
Image: AFP/ CHRISTOF STACHE
Video pemandangan demonstrasi massa di Austurvöllur square, tepat di depan gedung parlemen di Reykjavik, Islandia pada Selasa (5/4) lalu segera menjadi viral dan menarik perhatian dunia. Diperkirakan ada sekitar 22.000 warga yang menuntut Perdana Menteri Sigmundur Davíð Gunnlaugsson mengundurkan diri terkait kemunculan namanya di bocoran dokumen Panama Papers. Dinding gedung parlemen juga berlumuran sisa pecahan telur dan yogurt yang dilemparkan para demonstran.
Gunnlaugsson ditemukan memiliki sebuah perusahaan Wintris Inc. di British Virgin Island yang tidak ia ungkapkan saat menjadi anggota parlemen. Ia mengaku saham miliknya telah dialihkan ke istrinya pada tahun 2009. Warga Islandia berang mengingat Islandia sempat dituding sebagai sumber krisis ekonomi dunia, sang perdana menteri justru menyembunyikan asetnya di luar negeri, alih-alih menyelamatkan kondisi ekonomi negaranya.
Selang dua hari, sang perdana menteri benar-benar mengundurkan diri dari jabatannya. Kamis sore (7/4), Sigurdur Ingi Johannsson, Menteri Pertanian Islandia diambil sumpah sebagai Perdana Menteri menggantikan Gunnlaugsson.
Bocoran Panama Papers merupakan temuan dari International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ), sebuah koran dari Jerman SüddeutscheZeitung dan lebih dari 100 organisasi pers dari seluruh dunia. Ada sekitar 128 nama politikus dan pejabat publik dari seluruh dunia yang muncul di dalamnya, seperti Presiden Tiongkok Xi Jingping hingga pesepakbola Lionel Messi.
Respons lain terhadap Panama Papers muncul dari berbagai belahan dunia. Perdana Menteri Inggris, David Cameron mendapat giliran disorot. Namanya ikut terseret, karena sang ayah, Ian Cameron juga menggunakan jasa firma hukum Mossack Fonseca agar perusahaan dana investasinya, Blairmore Holdings, Inc tidak harus membayar pajak di Inggris.
Padahal, di awal 2013 Cameron sempat mendesak kawasan bebas pajak di negaranya untuk bergabung dalam gerakan bersama melawan pelarian pajak dan kerahasiaan dunia offshore. Kicauan Cameron pada 2015 lalu juga seolah menjadi bumerang bagi dirinya.
“I have the simple view If you have done the right thing—worked, saved and paid your taxes—you should be rewarded, not punished.”
Di media sosial, akun twitter dari serial drama politik Netflix, House of Cards merespons tweet tersebut dengan sebuah .gif image. Sosok Frank Underwood (Kevin Spacey) di serial tersebut tampak sedang mengambil ponselnya dan akan membalas tweet Cameron dengan sebuah kutipannya yang terkenal, “The road to power is paved with hypocrisy and casualties.”
Kutipan itu disertai sebuah tautan artikel dari The Independent. (Baca artikelnya di sini).
Menguak Nama-Nama di Panama Papers
Gunnlaugsson disebut-sebut menjadi korban pertama dari skandal Panama Papers. Dalam laporan ICIJ, bocoran dokumen milik firma hukum Mossack Fonseca ini berisi total 214.488 nama perusahaan offshore di 21 wilayah offshore, seperti Nevada, Singapura, sampai British Virgin Island yang terhubung dengan orang-orang dari 200 negara. Firma ini memfasilitasi pendirian perusahaan cangkang yang bisa digunakan untuk menyembunyikan kepemilikan aset perusahaan.
Bagaimana sebetulnya publik harus menanggapi bocoran dokumen ini? Apalagi ada sekitar 800 nama orang Indonesia yang diduga memiliki sejumlah aset di negara-negara suaka pajak.
Di tanah air, aturan bahwa pejabat publik tidak boleh berbisnis diatur dalam Undang-Undang No.28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara Bebas Kolusi, Korupsi dan Nepotisme. Undang-Undang ini menyaratkan pejabat publik yang pengusaha untuk melepaskan semua jabatan di perusahaan miliknya untuk mencegah konflik kepentingan.
Indonesia pernah menjadi satu-satunya negara Asia Tenggara dalam jajaran 10 besar negara dengan aset keuangan terbesar di negeri suaka pajak. Bahkan, Kementerian Keuangan menyebutkan potensi dana orang Indonesia yang mengendap di luar negeri dalam 20 tahun terakhir melebihi nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Dari Indonesia, Majalah Tempo ikut terlibat dalam kerja kolaborasi International Consortium of Investigative Journalist (ICIJ) tersebut. Pemimpin Redaksi Tempo, Arif Zulkifli yang sedang berada di Beijing saat dihubungi femina (11/4) menjelaskan, publik beranggapan bahwa bocoran Panama Papers sebagai sebuah data rapi, padahal itu baru data awal yang harus dipilah dan diinvestigasi lebih lanjut.
Dari data tersebut, kita juga sebaiknya tidak langsung menghakimi nama-nama yang muncul di sana sebagai sosok yang buruk. Menurut Arif, ada beberapa hal yang harus dipahami publik sebelum menyerap derasnya aliran informasi terkait Panama Papers ini.
Membuat perusahaan offshore bukan sebuah hal yang salah, ini praktik legal. Walaupun dalam kasus ini, perusahaan-perusahaan ini berdiri dengan difasilitasi sebuah firma hukum Panama, Mossack Fonseca yang memberikan fasilitas yang dicurigai sebuah upaya pengelabuan. Misalnya, Mossack Fonseca bersedia menyembunyikan nama si pemilik perusahaan atau bersedia membuatkan dokumen dengan tanggal yang dimundurkan.
“Jadi, walaupun perusahaan offshore itu legal, tapi dalam kasus Mossack Fonseca patut dicurigai ada motif-motif yang tidak baik, sehingga harus ditelisik lebih jauh,” jelas Arif.
Yang terjadi saat ini, banyak orang yang merasa penasaran dan tidak sabar justru berusaha mencari-cari sendiri informasi terkait Panama Papers.
“Dan yang mereka temukan adalah data Offshore Leaks yang disusun oleh ICIJ pada tahun 2013 lalu. Data ini berbeda dengan Panama Papers yang hanya diberikan ICIJ untuk anggota yang berkolaborasi dalam investigasi tersebut,” papar Arif.
Jika Anda masih ingin tahu kelanjutan Panama Papers, ICIJ akan membuka data ini untuk publik pada Mei 2016 mendatang.
Rahma Wulandari
Topic
#panamapapers