
Kopi merek Gayo dari Aceh merupakan kopi favorit saya. Kopi luak lokal juga saya suka. Saya jarang coba kopi dari luar negeri. Pertama, saya tidak begitu paham dengan biji-bijian kopi dari luar. Kedua, saya percaya, kopi Indonesia adalah salah satu kopi yang terbaik, dan lebih gampang mencarinya. Jadi, saya pilih kopi lokal saja.
Saya melihat budaya ngopi di Indonesia sepertinya sudah ada sejak dulu, sebelum gerai kopi internasional banyak dibuka di kota-kota besar. Cuma, sekarang variasi ‘ngopi’ bertambah dengan adanya banyak pilihan gerai, cita rasa, dan lain-lain. Tapi, di sisi lain, menurut saya, kopi --minuman yang bersifat stimulant-- akhirnya juga menciptakan kultur urban yang agak 'neurotik'. Yah, memang identik dengan karakter zaman sekarang yang serba cepat, workaholic, nggak bisa diam. Jadi, in a way, selalu ada dua sisi yang bisa kita lihat.
Buku Filosofi Kopi (1996) saya tulis ketika saya lagi senang-senangnya ngopi. Bahkan, saya sempat bercita-cita ingin buka kafe. Pada saat saya menulis cerpen itu, jumlah kafe belum banyak seperti sekarang. Waktu itu saya hanya terpikir ingin mengabadikan kecintaan saya pada kopi dalam sebuah cerita, dan lahirlah ide cerita Filosofi Kopi. (f)