwich, #sandwichgeneration, #dorothymiller, #keluarga